WAJAHNYA yang letih malam itu tampak bergairah kembali begitu ia
diwawancara. "Pertanyaan wartawan sering memhuat saya lebih
banyak berpikir," kata Mubyarto, 43 tahun, pekan lalu. Guru
Besar Fakultas Ekonomi ini Universitas Gajah Mada ini
belakangan menjadi buah bibir karena konsep Ekonomi Pancasila
anL sering diceramahkannya.
Hari-hari ini acara Mubyarto dkk memang selalu penuh. Banyak
organisasi atau lembaga yang mengundangnya untuk memberikan
ceramah. "Sampai ada yang menilai saya ekonomi murahan," ujar
Mubyarto sembari tersenyum Awal cerita dimulai dari terbitnya
buku Ekonomi Pancasila pada Januari 1981 lalu yang diedit oleh
Mubyarto dan Boediono. Buku terbitan Fakultas Ekonomi UGM yang
berisi karangan 18 penulis ini tidak mengundang tanggapan ramai
tatkala terbit.
Polemik mulai timbul setelah 16 Mei lalu Mubyarto memberikan
ceramah mengenai Moral Ekonomi Pancasila di Gedung Kebangkitan
Nasional, Jakarta. Mubyarto. yang merasa yakin sistem ekonomi
Pancasila bisa dirumuskan dan diterapkan, dalam ceramah tadi
mencoba merumuskan 5 ciri utama sistem ekonomi itu.
Berbagai kecaman dan komentar secara bermunculan, sebagian
meragukan kemungkinan dirumuskannya dengan jelas konsep
tersebut, namun tak kurang banyak juga mereka yang mendukung
pengembangan dan pengolahan lebih lanjut konsep tersebut.
Kami akan membicarakan secara serius semua kritik itu," ujar
Mubyarto pekan lalu pada Saur Hutabarat dari TEMPO. Mubyarto
dkk. semula tak mengira buku yang mereka garap akan mengundang
begitu banyak tanggapan. Buku itu sendiri, seperti dikatakan
dalam kata pengantar, "barulah pelemparan pertama sebuah ide
yang masih bersifat umum," kata Mubyarto. "Padahal yang
dibutuhkan masyarakat adalah ide-ide yang berisi konsep-konsep
yang operasional," sambungnya.
Mubyarto mengatakan, ia dan kawan-kawannya sering bertanya
mengapa buku itu menarik begitu banyak perhatian. "Apakah karena
namanya yang memakai Pancasila, atau karena isinya. Atau karena
alternatif ketiga masyarakat membutuhkan sesuatu yang segar,
yang merupakan pendekatan alternatif daripada yang sekarang
dilaksanakan," katanya. "Ini juga kami tidak tahu. Masyarakat
yang bisa menilai," katanya pula.
Ide menulis mengenai Ekonomi Pancasila berawal pada seminar
kecil memperingati ulangtahun ke-25 Fakultas Ekonomi UGM tahun
lalu. " Tema membahas Ekonomi Pancasila berasal dari Boediono,"
kata Prof. Dr. Ace Partadiredja, salah seorang dosen FE-UGM yang
juga menulis dalam Ekonomi Pancasila.
"Tapi kami semua berpendapat tema itu masih samar-samar," kata
Ace, 45 tahun. "Dan sampai sekarang pun kami tidak berpretensi
telah menemukan sesuatu mengenai Ekonomi Pancasila," ujar guru
besar FE-UGM ini. "Kami helum menemukan apa esensi Ekonomi
Pancasila. Kami masih meraba-raba." tambah Ace berterus-terang.
Menurut Ace, dalam perbincangan mengenai Ekonomi Pancasila
perlu dibedakan antara Ilmu Ekonomi (Economics) dengan sistem
perekonomian. "Yang kami pikirkan ilmunya," kata Ace.
Ada Yang Salah
Gagasan Untuk mengkaji Ekonomi Pancasila rupanya muncul juga
dari pertanyaan "Apakah pelaksanaan pembangunan kita sekarang
memang sudah seperti yang diinginkan?"
Menurut Dr. Dibyo Prabowo, salah satu dosen FE-UGM yang juga
menulis dalam Ekonomi Pancasila, diukur dengan cara apapun
jurang antara yang kaya dan miskin di Indonesia semakin melebar.
"Mengapa di negara yang kaya -- kita punya hutan, minak dan
lain-lain -- masih ada kemiskinan, dan kelaparan? Mesti ada
sesuatu vang salah," kata Dibyo. "Maka timbul analisa lebih
jauh: apakah strategi pembangunan sudah betul? Mungkin ada vang
tidak cocok dalam strategi yang dilaksanakan. Pertanyaan itu
kemudian punya rentetan panjang. Pidato pengukuhan Mubyarto
sebagai guru besar pada 1979 tampak mengawalinya. Dalam pidato
itu Mubyarto berpendapat teori-teori Karat tidak bisa seratus
persen diterapkan di Indonesia. Selain itu ia juga menggambarkan
adanya dualisme ekonomi Indonesia: masyarakat kapitalistis yang
ditandai penggunaan modal yang intensif serta masih adanya
sistem ekonomi yang sangat sederhana yaitu pertanian kecil.
Untuk menjabarkan apa sebetunya ekonomi Indonesia, dimintalah
berbagai pihak untuk menulis. "Dan semua tulisitu dihubungkan
dengan Pancasila. Itu sebabnya buku itu bernama Ekonomi
Pancasila," kata Dibyo.
Istilah Ekonomi Pancasila sendiri sebenarnya bukan pertama kali
digunakan Mubyarto dkk. Dalam ceramahnya di depan Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia pada Mei 1979 -- dan juga dalam tulisannya di
bulan yang sama pada majalah Prisma -- Emil Salim telah lebih
dulu memakainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini