Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUNAWAN memandangi puing hitam rumahnya. Dari rumah kerabatnya di Dusun Bukit Lengkung, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau, tempatnya menginap setelah rumahnya dihanguskan api sebulan lalu, ia bisa melihat reruntuhan itu.
Lelaki 22 tahun ini tak akan lupa petaka pada malam itu. Bunyi keretak batang-batang sawit yang terbakar terdengar jelas di telinga. Entah dari mana datangnya, kobaran api telah merambat hingga belakang rumah. Kebun dengan sawit siap panen pun menyala. "Apinya seperti neraka," katanya pekan lalu.
Dusun yang dulu rapat oleh hijau sawit dan akasia itu berubah menjadi sahara hitam. Asap mengepul dari bara yang masih menyala. Malam itu, Gunawan sigap menggamit lengan anak dan istrinya, menyalakan sepeda motor otomatis, lalu memacu kendaraan tersebut menuju Dusun Barak Aceh, tujuh kilometer dari rumahnya.
Gunawan kemudian balik ke kampungnya, bergabung dengan penduduk yang berusaha menjinakkan api. Tapi malam itu angin bertiup kencang. Air di parit pun surut. Bunga-bunga api terus beterbangan ke udara, dalam sekejap melalap kebun akasia yang terpisah oleh jalan desa. Gunawan tak bisa melihat lagi rumahnya, yang telah dikepung api.
Kepala Pemadam Kebakaran Badan Penanggulangan Bencana Daerah Bengkalis, Muhammad Jalal, menyatakan tak semua warga dusun bersedia diangkut ke tempat pengungsian. Padahal api berkobar tepat di belakang perkampungan. "Begitu melihat rumah terbakar, baru mereka mau pergi," ujarnya.
Tiga regu pemadam kebakaran kocar-kacir. Dikepung api yang tak terkendali, sebagian dari 21 anggota regu berlari menyelamatkan diri. Mesin-mesin penyemprot air, yang belum sempat dimatikan, mereka tinggalkan begitu saja. Dalam semalam, kata Jalal, 1.500 hektare lahan sawit rakyat dan kebun akasia milik PT Satria Perkasa Agung habis terbakar. Tiga rumah dan satu madrasah hangus. Sebanyak 221 warga dusun Bukit Lengkung diungsikan.
Jalal mengatakan kebakaran sudah terjadi dalam skala kecil sejak 17 Januari lalu. Api tak hanya membakar hutan, tapi juga perkebunan, bahkan kebun-kebun milik rakyat yang sudah siap dipanen. "Tapi malam itu yang paling besar," ucapnya.
Kebakaran malam itu memekatkan udara Riau selama pekan-pekan berikutnya. Saking pekatnya udara, PT Angkasa Pura menutup Bandara Sultan Syarif Kasim II selama tiga hari. Tak kurang dari 86 penerbangan dari dan ke Pekanbaru dibatalkan karena jarak pandang hanya seribu meter.
Betty Sibarani, 29 tahun, mantan pengacara, menyatakan adiknya yang baru memasuki sekolah dasar terpaksa tinggal di rumah dalam satu bulan terakhir. Sekolah meliburkan siswa-siswanya untuk waktu yang tak ditentukan. Jika udara membaik, murid-murid akan diminta masuk kembali. Meski hanya tinggal di rumah yang dilengkapi fasilitas penyejuk udara, pernapasannya tetap terganggu. "Tiap malam dia batuk-batuk," ujarnya.
Betty hampir membatalkan lamaran di rumah orang tuanya di Padang Bulan, Pekanbaru, gara-gara bandara ditutup. Padahal 30 tiket untuk keluarga calon suaminya sudah dipesan. Lamaran akhirnya hanya dihadiri calon suami dan calon mertuanya, di tengah kepungan kabut asap dan bau sangit sampah terbakar. "Bernapas pun yang terhirup asap," katanya.
Direktur Eksekutif Scale Up, Harry Oktavian, memilih mengirim istri dan dua anaknya ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Ia sendiri tetap tinggal di Pekanbaru karena kantor tak meliburkan pegawainya. Tahun-tahun sebelumnya, jika kabut asap sudah mulai mengganggu, ia dan banyak rekannya mengungsi ke Padang. "Tapi kali ini Padang juga tertutup asap," ujarnya.
Indeks pencemaran kualitas udara di sejumlah wilayah Riau mencapai level berbahaya. Kabut asap lebih dominan dibanding oksigen. Sebanyak 56.228 warga Riau terserang penyakit karena terpapar asap. "Riau sudah tidak layak huni," kata Ahmad Isroil, Kepala Bidang Inventarisasi dan Pengembangan Sistem Informasi Lingkungan, Pusat Pengelola Ekologi Regional Sumatera, Kementerian Lingkungan Hidup.
Kartika Candra (Jakarta), Ryan Novitra (Bengkalis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo