Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Solo - Pendiri Widadi Skill Center di Solo, Jawa Tengah, Widadi, 57 tahun, adalah seorang disabilitas netra. Dia kehilangan kemampuan penglihatan sejak berusia 3 tahun. Meski begitu, dia mampu mengajarkan tunanetra untuk menguasai berbagai kemampuan, di antaranya pijat, baca tulis Al Quran huruf Braille, sampai keterampilan mengoperasikan komputer dan gadget.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapapun bisa belajar di Widadi Skill Center tanpa dipungut biaya alias gratis. Hanya saja, keterbatasan tempat membuat jumlah peserta dibatasi. Widadi Skill Center bermarkas di kediaman Widadi di Jalan Kana II Nomor 10b RT 1 RW 6, Kelurahan Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta.
"Dari dulu tempat belajarnya ya cuma di sini," kata Widadi sambil menunjukkan ruang depan rumahnya yang disekat kayu lapis menjadi dua bagian yang sempit. Ruangan sisi timur untuk kursi tamu dan hanya menampung empat orang. Adapun ruangan sisi barat untuk kursus yang maksimal diisi tujuh orang.
Ruang kursus itu masih disekat lagi untuk praktik pijat yang berisi satu tempat tidur kecil. Saat Tempo datang pada Rabu, 28 November 2018, lantai ruang kursus itu digunakan untuk tidur kedua cucu Widadi yang masih balita. "Sekarang siswanya tinggal empat orang dari Pajang (Balai Rehabilitasi Sosial Bhakti Candrasa Surakarta). Mereka kursus pijat tiap Minggu pukul 09.00 sampai 11.00," kata Widadi.
Rumah Widadi di Kelurahan Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo. Selain untuk tempat tinggal keluarganya, di rumah ini Widadi memijat, mengajar di Widadi Skill Center (WSC) dan berorganisasi di Ikatan Tunanetra Islam Indonesia (ITMI) Solo. DINDA LEO LISTY / SOLO
Menurut Widadi, sebenarnya ada banyak difabel netra dari dalam maupun luar wilayah Solo Raya (eks-Karesidenan Surakarta) yang berminat untuk kursus di WSC. Lantaran daya tampung ruang kelas yang terbatas, Widadi terpaksa membatasi jumlah siswanya maksimal enam orang per kelompok.
"Jadi sementara kami baru menerima siswa yang nyambi (paruh waktu karena masih bersekolah di SLB atau kuliah). Mau daftar kapan saja bisa, nanti tinggal dibuat per kelompok dan jadwal kursusnya," kata Widadi yang merintis Widadi Skill Center sejak 2008.
Selain gratis dan berijazah, kursus pijat di WSC banyak diminati oleh difabel netra karena menerapkan sistem pendidikan yang efisien. "Kalau pertemuannya seminggu sekali, enam bulan baru lulus. Tapi kalau pertemuannya dipadatkan, dua bulan saja bisa," kata Widadi.
Papan nama jasa pijat di rumah Widadi yang telah berkarat. Widadi kini mengandalkan papan nama di Google Maps yang lebih memudahkan para siswa dan pelanggan pijatnya. DINDA LEO LISTY / SOLO
Untuk materi pengajaran, Widadi mengemas bahan-bahan kursusnya dalam file berformat .txt yang dapat dipelajari siswanya di rumah melalui ponsel bicara. Dengan begitu, siswa tunanetra bisa langsung praktik tanpa harus menulis atau mencatat materi menggunakan huruf braille.
"Format .txt memiliki kapasitas file paling rendah, jadi tetap bisa dibaca menggunakan ponsel yang bukan android," ujar Widadi yang telah mendidik lebih dari 90 peserta kursus. Karena terobosannya menggunakan materi digital, Widadi pernah mendengar pengajar difabel netra lainnya yang menganggap sistem kursus di WSC melunturkan budaya braille. "Padahal niatnya demi menghemat waktu. Kasihan kalau siswa kursus terlalu lama, sebab ongkos transportasi dari rumah ke sini ditanggung sendiri."