YANG laku dari Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pekan ini memang pemilihan ketua umum. Padahal, di samping itu ada acara yang tak kalah pentingnya: revisi terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai. Dan ini bukan asal revisi. Berbagai pasal yang dianggap belum sesuai dengan semangat asas tunggal Pancasila diubah. Termasuk juga penggunaan beberapa kata yang, seperti diucapkan Menteri Dalam Negeri Rudini, "dianggap berbau Islam". Ini agaknya upaya agar prinsip PPP sebagai partai terbuka dapat ditegakkan dengan lurus. Dan bila ini terlaksana, maka konsensus nasional yang dicanangkan pada saat berdirinya Orde Baru, 1966, boleh dikata tuntas. Seperti diutarakan Presiden Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, konsensus nasional itu ada dua hal. Pertama, kebulatan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD'45 secara murni dan konsekuen. Kedua, mengenai cara-cara melaksanakan konsensus pertama itu. Yang pertama berjalan singkat, yang kedua tersendat-sendat. Bayangkan, upaya membuat RUU tentang kepartaian, keormasan, dan kekaryaan sudah dimulai dan diserahkan kepada DPR-GR pada akhir 1966. Namun, baru dapat disahkan pada 1969. Kemudian pelaksanaan UU yang sudah disahkan ini pun membutuhkan waktu. Kesepakatan memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya asas baru dicapai pada 1983. Dan selarasnya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPP dengan semangat asas tunggal dan UU tentang Parpol & Golkar, ya, baru terjadi pekan ini. Padahal, upaya menyelaraskan PPP dengan konsensus kedua ini sudah dilakukan sejak lahirnya organisasi politik ini, 16 tahun yang lalu. Yakni ketika Presiden memperingatkan para pengurus PPP agar "jangan menonjolkan agamanya, Islamnya". Ada penjelasan panjang dari Presiden tentang makna kalimat itu. "Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya kepada akhirat, tetapi melihat juga masalah yang riil di dunia, maka sebenarnya kita harus berpikir mengenai masalah dunia dan akhirat," tulis Soeharto dalam otobiografinya. Tampaknya gagasan Presiden mirip mencari perpaduan dua paham yang biasanya bertolak belakang, yakni antara idealisme dan realisme. "Tidak ada jeleknya kalau memang ada yang mau menonjolkan spiritualnya. Namun, toh ia harus jujur bahwa ia pun harus memikirkan materielnya. Misalnya, ada yang mau tekun mengaji saja di pondoknya. Silakan, tetapi ia pun harus jujur bahwa ia pun memerlukan makan." Perwujudan gagasan tersebut, "sampai pada pikiran, cukuplah kita adakan dua kelompok saja dari sembilan partai, ditambah satu dari Golongan Karya." Menurut Presiden, ide ini disambut kompak. "Pada waktu saya berhadapan dengan para pimpinan partai-partai itu, tidak ada yang ngotot-ngotot. Mereka semua mengakui kebenaran jalan pikiran tadi. Dari kesembilan partai itu, tidak ada yang menunjukkan ketidaksepakatannya." Dua kelompok itu disebut oleh Presiden sebagai kelompok "materiel-spirituil" dan "spirituil-materiel". "Pihak Islam memang memilih yang spirituil-materiel. Tetapi toh juga saya tekankan, jangan menonjolkan agamanya, Islamnya?". Itu tercermin dari namanya, "tidaklah menyebut-nyebut Islam, melainkan Partai Persatuan Pembangunan, dengan program spiritual-materiel." Ketika itu ada yang berkomentar "Wah, kita masuk wuwu (lukah). Kita digiring oleh Pak Harto masuk wuwu." Lukah itulah tempat untuk menjebak ikan di sungai. Tapi masuk lukah dan masuk lukah ada bedanya. Gagasan tentang kepartaian ini masuk lukah "bukan untuk dibunuh, melainkan untuk hidup bersama-sama ... untuk makan bersama-sama. Dan sebagai wuwu-nya adalah negara Pancasila." Kesepakatan tentu saja memerlukan kekonsekuenan. "Sesudah kita sepakat dengan konsensus itu, maka artinya kita tidak bisa keluar lagi dari dalamnya." Dan untuk secara sempurna masuk wuwu itu, ternyata dibutuhkan waktu panjang. Terbukti PPP harus menempuh perjalanan panjang sebelum "jangan menonjolkan Islamnya." Dalam deklarasi fusi keempat partai (NU, PSII, PMI, Perti) ternyata masih dicantumkan Islam dan Pancasila sebagai asas. Tanda gambar yang digunakan dalam pemilu 1977 dan 1982 pun masih sangat Islami, yaitu gambar Ka'bah. Pada masa ini pula terjadi kortsluting antara PPP dan pemerintah. Yakni mengenai aliran kepercayaan dan P4, hingga NU melakukan walk out. Kasus ini memunculkan nama Jailani Naro. Tokoh ini kemudian melakukan "kudeta" hingga menjadi Ketua Umum PPP, pada 1978. Kendati ada anggapan bahwa Naro menguasai PPP berkat "dukungan pemerintah", ternyata ia tak lantas menjadi lokomotif penanggalan napas Islam PPP. Adalah almarhum Soedardji yang sempat bertengkar dengan Naro karena menuntut PPP menjadi partai terbuka, Maret 1985. Beberapa bulan sebelumnya Naro juga menyetujui perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga karena desakan Syarifuddin Harahap dan Tamam Achda. Pada anggaran yang lama masih dicantumkan anak cabang partai di tingkat kecamatan dan ranting di tingkat desa. Ini jelas bertentangan dengan ide massa mengambang yang diatur oleh UU Nomor 3 tahun 1975. Demikian pula diubahnya tanda gambar Ka'bah menjadi bintang karena desakan "pihak lain". Menteri Dalam Negeri (ketika itu) Soepardjo Rustam, pada Maret 1985, mengimbau agar PPP mematuhi undang-undang tentang massa mengambang. Namun, pergantian tanda gambar ini tak membuat PPP melepaskan tema Islam dalam kampanye pemilu yang lalu, 1987, hingga membuat bos NU, Abdurrahman Wahid, melancarkan protes. Kini, demgan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang baru, agaknya sulit bagi PPP untuk tetap mencitrakan dirinya sebagai partai Islam. Karena itu, partai ini harus menemukan citra baru sebagai partai terbuka. Persoalannya: citra macam apa? Seorang pejabat tinggi yang tak mau disebut namanya berpendapat, "PPP itu akan menjadi partai konservatif, Golkar moderat, dan PDI progresif." Penilaian itu tampaknya didasari pendapat bahwa modernisasi setara dengan melajunya budaya yang mementingkan materi Karena itu, partai yang mengutamakan spiritual dianggap konservatif. Tapi bisakah partai yang sejak awal bernapaskan Islam, dan kenyataannya memperoleh massa lewat citra Islam, begitu saja luntur Islamnya? Lukman Harun, salah seorang pimpinan Muhammadiyah, meragukannya. "Memang PPP menjadi partai terbuka, tapi apa ada orang non-Islam yang mau masuk?" katanya. Taruhlah Islam tak disebut-sebut lagi, ia cenderung beranggapan PPP akan tetap menjadi partai penyalur umat Islam yang tak tertampung di dalam Golkar. "Karena itu, saya menduga PPP akan tetap menjadi partai nomor dua. Tidak besar, juga tidak kecil," kata Lukman. Seorang pejabat Golkar mengeluarkan nada serupa. "Saya kira Golkar akan menampung umat Islam yang pragmatis dan PPP menampung umat Islam yang enlightened," katanya yakin. Suara yang agak lain datang dari cendekiawan Nurcholish Madjid. Ia tak bicara soal Islam atau bukan islam, melainkan mengharapkan PPP dapat menjadi seperti Partai Sosialis Demokrat di Jerman Barat. Yakni partai kecil yang berpengaruh karena mampu melemparkan ide-ide politik yang jauh menyongsong ke masa depan, dan bukan berkonsentrasi pada memenangkan pemilu. Namun, untuk jangka waktu dekat ini Nurcholish Madjid tak optimistis dengan peran PPP. Pasalnya, doktor lulusan AS yang pernah menjadi Ketua HMI di masa mahasiswanya ini tak melihat kehadiran anggota yang cukup berbobot di Partai Bintang itu. Membandingkannya dengan Masyumi, kata dia: "Masyumi dulu terdiri atas kaum kelas satu pada zamannya, PPP tidak. Sehingga tak sanggup mengambil inisiatif yang jitu." Tapi satu kenyataan mesti dicatat, yakni berhentinya PPP sebagai partai Islam bukan berarti disambut dengan sedih oleh kaum muslimin di Indonesia. "Kita lebih senang tak ada partai agama di Indonesia, sehingga agama itu menjadi milik kita semua," ujar Ibrahim Hasan, Gubernur Aceh, kepada TEMPO beberapa waktu lalu. "Apa Anda pikir orang-orang Islam yang ada di Golkar dan PDI itu kafir?" tambahnya. Tapi Naro tak yakin bahwa PPP sama sekali akan kehilangan citra Islamnya, setidaknya dalam waktu dekat. "Orang kan sudah tahu siapa PPP itu. Orang yang cinta PPP tak akan meninggalkan PPP."Bambang Harymurti, Agung Firmansyah, dan Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini