MESKI tidak lagi menjadi anggota DPR, Abdul Madjid masih sering
datang ke Senayan. Pekan lalu tokoh PDI yang berjenggot lebat
ini kembali muncul di lembaga wakil rakyat itu. Pada para
wartawan DPR ia kemudian membagi Nota Protes dan Pengaduan yang
hari itu diserahkannya pada pimpinan DPR.
Setebal 6 halaman, surat protes bertanggal 1 Juni itu dikirim 5
anggota PDI yang di-recall dari DPR April lalu: Abdul Madjid,
Usep Ranawijaya, Ny. D. Walandouw, Santoso Donoseputro dan
Soelomo. Intisari isinya: memprotes keras tindakan
Ketua/Pimpinan DPR Rl yang dalam penarikan kembali keanggotaan 5
orang tadi dianggap "telah menyalahi peradaban hukum,
mengabaikan etika politik serta menyimpang dari hukum yang
berlaku."
Pimpinan DPR, menurut nota protes tadi, dianggap telah melanggar
UU No. 3/1975 dan mengabaikan pasal 43 UU No.16/1969. Selain itu
pimpinan DPR juga dituduh menghukum 5 anggota PDI yang belum
tentu bersalah tanpa memberi kesempatan mereka membela diri dan
sekaligus melibatkan diri dalam konflik intern PDI. "Dngan ini
berhubung dengan isi dan hakekatnya proteskeras ini kami
nyatakan juga sebagai pengaduan dan tuduhan," kata surat yang
diteken 5 anggota yang direcall itu.
Protes itu dialamatkan ke DPR dall bukannya pada DPP PDI yang
menarik keanggotaan ke 5 orang itu karena, menurut Madjid,
lembaga yang menangani langsung adalah pimpinan DPR. "Untuk apa
saya kirim surat pada DPP PDI, sedang kami tidak mengakui adanya
DPP Sunawar itu", kata Abdul Madjid yang menyebut dirinya
Pejabat Ketua Umum DPP PDI Kongres I.
Para penandatangan protes juga menyadari, keputusan penarikan
mereka dari DPR diambil Presiden setelah mendapat surat DPP PDI
yang diteruskan pimpinan DPR. "Sebenarnya pimpinan DPR bisa saja
bertindak bijaksana sebelum meneruskan surat itu," lanjut
Madjid. Tindakan "asal meneruskan" pimpinan DPR itu dianggapnya
memberi peluang pada DPP Parpol Golkar untuk seenaknya me-recall
anggota yang tidak disenangi.
Para penandatangan surat protes itu agaknya tahu surat protes
itu tidak akan membuat mereka memperoleh kembali kursi mereka di
DPR. Sasarannya, menurut Madjid: "Agar pimpinan DPR tidak
seenaknya meneruskan saja permintaan DPP untuk recalling." Dan,
"Agar anggota Dewan yang lain tidak mengalami nasib seperti kami
ini," tambah Soelomo.
Soelomo juga punya alasan lain. "Betul dulunya kami ini calon
dari parpol. Tapi setelah diumumkan dan masuk daftar calon tetap
-- artinya rakyat sudah menerima pencalonan itu -- maka kami
juga calon rakyat dalam pemilu yang lalu itu. Setelah terpilih,
otomatis kami ini wakil parpol dan wakil rakyat," ujarnya. Lalu
tanyanya: "Tapi mengapa recalling itu dilakukan oleh parpol
saja?" Soelomo mengetahui ia ditarik dari DPR dari berita tv dan
koran.
Ketua DPR Daryatmo menolak tuduhan telah ikut campur urusan
intern PDI seperti dinyatakan Abdul Madjid dkk. Surat protes itu
belum diterimanya sampai pertengahan pekan lalu. "Tidak benar
kami mencampuri urusan intern PDI. Sebab surat recalling itu
bukan ditujukan pada kami, tapi pada Presiden lewat Ketua DPR,"
katanya. Yang memberhentikan mereka berlima sebagai anggota DPR
juga Presiden, lewat Surat Keputusan Presiden. Surat protes itu,
kata Daryatmo, akan dibicarakan pimpinan DPR.
Sambil menunggu jawaban DPR, Abdul Madjid giat menghubungi massa
PDI, terutama yang di Jawa. Awal Juli lalu ia menyebar selebaran
"Partai Nasional Indonesia Harus Bangkit Kembali." Dalam
selebaran itu ditandaskannya bangkitnya kembali PNI tidak
dilarang UU No.3/1975 tentang Parpol dan Golkar. "Pendukung
cukup banyak," tegas Madjid.
Sedang Soelomo yang menyandang gelar Sarjana Muda Sospol,
bermaksud kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan studinya.
Ia kini kembali ke tempat asalnya, Banyudono, Boyolali, Jawa
Tengah, dan membantu keluarganya di bidang pertembakauan. Walau
ia bukan lagi anggota DPR, masih saja ada penduduk desa yang
datang kepadanya untuk minta petunjuk, terutama menyangkut soal
tanah. Ia juga bertekad untuk tetap berjuang di PDI terlepas
dari disukai atau tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini