Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan Pengurus Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se-Jawa di Hotel Malaka, Bandung, itu bukan halalbihalal biasa. Silaturahmi pada Selasa dua pekan lalu itu, empat hari setelah hari raya Idul Fitri, diikuti dua puluh orang dari enam wilayah. Setelah bermaafan, mereka mendiskusikan hal ihwal yang berkaitan dengan organisasi berlambang matahari itu, yang bermuktamar mulai Senin hingga Sabtu pekan pertama Agustus ini di Makassar.
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat Uum Syarif Usman mengatakan, pertemuan itu dipimpin oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat Rizal Fadhilah. Forum mendiskusikan calon ketua umum organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 itu. "Kami memilih 13 nama kandidat ketua umum," kata Syarif, Jumat pekan lalu.
Tiga belas nama itu tentu belum definitif. Sebab, forum muktamar yang punya wewenang menentukannya. Nama itu berasal dari 82 calon ketua umum sementara sesuai dengan hasil penjaringan panitia muktamar. Lalu kaukus ini berinisiatif memerasnya menjadi 39 nama. Setelah itu, mereka mengerucutkannya lagi jadi 13 orang.
Menurut Syarif, sebagian dari 13 nama itu dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-2015, yakni Abdul Mu'ti, Dahlan Rais, Haedar Nashir, Syafiq A. Mughni, dan Yunahar Ilyas. Ada pula wajah baru, seperti guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, Dadang Kahmad; dan Suyatno, Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta.
Nama-nama itulah yang akan dibawa oleh kaukus Muhammadiyah se-Jawa ke forum muktamar. Syarif mengatakan kaukus ini tidak terbentuk secara resmi, hanya insidental karena kepentingan muktamar. Kaukus tersebut sudah tiga kali bertemu dalam sebulan terakhir, di Yogyakarta, Jakarta, dan terakhir di Bandung.
Kaukus Jawa ini memilih 13 nama kandidat ketua umum karena mengacu pada mekanisme pemilihan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Ketua Panitia Muktamar Dahlan Rais mengatakan, sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi, peserta muktamar tidak memilih langsung ketua umum. Peserta memilih 13 orang dari PP Muhammadiyah periode 2015-2020. Lalu mereka yang memilih ketua umum. "Suara terbanyak tidak otomatis menang, tergantung kesepakatan 13 formatur," ujarnya Jumat pekan lalu.
Jauh hari sebelum muktamar, kata Dahlan, panitia sudah menjaring kandidat. Mekanismenya berawal dari pengajuan nama-nama calon ketua umum dari anggota tanwir Muhammadiyah. Total ada 204 anggota tanwir yang berasal dari PP Muhammadiyah, pimpinan wilayah, dan tujuh lembaga otonom milik Muhammadiyah.
Penjaringan awal, panitia menerima 200 nama. Lalu panitia menindaklanjutinya dengan bersurat kepada mereka. Isinya, meminta kesediaan jadi calon ketua umum dan bersedia memenuhi syarat calon ketua umum, seperti memiliki pengalaman organisasi, tidak rangkap jabatan dalam partai politik, dan bersedia berdomisili di Jakarta serta Yogyakarta dan sekitarnya.
Dari 200 nama itu, panitia cuma menetapkan 82 calon tetap ketua umum sementara. Sebab, sisanya ada yang tidak mengembalikan formulir dan ada pula yang tak bersedia dicalonkan karena jadi pengurus inti partai. Pada proses berikutnya, kata Dahlan, sidang tanwir memilih 39 orang jadi calon tetap ketua umum dari 82 calon sementara. Sidang tanwir digelar pada Sabtu-Ahad pekan lalu. "Calon tetap ketua umum ini yang akan dibawa ke muktamar untuk dipilih 13 formatur," ujar Dahlan.
Adapun peserta muktamar sebanyak 2.568 orang terdiri atas unsur PP Muhammadiyah, pimpinan wilayah pada tingkat provinsi, pimpinan daerah untuk tingkat kota dan kabupaten, serta organisasi otonom. Tiap pengurus Muhammadiyah tingkat kota dan kabupaten memiliki kuota lima hingga sembilan suara. Penentuan kuota suara berdasarkan jumlah cabang yang dimiliki. Makin besar jumlah cabang, makin banyak kuota suara yang dimiliki pimpinan Muhammadiyah di tingkat kota dan kabupaten.
Pengurus Muhammadiyah Andar Nubowo mengatakan, dari 13 nama yang diusung kaukus Jawa, empat di antaranya disebut sebagai calon kuat ketua umum. Mereka adalah Abdul Mu'ti, Syafiq A. Mughni, Haedar Nashir, dan Yunahar Ilyas. Keempatnya berprofesi sebagai dosen. Menurut Andar, persaingan ketua umum kerap berpusat pada dua poros, yaitu Jakarta dan Yogyakarta, tempat kantor pimpinan pusat berada. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah itu mengatakan kali ini poros Jakarta diwakili oleh Mu'ti, sedangkan poros Yogyakarta oleh Haedar dan Yunahar. Andar, yang dikenal dekat dengan Mu'ti, mengklaim bahwa Mu'ti juga punya pengaruh di Jawa Tengah. "Ia pernah jadi Sekretaris Pimpinan Wilayah Jawa Tengah," ucap Andar.
Tiga pengurus Muhammadiyah mengatakan kubu Jakarta menyokong Mu'ti. Sedangkan kubu Yogyakarta mendukung Yunahar. Namun Mu'ti menampik soal sokongan itu. "Di Muhammadiyah tak ada tradisi menyiapkan putra mahkota sebagai penggantinya," kata Mu'ti. Jawaban serupa dikemukakan Yunahar. "Siapa yang berpeluang jadi ketua umum baru akan ditentukan setelah terpilih 13 orang," ujar Yunahar.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, tiap calon punya kelebihan. Syafiq adalah seniornya di University of California Los Angeles. Mu'ti disebutnya memiliki kemampuan intelektual dan berpengalaman memimpin organisasi. Adapun Haedar merupakan cendekiawan berpengetahuan agama luas, dan Yunahar mempunyai pengetahuan keagamaan untuk melakukan tarjih, yaitu menetapkan hukum agama dengan dalil yang kuat. "Ketua umum harus bisa membawa Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan pembaruan," ucapnya.
Di luar dua poros tadi, Syafiq jadi penantang terkuat. Sekretaris Pimpinan Wilayah Jawa Timur Najib Hamid yang pertama kali menggelindingkan nama Syafiq bersandingan dengan Mu'ti, Yunahar, dan Haedar. Andar Nubowo mengatakan usul dari wilayah Jawa Timur patut diperhitungkan karena memiliki peserta terbesar di muktamar, selain Jawa Tengah.
Najib hanya tersenyum ketika dimintai konfirmasi. Ia mengatakan keempat figur itu memiliki kemampuan sepadan. "Mereka sama-sama pantas jadi ketua umum," ucapnya. Ia berujar, Jawa Timur solid mendukung Syafiq.
Rusman Paraqbueq, Mahardika Satria Hadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo