BEREWOK, pistol Baretta, kafiyeh putih-hitam, dan baju hijau, masih terus setia menempel di tubuh Yasser Arafat, Presiden Palestina itu. Dengan atribut khas itu, Arafat ditemani istrinya yang cantik Suha Arafat, sejumlah staf, dan pengawal mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat pagi lalu. Inilah kunjungan Arafat yang keempat kalinya ke Indonesia. Di Istana Merdeka, Presiden Palestina itu diterima oleh Presiden Soeharto, Wakil Presiden Try Sutrisno, sejumlah menteri, dan pasukan penghormatan. Kedua pemimpin tersebut lalu berangkulan, saling menggamit tangan, dan bertegur sapa hangat. Lantas, acara berlanjut dengan upacara kenegaraan. Lagu kebangsaan Palestina pun diperdengarkan. Ini sambutan kenegaraan paling meriah yang diterima Arafat di Indonesia. Ada lagi yang lain. Kalangan Islam di sini selalu menyambut Arafat sebagai ''pahlawan''. Tapi kali ini, kedatangan Abu Ammar panggilan untuk Arafat diiringi bayang-bayang kekhawatiran akan munculnya demonstrasi menantang sang ''pahlawan''. Kekhawatiran itu bukan tak beralasan. Selepas lohor, Ahad pekan lalu, atau lima hari sebelum Arafat tiba, aksi demonstrasi meledak di Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Hampir 10 ribu umat terlibat dalam demo yang mengutuk perjanjian perdamaian PLO-Israel, yang diteken Yasser Arafat dan Perdana Menteri Yitzhak Rabin di Gedung Putih, Washington, 13 September lalu. Perjanjian itu dianggap cuma menguntungkan Israel, tapi membuntungi kepentingan Palestina. Imbalan otonomi secara terbatas di Jalur Gaza dan Yeriko (sebuah kota kecil di Tepi Barat), yang lahir dari perjanjian itu, dinilai para demonstran tak adil. Sebab, menurut mereka, Palestina harus mengakui pendudukan Israel atas bagian besar wilayah Palestina, termasuk kota suci Yerusalem. Sebelum unjuk rasa, massa yang sebagian besar adalah orang muda itu mengikuti upacara peringatan Maulud Nabi. Acara itu dari mula agaknya sudah menggiring massa untuk mengambil sikap atas perkembangan Palestina. Tema ceramah Maulud telah menjurus: ''Palestina Bumi Islam''. Tak mengherankan bila di akhir acara muncul aksi menghujat Arafat, Israel, dan Amerika sekaligus. Acara itu diprakarsai Komite Indonesia untuk Solidaritas Islam (Kisdi) yang dibentuk sekitar lima tahun silam. Sulit ditaksir berapa besar pengaruh Kisdi. Tapi dari aksi unjuk rasa yang digelar, tampak betapa Kisdi mampu memobilisasi massa. Para pengunjuk rasa itu ada yang datang dari pesantren di seputar Jakarta, kampus, dan remaja masjid. Maklum, Kisdi digerakkan oleh mubalig-mubalig aktif semacam Achmad Soemargono, Ketua Korp Mubalig Jakarta. Dalam aksi unjuk rasa itu, Kisdi mengeluarkan pernyataan resmi yang dibacakan di depan umat yang memadati halaman Al Azhar itu. Di antara pernyataan itu: Tindakan Arafat menandatangani perjanjian tidak sah dan harus ditentang oleh seluruh umat Islam. Tak ada pengakuan bagi eksistensi Israel secara de facto maupun de jure. Seusai pernyataan dibacakan, poster dan spanduk-spanduk digelar, yel-yel pun bertaburan. ''Arafat pengkhianat. Pemecah belah persatuan muslim Palestina,'' bunyi sebuah poster. ''Masjidil Aqsa masih dikangkangi Israel,'' bunyi poster yang lain. Dan kurang afdol kalau Amerika tidak dikutuk, maka ada poster berbunyi, ''HAM: Hobi Amerika Memeras.'' Aksi menentang perjanjian di Gedung Putih itu tak cuma di Al Azhar, tapi bergema pula sampai ke Pasuruan, Jawa Timur. ''Perjanjian itu seperti melegalisir penjajahan,'' ujar Wakil Ketua NU Pasuruan, K.H. Zakki Mubeid. Yang terang, menurut Kiai Mubeid, perjanjian itu telah membuat ulama-ulama Pasuruan gusar. ''Kami akan membicarakan krisis Palestina itu dalam pertemuan para kiai Pasuruan,'' ujar seorang tokoh pesantren di sana. Para kiai Pasuruan rupanya begitu khawatir ketika mendengar Arafat akan terbang ke Washington untuk meneken perjanjian dengan Yitzhak Rabin. Maka, sepekan sebelum perjanjian diteken, K.H. Abdul Ghofur Kholil, Rais Syuriah NU Pasuruan, menganjurkan agar kiai di jajarannya membacakan doa qunut nazilah di tengah salat Jumat. Doa itu lazim dipanjatkan untuk menghadapi situasi ''gawat''. Dan para kiai Pasuruan membacakannya untuk memohon kepada Allah agar semua ummat Islam yang tertindas diberi-Nya kekuatan. Ada pula yang menyisipkan permohonan ekstra, agar rencana perjanjian Arafat-Rabin bisa urung. Tapi Allah berkehendak lain. Penandatanganan perjanjian itu membuat para kiai Pasuruan gusar. Popularitas Arafat rontok di mata mereka. Lantas muncul gosip-gosip. Istri Arafat, Suha, dijadikan kambing hitam. ''Kata orang kampung, Arafat lembek setelah beristri,'' ujar K.H Zakki Mubeid, mengutip gosip yang beredar dari satu kampung ke kampung lain, di sana. Malah Wakil Ketua Kisdi, Acmad Soemargono, menuduh Arafat melupakan Quran. Salah satu ayat dalam surat Al-Maidah, seperti dikutip tokoh Kisdi itu, secara tersurat mengatakan bahwa, ''Yahudi dan Islam tak bisa berdamai. ''Maka, Yahudi harus dilawan,'' katanya. Namun, Arafat bukannya tak punya pendukung di Jakarta. Lukman Harun, Ketua Komite Solidaritas Islam Indonesia, salah satu pendukung itu. Jalan perang, menurut Lukman, sulit dipraktekkan, kendati Palestina dibantu negara-negara Arab. ''Kalau perang, Arab kalah melulu. Karena memerangi Israel itu berarti melawan Amerika,'' ujar tokoh Muhammadiyah itu. Isu Palestina memang dekat dengan perasaan umat Islam Indonesia. Setiap kali perang meletus, reaksi pun muncul di Indonesia. Usai perang 1973, misalnya, di Jakarta terbentuk Badan Pembebasan Palestina. Badan ini sempat menghimpun dana, sukarelawan, bahkan sumbangan darah, untuk dikirim ke tanah Palestina. Namun, menurut Lukman Harun, sejauh ini tak satu pun sukarelawan Indonesia yang pernah bertempur untuk Palestina. Reaksi yang muncul memang lebih sering kecil-kecilan. Kasus pembantaian di Sabra dan Shatila 1982, kampung Palestina di Libanon Selatan, sempat meletupkan aksi unjuk rasa, kendati tak begitu meledak. Tapi proklamasi berdirinya negara Palestina akhir 1988, oleh Yasser Arafat, hampir tak membuahkan dukungan terbuka. Begitu pula tatkala Arafat mengeluarkan pengakuan atas eksistensi Israel akhir 1988, reaksinya sepi-sepi saja. Bahwa kini perjanjian PLO-Isreal itu mengundang reaksi cukup besar, agaknya karena peristiwa itu memang dianggap penting. Namun, mengapa unjuk rasanya justru dilakukan sebelum Arafat datang? ''Sebagai warga negara yang baik, kami menghormati tamu negara,'' ujar Soemargono. Sikap Kisdi sendiri, kata Margono, tetap menentang perjanjian itu. ''Kalau Arafat sudah pulang, kami akan menggebrak lagi,'' tambahnya. Namun, goyangan yang dilancarkan kelompok antiperjanjian itu tak membuat misi Arafat ke Jakarta terganggu. Presiden Arafat tak cuma mendapat sambutan megah dan hangat dari pemerintah Indonesia. Dan yang lebih utama, pemerintah RI mendukung perjanjian damainya dengan Rabin. ''Kami menyambut baik prakarsa perdamaian yang kini dirintis oleh Yang Mulia,'' kata Presiden Soeharto dalam kata sambutannya di jamuan makan malam untuk Arafat, Jumat malam. Arafat pun tampak ceria. Maklum, dukungan ini diberikan oleh tokoh yang kini memimpin Gerakan Nonblok, yang tentu bakal luas dampaknya. Sikap pemerintah Indonesia terhadap Palestina selama ini memang konsisten: mendukung perjuangan bangsa Palestina dari penjajahan bangsa asing. Tapi sejauh ini, memang tak pernah terdengar ada keterangan resmi dari pemerintah RI bahwa dukungan yang diberikan itu berkaitan dengan perjuangan Islam, sekalipun Indonesia adalah anggota organisasi negara Islam OKI. Pemerintah RI terkesan hati-hati setiap kali berbicara soal Palestina. ''Ini soal yang sensitif,'' ujar seorang pejabat tinggi. Soalnya, bagi banyak tokoh Islam di sini, dukungan terhadap Palestina berkaitan dengan iman dan ketakwaan. Maka, berjuang untuk Palestina adalah jihad. Selain itu, dukungan tersebut tentu karena orang Palestina yang terjajah dan terusir itu mayoritas adalah Islam. Sikap seperti itu tak perlu menjadi tanda tanya karena negeri Yahudi itu menguasai Masjidil Aqsa di Yerusalem. Padahal, Masjidil Aqsa adalah salah satu masjid suci umat Islam, yang langsung disebut dalam Quran. Bisa dilihat betapa prihatinnya umat Islam dulu, sewaktu Israel melakukan penggalian arkeologi di dekat masjid itu, yang bisa merusak bangunan suci tersebut. PLO sendiri, seperti dikatakan Yasser Arafat kepada TEMPO, tak berniat memperjuangkan terbentuknya sebuah negara Islam Palestina. ''Kami menginginkan sebuah negara demokratis, yang melindungi semua agama. Prinsip kami mirip Pancasila,'' ujar Arafat. Maklum, dari 5,5 juta warga Palestina, 20% di antaranya non-muslim. Putut Trihusodo, Ivan Haris, Priyono B. Sumbogo, dan Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini