Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Sia-sia

Aurangzeb seorang Raja India yang mencurigai kenikmatan paling kecil. Ia ingin menciptakan kesempurnaan, dengan kemurnian.

18 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARANGKALI tak ada raja yang sesaleh Aurangzeb. Ia dididik kaum mullah untuk demikian: menghabiskan sebagian besar harinya untuk beribadat. Tetapi menjelang meninggal, penguasa India itu menuliskan surat yang sedih: "Aku tak tahu siapa diriku, ke mana aku akan pergi, atau apa yang akan terjadi kepada orang yang penuh dosa ini .... Tuhan telah sejak lama berada dalam hatiku, namun mataku yang terbuta telah tak mengenal cahayaNya . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah yang terjadi pada diri Aurangzeb? Tak mudah kita untuk menebak setelah tiga setengah abad ia tak ada lagi. Catatan sejarah yang ada hanya berbicara tentang bagaimana ia memerintah. Dia agaknya sebuah reaksi terhadap pendahulunya -- bapaknya sendiri, Shah Jehan, pendiri Taj Mahal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tahun 1657 Aurangzeb mengangkat senjata memberontak. Dan rupanya bukan sekedar konflik generasi yang memisahkan bapak dan anak ini, tapi juga perbedaan pendekatan kepada hidup. Sebab permusuhan bapak dan anak bukanlah perkara baru dalam sejarah raja-raja Mogul di India. Shah Jehan sendiri di tahun 1622 pernah mencoba merebut tahta dari bapaknya, Jengahir, tapi gagal.

Yang dilaksanakannya waktu sang bapak mati ialah membunuhi saudara-saudaranya sendiri. Lalu dia memaklumkan diri sebagai raja di raja. Dalam diri Jehan sudah terbentuk kelaziman sebuah tahta yang mutlak, kelaziman yang telah dikokohkan Jengahir dalam bentuk kekejaman dan kemewahan.

Taj Mahal hanya salah satu contoh. Monumen ini didirikan buat mendiang istrinya Mumtaz, yang meninggal pada usia 39. Sampai kini merupakan tanda cinta yang tak tertandingi dalam sejarah dunia, Taj Mahal toh hanya salah satu dari ratusan bangunan megah yang dibangun Jehan -- tentu saja dengan uang dari pajak yang menindih. Meskipun India waktu itu makmur, salah satu bencana lapar terburuk dalarn sejarahnya justru terjadi di zaman itu. Aurangzeb, sebaliknya, tak punya hati untuk cinta, keindahan dan kemewahan.

Ketika ia menang dan bapaknya kalah, ia menangkap orang tua itu dan memenjarakannya di Benteng Agra. Selama 9 tahun Jehan di sana sepi, hanya dikunjungi oleh Jahanara, putrinya yang setia. Tiap hari selama hampir satu dasawarsa itu ia hanya bisa menjenguk ke dunia luar lewat sebuah mercu -- dan memandang ke seberang Sungai Jumna, ke makam Mumtaz. Lalu ia mati. Dan Aurangzeb tak kunjung menunjukkan belas.

Hatinya hanya mengikuti garis yang tegas, dan agaknya tegar: musuh adalah musuh, kesalahan adalah kesalahan, pelanggaran adalah pelanggaran. Bukankah Aurangzeb juga keras kepada dirinya sendiri? Berbeda dengan kakeknya yang hidup dalam arak dan pergundikan, dan ayahnya yang pemboros, Aurangzeb menolak minuman keras, makanan berlebihan dan barang-barang gemerlap. Bahkan ia menolak musik, meskipun ia pandai di bidang itu. Yang lebih mentakjubkan lagi ialah bahwa ia tak surut dari tekadnya untuk tak akan membelanjakan uang seberapa pun, kecuali bila uang itu didapatnya dari kerja tangannya sendiri.

Ketika ia wafat, salah satu pesannya ialah bahwa tak boleh ada dana kerajaan yang keluar buat kain kafannya. Kain itu kemudian dibeli, empat rupee, dari uang yang didapat baginda dari hasil menjahit topi. Tetapi mengapa surat dari ranjang mati itu begitu sedih? " . . . Aku telah berdosa besar, dan tak tahu siksa apa yang menantikanku," tulisnya. Adakah ia menyesal telah memperlakukan bapaknya demikian kejam?

Sekali lagi, kita tidak uhu. Tapi agaknya memang benar pengakuannya, bahwa matanya "telah tak mengenal" cahaya Tuhan itu. Dunia Aurangzeb adalah dunia yang suram, bila kita lihat betapa curiganya ia kepada kenikmatan yang paling kecil sekali pun. Ia seakan hendak menciptakan kesempurnaan, dengan kemurnian. Dan ia punya kekuasaan untuk "berberes". Di masa pemerintahannya, toleransi nyaris suatu pengkhianatan.

Aurangzeb, meskipun bukan raja yang kejam, memerintahkan agar India dibersihkan dari candi Hindu, dengan konsekuen. Maka dalam waktu setahun saja antara 1679-1680, misalnya ratusan candi hancur di Amber, Chitor, Udaipur dan Benares. Meskipun, pada akhirnya, toh agama Hindu tak bisa lenyap dari sana. Dan Aurangzeb di kamar penghabisan itu menulis, "Tahun-tahunku telah berlalu tanpa hasil".

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus