HARI-HARI ini adalah saat panen bagi Mat Kodak di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Karena hari-hari ini sebagian besar penduduk di kabupaten itu harus memperbarui Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Tapi di beberapa desa, seperti Desa Pandaan dan Jogorogo, sejumlah penduduk justru gelisah dengan penggantian KTP mereka. Apa pasal? Ada ketentuan dari camat dan kepala desa setempat: mereka yang berjilbab harus melepas penutup muka mereka ketika dipotret. Bila mereka tetap berpotret dengan memakai jilbab, mereka tidak akan dilayani memperbarui KTP mereka. Ketentuan itu ternyata berbuntut panjang. Sebagian wanita berkerudung di kedua desa tetap menolak melepas jilbab mereka (sekalipun hanya untuk berpotret), dan mereka tak diladeni memperpanjang KTP. Kini mereka mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. "Berbagai upaya telah kami lakukan, mulai dari tingkat desa, kecamatan, sampai tingkat kabupaten, tapi tak ada penyelesaian," ujar Ibnu Abbas, yang mengantar empat wakil pengadu ke LBH Surabaya. Menurut Siti Fatimah, 27 tahun, pengadu dari Mantingan, kecamatan yang membawahkan Desa Pandaan, persoalan serupa pernah muncul tahun lalu. Waktu itu, cerita Fatimah, aparat pemerintah setempat berhasil meyakinkan mereka agar mau mencopot jilbab mereka, sehingga tak ada persoalan dengan potret diri mereka di KTP. Tahun ini rupanya pendekatan yang dilakukan petugas kurang berkenan di hati sebagian warga kedua desa itu. "Kami merasa terpaksa mencopot, karena diancam tak bisa dapat KTP," tutur Fatimah. Untuk penolakan itu, Fatimah dimintai keterangan oleh petugas Koramil Mantingan beberapa kali. Pemakaian jilbab di kalangan wanita Desa Pandaan dan Jogorogo kabarnya baru populer sekitar tiga tahun. Sejak mereka tersentuh oleh ceramah-ceramah agama yang didakwahkan oleh santri Pondok Pesantren Pendidikan Mental Agama Allah (PP SPMAA), Lamongan, yang mengutip ayat-ayat Quran tentang kewajiban wanita menutup aurat mereka. Diperkirakan, saat ini ada sekitar 50 wanita di Kecamatan Mantingan yang mengenakan jilbab. Betulkah dakwah santri SPMAA yang membuat kaum wanita Mantingan berjilbab? Abdullah Muchtar, 53 tahun, pimpinan SPMAA, mengatakan bahwa tuduhan serupa itu memang sering dialamatkan ke pesantrennya, yang punya 115 santri. Ia menambahkan, soal wanita Mantingan kini gemar berjilbab bukan karena pesantren SPMAA, melainkan lantaran ada ayatnya -- surat An-Nur. "Ketika menanam padi pun mereka berjilbab ," kata Muchtar. Sampai akhir November lalu, sudah hampir semua wanita berjilbab di Kecamatan Mantingan memberi kuasa ke LBH Surabaya, untuk memperjuangkan agar foto mereka di KTP tanpa mencopot jilbab. Kaum wanita kedua desa di Kecamatan Mantingan itu makin bersemangat memperjuangkan upaya berpotret dengan jilbab, setelah mereka mengetahui di daerah lain, masih di Kabupaten Ngawi, ada warga memasang potret berjilbab pada KTP mereka. "Mestinya aturan itu berlaku sama di semua daerah," kata Fatimah sembari memperlihatkan beberapa KTP dari desa lain yang foto pemiliknya berjilbab. Soal potret berjilbab di KTP ini sudah dicoba diselesaikan LBH Surabaya sampai ke Camat Mantingan Sugiono. Hasilnya: nihil. Sugiono tetap pada keputusannya bahwa identitas pemilik KTP harus jelas. Ia tak tahu apa yang menyebabkan warganya itu bersikeras memakai potret berjilbab di KTP. "Buktinya, yang sudah-sudah tak ada yang berjilbab," kata Sugiono. Larangan memakai potret berjilbab di KTP yang dikeluarkan Camat Sugiono ada benarnya. Soalnya, bila terjadi sesuatu, terutama hal-hal yang dapat mencemarkan nama baik pemilik KTP, tak gampang untuk mengidentifikasikan yang bersangkutan dengan wajah yang tak terekam utuh. Suhardjo Hs., Muchlis H.J., Jalil Hakim, dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini