DALAM acara perkenalan buku Memori Jenderal Yoga (lihat Buku), di Hotel Sari Pacific, Jakarta, Selasa pekan lalu, Jenderal (Purn.) Soemitro diminta menjelaskan satu sisi dari Peristiwa 15 Januari 1974, yang terkenal dengan sebutan "Malari". Soemitro mengaku cukup lama menutup diri dari pers. "Saya lebih suka menikmati hidup," katanya. Dia juga rajin jogging setelah pensiun sebagai Pangkopkamtib. "Berat badan saya pernah berkurang 20 kg dari 98 kg." Sejak 1979, ia sibuk sebagai komisaris utama dalam perusahaan barunya, Rigunas Group. Dan ayah lima anak ini, "sangat bahagia bila dikerubuti cucu-cucu saya." Senin pekan ini, ia menerima Leila S. Chudori dari TEMPO, dan mengungkapkan hal-hal yang selama ini masih menjadi tanda tanya. Beberapa petikan: Bagaimana suasana sebelum Malari? Ketika itu saya jadi wakil ketua delegasi ke Konperensi Nonblok di Aljazair, ketua delegasinya Adam Malik. Ketika pulang, Soedjono Humardani melapor bahwa kampus-kampus resah. Karena Djono bukan intelijen, saya biasa-biasa saja. Belakangan Ka Bakin Sutopo Yuwono, dan As I Hankam Kharis Suhud, melapor mengenai "dokumen Rahmadi". Lo, apa itu? Katanya, isi dokumen itu menyebutkan menokohkan saya untuk dihadapkan sebagai saingan Pak Harto. "Apa sudah dilaporkan pada Pak Harto," tanya saya. "Sudah," jawab Sutopo. "Apa reaksi Pak Harto?" tanya saya lagi. "Pak Harto mengatakan, ah, mereka hanya memakai nama Mitro saja," jawabnya. Ya sudah, saya tenang. Seminggu kemudian saya dipanggil Pak Harto. Bersama Sudomo, ketika itu wakil saya, dan Sutopo, kami menghadap. Pak Harto bercerita mengenai kampus-kampus yang resah, dan beliau menanyakan apakah saya bisa menenangkannya. Saya jawab, "Saya bersedia." Mula-mula saya ke kampus-kampus di Jawa Timur, lalu ke UGM, ke ITB, dan seterusnya. Rencana berikutnya, ke Unhas dan Unsu. Tapi ndak sempat, keburu Malari meletus. Ada yang beranggapan bahwa Anda dekat dengan mahasiswa, hingga timbul kecurigaan Andalah yang memberi angin pada mahasiswa. Wah, ndak..., ndak. Salah itu. Kalau ada yang menuduh saya dekat dengan mahasiswa, mungkin karena saya berdialog dengan mereka di kampus-kampus. Lha, wong, itu kan perintah Pak Harto kepada saya untuk berkeliling mengunjungi kampus-kampus, karena mahasiswa kabarnya pada resah. Dialog itu perlu buat para mahasiswa. Semua grievances, semua unek-unek para mahasiswa, harus didengarkan. Dan Anda tidak marah? Tidak. I was listening to them. Saya juga pesan kepada asisten saya, yang ikut kunjungan saya ke kampus-kampus: kalau melihat sikap dan ucapan mahasiswa yang nggak enak, jangan marah. Kalau kita marah, ya ndak ada bedanya antara tua dan muda. Kita harus mendengarkan mereka. Anak muda itu kalau didengarkan, pasti senang. Cerita "Malari" itu sendiri bagaimana, dan mengapa Anda mundur? Waktu itu kami sedang rapat Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi). Saya wakil ketuanya. Waktu itu situasi sudah mulai ramai, sementara Pak Domo bolak-balik memberi tahu dengan surat bahwa Herman Sarens (ketika itu komandan korps markas Hankam -- Red.) melaporkan keadaan semakin ramai. Malah, hari itu juga sudah terjadi pembakaran. Setiap kali saya mau pergi, Pak Panggabean (Ketua Wanjakti dan Menhankam) selalu bilang, "Tunggu dulu." Sampai rapat selesai, barulah saya menemui Sudomo. Dia menjelaskan apa yang terjadi. Lalu saya katakan, demonstrasi itu salah. Kalau toh ada demonstrasi, cegah jangan sampai mereka ke Monas dan tak boleh melampaui jembatan di belakang Istana. Kalau demonstran itu sampai ke Monas, mereka pasti ke Istana. Dan Pak Domo melaksanakannya dengan baik. Tapi kekurangan pasukan. Pak Domo membutuhkan dua batalyon. Langsung saya telepon Panglima Jawa Timur, Widjojo Sujono, Panglima Jawa Tengah, Jasir Hadibroto, jago perang tuh. Masing-masing saya minta kirim satu batalyon, dalam 24 jam. Demonstrasi besar pasti dimanfaatkan oleh gelandangan dan perampok. Itu terjadi di Senen, Glodok. Bahkan saya dengar mereka mau membakar Blok M. Saya tawarkan kepada DMUI untuk dialog dengan PM Jepang, Tanaka, yang baru berkunjung ke sini. Lalu Charge d'affairnya lapor pada saya, Tanaka bersedia dialog pada 16 Januari. Apa jawab DMUI? Ternyata DMUI menjawab "dialog diganti dengan dialog jalanan" dengan segala akibatnya. Setelah Tanaka pergi, saya melapor kepada Presiden. "Pak, saya minta maaf. Saya sudah berbuat apa yang bisa dan toh terjadi. Semua ini tanggung jawab saya. Karena itu, izinkan saya mengundurkan diri." Kata Pak Harto, "Mengundurkan diri tidak menyelesaikan masalah. Ini bukan hanya kesalahan Mitro. Ini kesalahan kita semua." Setelah itu ... eee ... soal kelompok Rahmadi muncul lagi. Rupanya, ada yang melapor lagi ke Pak Harto soal Rahmadi itu. Dan saya ndak tahu siapa yang lapor-lapor. Katanya, sih, dia seorang jenderal bintang empat dan seorang laksamana muda. Padahal, seperti saya sebutkan tadi Sutopo Yuwono sudah melapor kepada Presiden. Dan Pak Harto sudah menjawab. Tapi nampaknya Pak Harto mempersoalkannya lagi. Kata Pak Harto, "Begini Mitro, ini satu organisasi yang memakai nama Mitro untuk tujuan yang nggak baik. Namanya Rahmadi." Saya diam saja. Lalu Pak Harto melanjutkan, "Untuk itu, saya minta Mitro mengalah sementara. Mitro jadi dubes di Amerika...." Tapi keluarga saya ndak ada yang setuju. Saya menghadap lagi, saya tidak bersedia jadi dubes di AS. Saya minta diberhentikan. Setelah itu saya panggil Ali Moertopo. "Li, nama saya dirusak. Karena ada dokumen Rahmadi yang menggunakan nama saya untuk dihadapkan dengan Pak Harto." Bagaimana reaksi Ali Moertopo? Dia kelihatan kaget. Tapi perusakan nama itu ternyata kok jalan terus. Nah, sampai kira-kira tahun 1975, keadaan sudah bisa diatasi. Ketika itu saya bilang sama L.B. Moerdani, yang menjabat As Intel Hankam: "Mbok ya, jangan terus-terusan kalau merusak nama saya. Tolong sampaikan pada Ali." Setelah itu, perusakan nama saya berhenti. Apa peran Ali Moertopo ketika itu? Dia ikut membantu saya, kok. Dia sangat membantu. Nah. tapi kalau memang ada apa-apa, saya yang tak tahu. Mungkin pada saatnya anak-anak buah Ali harus jujur pada saya, bagaimana ceritanya. Saya dengar versi macam-macam soal pembakaran Proyek Senen. Tapi itu kan membutuhkan bukti, harus ditanyakan pada Sutopo Yuwono, Kharis Suhud, Nicklany. Barangkali mereka lebih tahu. Pokoknya, yang saya tahu Ali dan Djono membantu saya. Pak Djono tiap malam tidur di kantor saya menjelang ramai-ramai Malari. Mengenai desas-desus rivalitas antara Anda dan Ali Moertopo? Di mata saya, tak ada masalah antara saya dan Ali Moertopo. Dia orang lapangan. Bahkan saya menyayanginya. Sungguh. Tapi memang ada desas-desus bahwa Ali rival saya. Nah, setelah Pemilu 1971, kira-kira awal 1972, saya panggil dia. Saya katakan, "Li, suara-suara di luar mengatakan bahwa kamu rival saya. Ya, itu ndak bisa. Wong saya ini masih militer, tak punya tujuan politik. Kamu bintang dua, saya bintang empat. Kamu deputi Bakin, saya Pangkopkamtib dan Wapangab. Ndak mungkin. Jarak kita terlalu jauh untuk bersaing. Ndak bisa, dong, langsung jadi Pangkopkamtib. Tapi kalau kamu mau jadi presiden, itu hakmu. Silakan. Ini negara demokrasi. Asal kamu melakukannya sesuai dengan UUD." Apa salahnya kalau orang punya ambisi...? Ya, sudah. Buat saya, kalaupun ia memiliki ambisi menjadi presiden, ya ndak salah. Sama sekali tidak. Dulu ketika orang mendesas-desuskan Ali Sadikin mau jadi presiden, saya katakan, "Silakan masuk PDI." Ketika pembentukan Kabinet Pembangunan (1973), saya sarankan kepada Pak Harto agar Ali jangan menjadi Kabakin. Pada 1971, saya menyarankan agar Pak Harto membubarkan Kopkamtib, Opsus, dan meniadakan Aspri. Tapi jawaban Pak Harto, "Belum waktunya." Apa dasar saran itu? Begini. Menurut saya, kita harus mengembalikan keadaan kepada kehidupan konstitusional dan institusional. Kopkamtib dan Opsus itu kan diciptakan untuk saat-saat yang extraordinary (darurat -- Red.), jadi tidak boleh terlalu lama. Dan menurut saya seharusnya Ali Moertopo melepaskan diri dari Opsus, supaya Bakin bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Sebab, dengan adanya Opsus timbul konflik kepentingan dengan intel Kopkamtib dan intel yang lain. Medan tugasnya kan sering tumpang tindih. Tapi apa Pak Ali ketika itu memang ingin jadi Kabakin? Dia sendiri tak pernah mengucapkannya, tapi feeling saya demikian. Kenapa Anda beranggapan Ali Moertopo tak cocok sebagai Kabakin? Bayangkan kalau Ali jadi Kabakin, dia nggak boleh bicara bebas. Sedang sebagai Menpen -- yang juga saya sarankan -- dia bisa lebih bebas bicara tentang kebijaksanaan pemerintah. Ali sangat mampu menjelaskan macam-macam. Ali itu punya karisma dan mampu menarik perhatian orang. Dan semua alasan ini saya kemukakan pada Pak Harto. Gara-gara isu rivalitas itu, apa betul Anda dipertemukan dengan Ali Moertopo di hadapan Presiden? Kami memang menghadap Pak Harto bersama, tapi untuk melapor biasa, kok. Bukan mau bicara khusus soal rivalitas. Pak Harto memang menyinggung persoalan antara saya dan Ali secara halus. Katanya, "Ada suara-suara begini...." Saya ndak menanggapi, karena ndak begitu paham. Tapi begitu keluar dari ruangan, saya berpikir, apa maksud Pak Harto. Saya pikir, mungkin ada benarnya isu itu. Begini. Kondisi politik saat itu mendorong masyarakat membuat perkiraan seperti itu. Ada orang nongol dikit, wah, sudah dianggap calon presiden. Itu kan pola pemikiran Barat. Waktu itu, saya dikatakan sebagai calon presiden. Lha, itu kan keliru. Kita kan punya nilai-nilai dan sistem sendiri. Kembali ke soal "Malari", akhirnya Anda tahu siapa Rahmadi? (Berteriak keras) Ndak tahu, saya ndak tahu orangnya. Ketemu pun belum pernah. Hanya pada akhirnya saya dengar-dengar, dalam kelompok Rahmadi ada Letjen. Suadi, bekas dubes di Etiopia, Laksma. Mardanus, bekas menteri perindustrian Maritim, kemudian... Puguh, kemenakan Bung Karno, yang pernah memimpin koran Elbahar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini