Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Muktamar Melawan Said dan Ahwa

Persaingan merebut jabatan Ketua Umum PB NU berlangsung keras. Sistem ahlul halli wal 'aqdi bikin panas.

3 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR lima ratus peserta Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 memenuhi serambi masjid di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Kamis pekan lalu, dua hari menjelang pembukaan Muktamar pada Sabtu malamnya. Muktamar NU berlangsung hingga Rabu ini. Mereka datang dari berbagai pengurus cabang NU di tingkat kabupaten dan kota serta pengurus wilayah NU dari sejumlah provinsi. Pondok Tebuireng menjadi tuan rumah muktamar bersama Pondok Pesantren Tambakberas, Pondok Pesantren Denanyar, dan Pondok Pesantren Rejoso.

Layar proyektor menampilkan tulisan yang menjadi tajuk pertemuan itu: "Ramah Tamah Muktamirin dengan KH Hasyim Muzadi dan KH Salahuddin Wahid". Menyambut peserta muktamar yang bersila menunggunya, Hasyim Muzadi keluar dari rumah Gus Solah—panggilan Salahuddin Wahid—yang menyertainya. Rumah Gus Solah bersebelahan dengan masjid. Tak banyak yang diucapkan Gus Solah, sekadar menyampaikan ucapan selamat datang di pondoknya.

Beda dengan Gus Solah, pernyataan Hasyim Muzadi langsung menyengat. Setidaknya, dalam setengah jam, Hasyim berbicara tentang penyelamatan NU dari pengaruh aliran Syiah dan Wahabi. Ia juga menyerang kepemimpinan NU di bawah KH Said Aqil Siroj. "Muktamar kali ini bukan hanya memilih orang, tapi juga menjaga NU agar tidak bengkok dari manhaj-nya (kaidah)," katanya.

Hasyim menuduh ada orang dan paham di luar ahlus sunnah wal jamaah atau Sunni yang menyusup ke NU. Hasyim pernah dua periode menjadi Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dan Said menjadi penggantinya pada periode 2010-2015. Dalam muktamar kali ini, Hasyim mengincar posisi Rais Am Syuriah NU, semacam ketua dewan tertinggi. Sedangkan Gus Solah bersaing untuk posisi Ketua Umum Tanfidziyah (eksekutif) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Dua orang ini bergerak dalam satu barisan.

Sebelumnya, Gus Solah tak kalah galak menyerang Said. Kepada Tempo, Selasa pekan lalu, Gus Solah menuding ada permainan politik uang dalam pemilihan Ketua Umum PB NU pada muktamar di Makassar, lima tahun lalu. Muktamar Makassar menghasilkan Said Aqil menjadi Ketua PB NU, dan Gus Solah kandidat yang kalah. Menurut cucu KH Hasyim Asy'ari—pendiri NU—ini, permainan uang dalam muktamar NU di Makassar sudah menjadi rahasia umum. "Saya tidak berani omong siapa yang melakukan, tapi politik uang itu ada dan masif," ujar Gus Solah.

Ia juga menyatakan Said Aqil gagal melakukan konsolidasi dengan pengurus NU di tingkat kota-kabupaten dan provinsi. Said, kata Gus Solah, kurang komunikatif dengan pengurus NU daerah. Gus Solah memang telah bersafari ke kantong-kantong NU di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ia juga berkeliling ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat untuk menggalang dukungan.

Said Aqil enggan meladeni tudingan yang memojokkannya. Sebagai inkumben yang akan maju lagi sebagai kandidat Ketua Umum PB NU, Said mengajak semua calon menggunakan cara santun. Ia menjamin tak ada politik uang dalam muktamar. "Apalagi saya. Saya enggak punya uang," ujarnya. Rabu pekan lalu, Said menerima sejumlah tamu—kebanyakan pendukungnya—di ruang kerjanya di gedung PB NU, Jalan Kramat Raya, Jakarta. Di depan tetamu yang menyatakan dukungannya, Said tampak tenang, tertawa lepas sembari menyedot asap rokok dalam-dalam.

Calon lain yang juga terus bergerilya mencari dukungan adalah As'ad Said Ali, yang dalam periode kepengurusan 2010-2015 duduk sebagai Wakil Ketua PB NU. Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara ini telah berkunjung ke sejumlah daerah di Indonesia untuk menjaring suara. Seorang pengurus NU mengatakan As'ad mendapat dukungan yang signifikan dari pengurus cabang NU di Jawa Tengah, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua. "Saya tidak sedang bertempur, tapi bersaing merebut Ketua PB NU," kata As'ad.

Calon lain yang juga menyatakan bertarung untuk Ketua PB NU adalah Muhammad Adnan. Mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah ini menyatakan mendapat dukungan melalui jaringan pertemanan dan kekeluargaan. Ia mengklaim didukung oleh mayoritas pengurus cabang NU di Jawa Tengah. Adnan tahu diri, ia belum dikenal dalam percaturan elite NU di tingkat nasional. "Saya masih kelas lokal, tapi semua bisa terjadi di muktamar," ucapnya.

Seseorang di kantor PB NU membocorkan hasil survei. Pemegang suara dalam muktamar NU sebanyak 546, yang terdiri atas 494 pengurus cabang, 34 pengurus wilayah, dan 18 pengurus cabang internasional. Survei berlangsung pada pertengahan Juli lalu. Angka dukungan menunjukkan Said Aqil disokong 43 persen suara, As'ad mendapat hampir 30 persen suara, Gus Solah 25 persen suara, dan Muhammad Adnan 2 persen. Peta dukungan ini, kata dia, bisa berubah sangat cepat hingga pas pemilihan Ketua Umum PB NU, yang dijadwalkan berlangsung Rabu dinihari pekan pertama Agustus ini. "Sebab, semua kandidat bermanuver untuk saling mencuri dukungan," ujarnya.

Mekanisme pemilihan Ketua Tanfidziyah PB NU dengan satu pengurus cabang dan wilayah mendapat satu suara telah berlangsung dalam beberapa kali muktamar. Pada Muktamar Jombang kali ini juga tidak dipersoalkan. Ini beda dengan mekanisme pemilihan Rais Am Syuriah, yang berubah total. Dalam beberapa muktamar sebelumnya, pemilihan Rais Am melalui pemungutan suara.

Namun Rapat Pleno PB NU di Wonosobo, Jawa Tengah, dua tahun lalu, mengubah mekanisme pemungutan suara itu menjadi musyawarah mufakat oleh sembilan orang formatur. Sistem pemilihan seperti ini disebut ahlul halli wal 'aqdi atau disingkat ahwa. Secara bahasa, ahlul halli wal 'aqdi berarti orang-orang yang berwenang melepaskan (halli) dan mengikat ('aqdi). Keputusan rapat di Wonosobo itu dikuatkan lagi dalam Musyawarah Nasional NU pada November tahun lalu. Harapannya, sistem ahwa tinggal mendapat persetujuan pada muktamar di Jombang.

Hasyim Muzadi merupakan orang yang paling lantang menolak sistem ahwa. Apalagi Musyawarah Nasional NU sudah menetapkan 39 nama kiai yang berhak dipilih untuk menjadi anggota tim ahwa, yang berjumlah 9 orang pada forum muktamar. Dan nama Hasyim Muzadi tidak masuk. Nama beken lain yang juga terlempar dari daftar 39 calon formatur adalah Habib Luthfi bin Yahya dari Pekalongan. "Sistem ini mereduksi peran ulama dalam struktur NU," kata Hasyim Muzadi. Ia marah dan menuding Said Aqil Siroj berada di balik "akal-akalan" sistem ahwa. Tapi Said membantah. "Ahwa hasil kesepakatan kiai-kiai NU," ucapnya.

Sunudyantoro, Jobpie Sugiharto (Jakarta), Ishomuddin (Jombang), Rofiuddin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus