Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gugatan Bebas Bersyarat Pollycarpus Ditolak
Rabu pekan lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menolak gugatan terhadap surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pembebasan bersyarat Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan narapidana perkara pembunuhan Munir.
Menurut majelis hakim yang dipimpin oleh Ujang Abdullah, gugatan sejumlah lembaga pegiat hak asasi itu bukan sebagai obyek sengketa tata usaha negara. Itu sebabnya, majelis pun mengabulkan eksepsi Menteri Hukum dan Pollycarpus sebagai tergugat.
Tergugat menggunakan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Tata Usaha Negara, yakni putusan tata usaha negara untuk ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan yang bersifat hukum pidana. Sedangkan pembebasan bersyarat tak berkaitan dengan aturan pidana.
Lembaga Monitor Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Imparsial, dan Komite Aksi Solidaritas untuk Munir menggugat surat keputusan Menteri Hukum Yasonna H. Laoly bernomor W11.PK.01.05.06.0028. Surat yang ditandatangani pada 13 November 2014 itu mengabulkan permohonan bebas bersyarat Polly setelah dia menjalani hukuman penjara 8 tahun 11 bulan dari total 14 tahun. Bekas pilot maskapai pelat merah Garuda Indonesia itu divonis bersalah atas pembunuhan Munir.
Kepala Bidang Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Muhammad Isnur mengaku kecewa terhadap putusan hakim. "Hakim tampak tidak mau mengindahkan perkara ini," ujarnya seusai persidangan.
Menurut Putri Kanesia, Kepala Divisi Pembelaan Hak Politik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), putusan itu kado pahit menjelang peringatan 11 tahun kematian aktivis hak asasi Munir pada 7 September nanti. Dia pun berpendapat, perkara ini obyek sengketa tata usaha negara karena surat pembebasan bersyarat tersebut dikeluarkan oleh lembaga publik, yakni Kementerian Hukum."Tapi ternyata ada pertimbangan lain dari hakim," ucapnya Rabu pekan lalu.
Diskon untuk Sang Agen
KEMATIAN Munir sekitar 11 tahun lalu akibat racun arsenik di dalam pesawat dari Singapura ke Amsterdam, Belanda, menyisakan misteri. Siapa pelaku dan otak pembunuhan masih tertutup kabut. Pollycarpus sendiri mendapat diskon hukuman hingga dua tahun lebih. Demikian runutan proses hukum Polly.
2005
18 Maret
Pollycarpus ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mabes Polri.
9 Agustus
Sidang terdakwa Polly mulai digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia didakwa melakukan pembunuhan berencana dan diancam hukuman mati.
17 November
Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Pr. bersaksi di persidangan. Dia menyangkal punya hubungan dengan Polly.
1 Desember
Jaksa menuntut hukuman penjara seumur hidup untuk Polly.
20 Desember
Majelis hakim menyatakan Polly terbukti turut serta melakukan pembunuhan berencana dan pemalsuan dokumen. Polly dijatuhi hukuman penjara 14 tahun. Dia mengajukan permohonan banding.
2006
27 Maret
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan vonis 14 tahun penjara bagi Polly, sama dengan putusan PN Jakarta Pusat.
3 Oktober
Putusan Mahkamah Agung menyatakan Polly tidak terbukti terlibat pembunuhan berencana terhadap Munir. Tapi dia bersalah menggunakan dokumen palsu sehingga divonis 2 tahun penjara.
25 Desember
Polly bebas dari masa tahanan setelah mendapat pengurangan masa tahanan (remisi) Natal.
2007
27 Juli
Kejaksaan Agung mendaftarkan permohonan peninjauan kembali kasus Munir ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2008
25 Januari
Peninjauan kembali dikabulkan dan MA menghukum Polly 20 tahun penjara. Polly lalu mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan itu.
Desember
Polly mendapat remisi Natal 1 bulan.
2010
17 Agustus
Polly mendapat remisi Hari Kemerdekaan 7 bulan.
2011
30 Mei
Polly mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
7 Juni
Sidang peninjauan kembali digelar.
17 Agustus
Polly mendapat remisi 9 bulan 5 hari.
Desember
Mendapat remisi Natal1,5 bulan.
MUI Haramkan BPJS Kesehatan
Majelis Ulama Indonesia menilai kegiatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melanggar prinsip hukum Islam atau syariah. Organisasi kumpulan tokoh agama Islam tersebut menganggap ada masalah dalam akad antarpihak, dan itu harus diperbaiki.
"Karena mengandung unsur gharar, maisir, dan riba," demikian Keputusan Komisi B2 Masail Fiqhiyyah Mu'ashirah (Masalah Fikih Kontemporer) Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015 yang diunggah di situs resmi MUI, Senin pekan lalu. Keputusan dikeluarkan pada 9 Juli di tengah Sidang Pleno Ijtima' Ulama yang digelar di Pesantren At-Tauhidiyah, Tegal, pada 7-10 Juni lalu.
MUI berpendapat, jaminan sosial harus mencakup seluruh individu umat Islam untuk menjamin hal-hal pokok, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Jika hal-hal pokok itu tak dipenuhi justru akan memancing tindakan kriminal dan meruntuhkan bangunan sosial.
Namun Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon tak sepakat. "Masak, haram? Itu agak berlebihan," katanya. Menurut dia, itu hanya soal pilihan untuk menyelenggarakan jaminan sosial secara modern atau syariah.
Istana pun bereaksi. Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Kesehatan dan Kepala BPJS berdialog dengan MUI. "Mencari titik temu, apakah memang harus ada modifikasi atau sudah cukup sistem itu," ujar Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto di Istana Negara, Jumat pekan lalu.
Kepala Polres Tolikara Dicopot
Kepala Kepolisian Resor Tolikara, Papua, Ajun Komisaris Besar Soeroso, dicopot dari jabatannya menyusul kerusuhan bernuansa SARA di Kaburaga pada Idul Fitri lalu. Digantikan Ajun Komisaris Besar Musa Korwa, Soeroso lalu dimutasi ke Bagian Inspektorat Kepolisian Daerah Papua.
Serah-terima jabatan dipimpin Wakil Kepala Polda Papua Brigadir Jenderal Rudolf Roja di Rasta Samara Kantor Polda Papua, Senin pekan lalu. "Bisa saja ada keteledoran, kelalaian, yang berdampak kepada kerusuhan kemarin. Berarti kan pertanggungjawaban seorang pemimpin," kata Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Budi Waseso. "Saya kira tak asal copot, ya," ujarnya.
Sebanyak 12 orang terkena tembakan aparat keamanan pada 17 Juli pagi lalu. Seorang di antaranya meninggal. Kerusuhan terjadi menjelang salat Idul Fitri, yang dipicu kedatangan segerombolan orang yang akan meminta salat tidak dilakukan di lapangan terbuka. Tindakan aparat memicu pembakaran kios yang merembet ke tembok masjid. Sebelumnya, muncul surat edaran dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI), yang membatasi kegiatan salat Idul Fitri dengan alasan sedang ada perhelatan 50 tahun GIDI di Papua.
Gubernur Bengkulu Mangkir
Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah mangkir dari pemeriksaan di Markas Besar Kepolisian RI sebagai tersangka korupsi pembayaran honor Tim Pembina Rumah Sakit Umum Daerah M. Yunus Bengkulu sebesar Rp 5,6 miliar pada 2011.
Seharusnya dia hadir di Badan Reserse Kriminal pada Senin pagi pekan lalu. "Biasanya sih kalau sudah tersangka, ya, hadir," kata Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Komisaris Besar Adi Deriyan Jayamarta. Tindakan jemput paksa akan dilakukan jika Junaidi tak memenuhi panggilan kedua.
Muspani, pengacara Junaidi, mengatakan kliennya tak menghadiri pemeriksaan karena ada kegiatan yang tak bisa ditinggalkan. "Sudah diinformasikan dengan surat ke Mabes Polri," ucapnya Kamis pekan lalu di Bengkulu. Dia pun menunggu balasan permintaan bantuan kepada Presiden Joko Widodo agar menjadi penengah karena menganggap tak ada yang dilanggar dalam penerbitan surat. "Kami berharap Presiden turun tangan."
Junaidi dijadikan tersangka pada 14 Juli lalu setelah gelar perkara Mabes Porli bersama Kepolisian Daerah Bengkulu. Sebanyak 17 saksi dan empat ahli diperiksa untuk menguatkan penetapan status tersangka itu. Junaidi diduga menyalahgunakan wewenang karena menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Nomor Z.17.XXXVII tentang Tim Pembina Manajemen RSMY pada 2011 tanpa dasar hukum. Penerbitan surat itu berbuah suap untuk Junaidi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo