TAK hanya di luar kelas. Di dalam kelas, buku pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila juga cukup ramai. Misalnya, di sebuah
kelas, SMA Kanisius, akarta. Seorang murid mengacungkan tangan,
bertanya kepada gurunya: "Kalau setiap keputusan berlandaskan
Pancasila, karena itu mesti berlandaskan perikemanusiaan,
mengapa harga BBM dinaikkan, hingga menyusahkan rakyat banyak?"
Pak Guru, M.P. Purwanto, 39 tahun, menjawab dengan sabar.
Diceritakannya bagaimana pemerintah terpaksa mensubsidi harga
jual BBM, dan karenanya sebenarnya orang kaya yang leblh untung.
Tak berhenti di situ. Bertubi-tubi pertanyaan para siswa datang,
tentang DPR, korupsi dan lain-lain. "Pertanyaan itu memang
karena daya kritis mereka," tutur Purwanto kemudian pada TEMPO.
Tapi apa komentar guru itu tentang buku PMP? "Anak muda sekarang
tak bisa diberikan nasihat saja. Harus diberikan tantangan,"
katanya. Maksudnya, bila hanya mengambil apa adanya dari buku
PMP yang diwajibkan Dep P & K, ia tak akan bisa mengajar
apa-apa. "Harus dikembangkan sendiri."
Sesuai dengan saran P-7 kepada Presiden, Purwanto juga menilai,
buku PMP untuk SLA kurang menyajikan "beberapa peristiwa yang
menjelaskan Pancasila sampai tertuang dalam Ketetapan MPR."
Yang terlebih menarik, komentarnya ini: "Buku PMP sebetulnya
terlalu bertele-tele. Kalau diringkas, tiga jilid untuk SLA itu
bisa menjadi 20 halaman saja."
Masalah bagi guru itu, "bagaimana menjadikan pelajaran ini
menarik." soafnya, ia tahu persis, bahwa muridnya
hanyamempelajarinya kalau mau ulangan. "ara begini tentu tak
melahirkan orang yang memahami dan mcnghayati Pancasila," lanjut
Purwanto .
Tidak Bingung
Tentang hal yang menyangkut agama, sekolah Katolik ini tak
menemukan masalah gawat. "Ada beberapa anak yang Islam, tapi
mereka tidak fanatik, kata Purwanto.
Di SMPN I Cikini, murid-murid ternyata juga kritis. Kosasih
Zein, 26 tahun, guru PMP kelas II sekolah tersebut, bercerita
bagaimana komentar mereka. Ada siswa yang mempersoalkan
tebalnya seiangat nasionalisme kita kini, ada yang
mempertanyakan soal pengangkatan aDggota DPR.
Yang menyangkut agama? "Terus terang kalau sampai soal itu saya
membatasi diri, untuk tidak memperuncing masalahnya," kata
Kosasih. Biasanya ia lantas menyuruh muridnya membuat karangan
saja, bagaimana pendapat mereka tentang soal itu. "Hebat,"
komentar guru itu. "Anak-anak cukup kritis. Misalnya, mereka tak
percava akal-pikiran manusia bisa memahami zat Tuhan."
Ada sekitar 600 muridnya, sebagian besar beragama Islam. Kosasih
mengaku, dia perlu banyak melontarkan masalah yang sedang hangat
agar anakanak tertarik pada PMP.
Di sekolah yang memang bermerk Islam, mungkin ada sedikit
masalah. Di SD Muhammadiyah III, misalnya, Sukirno, 27 tahun,
guru PMP di kelas VI berkata, "Jika ada yang tak sesuai dengan
ajaran agama Islam, kami sisihkan." Lho? Apakah anak-anak tak
bisa membacanya sendiri? "Kami beritahukan kepada mereka, itu
hanya sebagai pengetahuan saja," lanjutnya, "supaya anak-anak
tidak bingung." Soal yang ditinggalkan itu, misalnya, hal "semua
agama yang sama sucinya," juga soal "aliran kepercayaan."
Walhasil, guru-guru yang langsung mengajarkan PMP itu yang
sebetulnya menjadi kunci. Tergantung pada guru membuat anak
didik memahami Pancasila, atau agar siswa tak menjadi bingung
karena ada "yang bertentangan dengan keyakinan agamanya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini