Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Naro, dia berkelit

Profil j. naro, ketua umum DPP PPP, yang banyak dikecam ketika diuji di pentas politik pada 1970: mengkup DPP parmusi pimpinan djarnawi hadikusumo & lukman harun. berhasil merebut simpati banyak orang.

2 September 1989 | 00.00 WIB

Naro, dia berkelit
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MAU tahu potret seorang politikus? Lihatlah J. Naro. Ia banyak dikecam ketika diuji di pentas politik pada 1970: mengkup DPP Parmusi pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun. Tapi 18 tahun kemudian ia dipuji sebagai "kampiun demokrasi", ketika ia gigih tampil sebagai calon wapres. Partai baru ini federasi berbagai ormas Islam, yang berkat SK Presiden No. 70/1968 bisa bermuktamar di Malang. Naro menuding pimpinan Parmusi "mendorong partai beroposisi dan menentang pemerintah". Naro lalu jadi ketua umum. Ketika itu dia anggota DPR, bukan mewakili Parmusi tapi Golkar, sehingga lawan politiknya menuduhnya "tidak loyal kepada partai". Lahir di Palembang dari keluarga Haji Datoek Naro, pensiunan pegawai tinggi Departemen Pertanian, pemuda bernama Jaelani ini di masa revolusi bergabung dengan Tentara Pelajar di Sumatera Selatan. Lalu masuk Fakultas Hukum UI. Lulus sarjana pada 1962, pertama kali Naro, yang kemudian dipanggil John, bertugas sebagai jaksa di Karawang, Jawa Barat. Belakangan, Naro yang jadi Dirut PT Dharma Unicus itu bisa menggaet gelar doktor kehormatan (HC) di bidang hukum dari China Academy, Taiwan. Suatu gelar yang biasa diperoleh pengusaha dan pejabat. Kisah Naro yang tiba-tiba muncul sebagai salah seorang pimpinan Jam'iyyatul Washliyyah mengundang tanya juga. Konon, seorang pedagang membawa Ketua Jam'iyyatul Washliyyah, Uddin Syamsuddin, ke runah Naro. Begitulah, bekas Kepala Dinas Reserse Kejaksaan Jakarta Raya ini muncul sebagai tokoh ormas kecil Islam yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. Dari basis inilah, dua tahun kemudian, ia loncat menduduki kursi Ketua III PP Parmusi hasil muktamar Malang, 1986 Karena gebrakannya mengkup Parmusi dianggap tidak konstitusional, Naro dipecat. Tapi bukan Naro kalau tak memukul balik. Ia ganti memecat Djarnawi dan Lukman. Setelah hampir dua bulan kemelut Parmusi, Pemerintah turun tangan dan mempercayakan pembenahannya kepada H.M.S. Mintaredja, S.H. Dan Naro tampil sebagai salah seorang ketua. Ketika PPP terbentuk sebagai hasil fusi empat partai Islam (NU, Parmusi, PSII, Perti) pada 1973, sah pula Naro sebagai salah seorang tokoh pucuk pimpinan partai politik. Mewakili unsur Muslimin Indonesia (MI), namanya sejajar dengan tokoh puncak NU seperti K.H. Idham Chalid. Lima tahun kemudian, 1978, di luar dugaan Naro tampil sebagai "putra mahkota". Tanpa melalui muktamar, tiba-tiba Mintaredja menyerahkan kepemimpinan PPP kepada Naro. Orang bilang. ini tak lepas dari turun tangannya Pemerintah untuk meratakan jalan menjelang Pemilu 1982. Penggusuran terhadap lawan politik itu didemonstrasikannya dalam muktamar PPP 1984 -- muktamar pertama setelah 11 tahun PPP berdiri. Ia menyeleksi ketat para peserta. Lebih dari 100 utusan daerah, sebagian besar dari NU, ditolak masuk. Maka, Naro pun terpilih lagi sebagai ketua umum. Kubu Naro tak selamanya aman. Pada 1986 muncul "Kelompok Soedardji", yang melancarkan mosi tidak percaya atas kepemimpinannya. Naro cepat bertindak dengan memecat para pembangkang: Almarhum Soedardji, Syarifuddin Harahap, Tamam Achda, dan Ridwan Saidi. Kecaman terhadap kepemimpinan Naro cukup santer. Ia dituduh melakukan nepotisme, dengan mengangkat beberapa anggota keluarganya sebagai anggota DPP PPP, dan memasukkannya dalam FPP: anaknya, Tussein Naro, dan adiknya, Ny. Djailinar Oetomo, sebagai anggota DPR. Iparnya, Eddy Wibowo, sebagai anggota MPR. Menjelang Pemilu 1987, sekali lagi Naro menyingkirkan lawan-lawan politiknya, terutama calon-calon NU untuk DPR/MPR. Akibatnya, NU memisahkan diri dari PPP dan melakukan "penggembosan", hingga perolehan PPP dalam Pemilu 1987 anjlok dari 27% (1972) menjadi 15,25%. Di Jakarta PPP pernah imbang dengan Golkar, tapi pada 1987 partai ini bahkan berada di bawah PDI. Naro pun berusaha mengonsolidasikan partai. Menjelang SU MPR 1988, sekali lagi ia bikin kaget banyak orang: FPP menjagokannya sebagai wapres. Ia menjadi buah bibir. Bahkan ada yang menyebutnya superstar. Ketika itu harian Kompas memuji Naro sebagai figur politik yang tidak konvensional, dengan "keberanian yang mendekati periferi petualangan". Suasana SU MPR ketika itu memang terasa lebih segar. Naro muncul seolah jadi "kampiun demokrasi", dan beroleh banyak simpati. Ada sementara kalangan yang mendesaknya agar mundur saja. Tapi dengan cepat Naro menantang. "Siapa yang berani menekan saya? Siapa? Tak satu orang pun berhak menyuruh Naro mundur," katanya. "Saya siap menjadi tumbal demokrasi." Tapi "sang tumbal" akhirnya ditarik oleh fraksinya mengundurkan diri. Presiden Soeharto, dalam otobiografinya, Soeharo, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, menyebut Naro sebagai orang yang "hanya mengetahui hak, tapi tak mengetahui kewajiban". Naro memang bisa nekat dalam petualangan politiknya. Sebagai politikus yang lihai, dia toh bisa tersandung batu besar. ketika mengadu nasib sebagai calon wapres. Dia terlalu bersemangat ketika memainkan perannya sebagai calon wapres.Budiman S Hartoyo dan Budiono Darsono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum