Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Hampir 20 tahun penyelesaian kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib, terkatung-katung di tangan penegak hukum. Kini, kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) menagih komitmen Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang tahun lalu membentuk tim ad hoc, untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat dalam pembunuhan Munir pada 7 September 2004 tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal KASUM Bivitri Susanti mengatakan Komnas HAM sebelumnya menjanjikan penyelesaian kasus pembunuhan Munir pada tahun ini. Namun, hingga saat ini, Komnas HAM tak memberikan informasi apa pun ihwal perkembangan penyelidikan mereka, baik kepada keluarga korban maupun publik. Dia mengingatkan, keluarga korban telah 20 tahun tidak mendapatkan keadilan. "Jadi persoalannya bukan ingin memburu-buru untuk kepentingan lain, selain keadilan," kata Bivitri dalam telekonferensi pada Rabu, 27 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Bivitri, merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM wajib memberikan informasi ihwal perkembangan penyelidikan kepada keluarga korban dan publik. Apalagi Komnas HAM kini menjadi lembaga terdepan dalam penyelesaian kasus Munir—setelah bertahun-tahun tanpa kejelasan di tangan penegak hukum. "Ini soal kepastian hukum. Justice delay is justice deny," kata Bivitri, yang juga pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera.
Dalam kasus ini, rangkaian proses peradilan sebenarnya telah menghukum Pollycarpus Budihari Priyanto. Mantan pilot Garuda Indonesia itu dinyatakan bersalah turut serta dalam pembunuhan Munir. Namun penegak hukum gagal menjerat otak pembunuhan yang diduga dilakukan secara sistematis oleh alat negara tersebut. Mantan Deputi V Bidang Penggalangan Badan Intelijen Negara (BIN), Muchdi Purwoprandjono, misalnya, sempat didakwa dalam perkara ini, tapi divonis bebas. Dokumen investigasi Tim Pencari Fakta (TPF), yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir 2004, hingga kini juga tak jelas rimbanya.
Munir, SH (tengah) di Jakarta, 2002. Dok. TEMPO/Bagus Indahono
Tahun lalu, Komnas HAM membuka harapan atas penyelesaian kasus ini dengan membentuk tim ad hoc. Terakhir kali, KASUM mendatangi Komnas HAM pada 12 Mei lalu untuk menanyakan perkembangan penyelidikan kasus ini. Kala itu perwakilan KASUM beserta istri Munir, Suciwati, mendapat sejumah kabar positif, antara lain Komnas HAM telah mengirim surat pemberitahuan dimulainya penyelidikan kepada Kejaksaan Agung. Dari seorang komisioner Komnas HAM, KASUM juga menerima komitmen untuk penyelesaian kasus Munir secara pro justitia pada tahun ini.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menilai penyelesaian kasus Munir semestinya tidak berlarut-larut. Komnas HAM, kata dia, telah memiliki sejumlah petunjuk yang dapat mengarahkan penyelidikan ke aktor di balik pembunuhan Munir. Kewenangan Komnas HAM dalam mengusut dugaan pelanggaran HAM berat ini juga dijamin oleh undang-undang, termasuk dalam memanggil saksi secara formal ataupun paksa. "Jadi semestinya tidak ada alasan penyelidikan terhambat," kata Arif. “Ini tinggal melakukan proses hukum. Bahkan sudah ada 56 saksi yang sudah di-profiling.”
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy mengatakan pembunuhan Munir bukan tindak pidana umum biasa. Pembunuhan itu diduga dilakukan secara sistematis dan melibatkan perangkat negara, seperti petinggi BIN dan perusahaan milik negara. Karena itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Pengadilan HAM, Komnas HAM seharusnya dapat menyatakan pembunuhan Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat. “Kami juga meminta negara membuka dokumen TPF untuk mensahihkannya,” ujarnya.
Menurut Direktur Imparsial Gufron Mabruri, pengusutan tuntas pembunuhan Munir amat penting tidak hanya untuk korban dan keluarga, tapi juga sebagai bukti komitmen negara terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Karena itu, dia mendesak Komnas HAM bersikap transparan dan progresif dalam menangani kasus ini. "Ini penting untuk memutus mata rantai impunitas terhadap kasus pelanggaran HAM berat,” kata Gufron.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan penyelidikan tim ad hoc dalam kasus pembunuhan Munir masih berlangsung. Dia mengatakan tim bentukan lembaganya tersebut juga tengah mempersiapkan proses pemanggilan para saksi.
Kendati begitu, Anis membenarkan bahwa Komnas HAM tidak dapat menyelesaikan penanganan kasus pembunuhan Munir pada 2023. Penyelidikan, kata dia, akan dilanjutkan tahun depan. Anis memastikan lembaganya berkomitmen menuntaskan penyelidikan kasus ini. “Kami bekerja dengan serius, dan soal waktu akan kami informasikan perkembangannya,” katanya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendesak Komnas HAM agar dapat menjelaskan rincian batas waktu penuntasan penyelidikan kasus Munir. Menurut dia, minimnya langkah serius dalam penyelidikan ini tidak hanya menutupi pencarian keadilan, pengungkapan kebenaran, dan kepastian hukum, tapi juga bisa mengekalkan impunitas terhadap pelanggar HAM berat di Indonesia. “Ini akan berimplikasi terhadap gelapnya pelindungan atas kerja-kerja pembela HAM pada masa mendatang,” ujarnya.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo