Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Meski berlangsung dengan aman, perayaan Natal di Kabupaten Sijunjung dan Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat, berjalan kurang wajar. Pendamping warga Kristen dan Katolik di dua kabupaten itu, Sudarto, mengatakan, di Nagari (Desa) Kunangan Parik Rantang, Kecamatan Kamang Baru, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, umat Katolik tak bisa merayakan Natal dengan leluasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajer Program Yayasan Pusat Studi Antar-Komunitas (Pusaka), organisasi yang mengadvokasi hak-hak masyarakat, mengatakan ibadah yang dihadiri sekitar 40 orang itu berlangsung tertutup. Berbeda dari kelaziman, perayaan Natal di daerah ini tanpa acara menyanyi bersama. "Mereka berdoa memakai bahasa Indonesia dan dalam keheningan. Itu yang terjadi," kata Sudarto kepada Tempo, kemarin. 
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, umat Kristiani di daerah ini menggelar perayaan Natal dengan sunyi karena tak ada keterangan tertulis yang menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Sijunjung mengizinkan peringatan kelahiran Isa Almasih ini secara bersama-sama di rumah warga. Pemerintah Nagari dan Ninik Mamak, lembaga adat di sana, menyatakan hanya merestui perayaan di tempat ibadah resmi. Padahal tak ada bangunan gereja di Nagari Kunangan Parik Rantang.
Sudarto mengatakan, kemarin pagi, saat umat Katolik di desa itu mempersiapkan ibadah, beberapa personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Sijunjung tiba dengan membawa bus. Tujuannya, kata Sudarto, menyilakan warga Nasrani menggunakan bus itu untuk merayakan Natal di Sawahlunto, yang berjarak hampir 100 kilometer dari desa. Gereja Katolik di Sawahlunto merupakan yang terdekat dari Sijunjung.
Tawaran fasilitas bus ini, kata Sudarto, ditolak umat Katolik Sijunjung. Alasannya, mereka ingin beribadah dan merayakan Natal di kampung halamannya. Sudarto menyayangkan tindakan pemerintah daerah Sijunjung tersebut. Semestinya, kata dia, pemerintah menjaga keamanan ibadah dan perayaan Natal warganya. "Satpol PP bilang, kalau umat Katolik beribadah di kampungnya, mereka tak mau bertanggung jawab atas keamanan," ujarnya.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) juga merayakan Natal bersama. Namun perayaan berlangsung di luar Sijunjung. Jemaat gereja HKBP sudah menghelat perayaan kelahiran Yesus Kristus itu pada 22 Desember lalu, yang dihadiri sekitar 120 dari 300 orang total jumlah jemaat. Sudarto juga mengatakan jemaat Gereja Bethel Injil Sepenuh Sijunjung telah melangsungkan ibadah bersama di luar desa pada 24 Desember lalu.
Di Kabupaten Dharmasraya, Sudarto menambahkan, hanya empat keluarga Katolik dari Stasi Santa Anastasia Nagari Sikabau yang mengadakan misa Natal, kemarin. Padahal, kata dia, di desa itu ada 10 keluarga dengan total umat Katolik 40 orang. Perayaan berlangsung di rumah Ketua Stasi, Maradu Lubis, tanpa pengeras suara. 
Cerita berbeda diungkapkan Kepala Kepolisian Resor Dharmasraya, Ajun Komisaris Besar Imran Amir. Ia menuturkan misa Natal di Dharmasraya dihadiri 40 orang, termasuk anak-anak. Perayaan, kata dia, berlangsung secara terbuka. "Misa Natal di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, berlangsung dalam keadaan aman dan kondusif. Kegiatan dimulai pada pukul 08.00 WIB," kata Imran.
Polemik Natal terjadi di dua kabupaten ini. Umat Nasrani di daerah tersebut dilarang merayakan Natal di rumah. Sesuai dengan kesepakatan bersama lembaga adat, umat Nasrani hanya boleh beribadah di gereja. Padahal tak ada bangunan gereja di desa itu.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Barat, Hendri, menampik adanya larangan perayaan Natal. Dia menyatakan pemerintah menyilakan penganut Nasrani merayakan Natal. "Silakan penganut Nasrani merayakan Natal di tempat ibadah masing-masing," ujarnya.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik Piliang, irit berkomentar ihwal tudingan bahwa pemerintah tak memfasilitasi kebebasan beragama. Dia menyatakan Kementerian sudah menerbitkan surat supaya pemerintah daerah menjaga toleransi di wilayah masing-masing. "Ini persoalan sensitif," ucapnya.
EGI ADYATAMA | ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo