Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kurang dari sepekan, kantor redaksi Tempo menerima dua kiriman paket berisi bangkai hewan. Rentetan teror terbaru terhadap jurnalis ini pun semakin menimbulkan kekhawatiran ancaman terhadap kebebasan pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kiriman paket teror pertama diterima Tempo pada Rabu, 19 Maret 2025. Sedangkan paket kedua dikirimkan pada Sabtu dinihari, 22 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paket pertama diantarkan oleh seorang kurir dengan atribut aplikasi pengiriman barang dan ditujukan untuk Francisca Christy Rosana atau Cica, wartawan kompartemen politik dan host siniar Bocor Alus Politik. Ketika dibuka, paket tersebut ternyata berisikan kepala babi tanpa telinga.
Sementara itu, paket kedua ditemukan oleh Agus, seorang petugas kebersihan di kantor redaksi Tempo. Paket itu berupa kotak yang dibungkus kertas kado bermotif bunga mawar merah dengan keadaan sedikit penyok karena dilempar. Ketika dibuka, paket ternyata berisikan enam bangkai tikus dengan kondisi kepala yang sudah dipenggal.
Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasa menilai bahwa rangkaian kejadian tersebut semakin memperjelas upaya teror yang dilakukan terhadap kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh Tempo. “Pengirimnya dengan sengaja meneror kerja jurnalis,” kata Setri dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 22 Maret 2025.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Wisnu Prasetya Utomo menilai setidaknya ada dua alasan yang membuat serangan terhadap kebebasan pers terus berulang. Alasan pertama adalah praktik impunitas terhadap kasus-kasus serangan terhadap jurnalis.
“Jarang sekali ada tindakan hukum serius terhadap berbagai kekerasan terhadap jurnalis,” kata Wisnu ketika dihubungi oleh Tempo lewat aplikasi perpesanan pada Sabtu, 22 Maret 2025.
Alasan kedua, menurut Wisnu, adalah normalisasi yang dilakukan oleh pejabat publik terhadap ancaman terhadap kebebasan pers. Bahkan, tidak jarang pejabat publik justru meremehkan dan tidak menganggap serius kasus-kasus tersebut.
“Karena tidak ada tindakan serius dan proses normalisasi tadi, aktor-aktor pelaku kekerasan menjadi lebih berani,” ujar Wisnu kembali.
Tren Kebebasan Pers di Indonesia
Dalam riset yang dilakukan Dewan Pers pada 2024, skor Indeks Kebebasan Pers (IKP) berada di level 69,36 atau turun 2,21 poin dari yang sebelumnya 71,57. IKP Indonesia tercatat mengalami tren penurunan sejak tahun 2022.
“Trennya dalam lima tahun terakhir buruk kondisi kemerdekaan pers di Indonesia,” kata Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Erick Tanjung ketika dihubungi Tempo lewat panggilan telepon pada Sabtu, 22 Maret 2025.
Pada 2024, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada 73 serangan terhadap jurnalis. Sementara itu, dari Januari hingga Maret 2025, AJI telah menerima dan memverifikasi total 20 kasus yang berkaitan dengan serangan ke jurnalis.
“(Pelaku serangan) paling tinggi itu kepolisian. Dalam setahun terakhir, sekarang trennya naik, menyusul itu adalah pelakunya tentara,” kata Erick menambahkan.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan tren penyerangan terhadap kebebasan pers tersebut sejalan dengan karakteristik pemerintah dan DPR yang semakin ugal-ugalan dalam menyusun kebijakan,
“Wataknya adalah kalau dikritik, bukan kemudian menerima dan menganggap baik. Tapi justru kritik itu dianggap sebuah ancaman, dianggap sebuah serangan, dianggap sebuah hal yang bisa mengganggu kekuasaan mereka,” ucap Isnur dalam rekaman suara yang ia kirimkan pada Tempo, Sabtu, 22 Maret 2025.
Hal ini menjadi semakin buruk ketika negara dianggap tidak hanya abai, tetapi juga turut menjadi pelaku serangan terhadap jurnalis tersebut. “Faktanya juga sejumlah kasus, justru pejabat negara terlibat sebagai pelaku menghalang-halangi kerja jurnalistik, bahkan sebagai aktor pelaku kekerasan,” ucap Erick Tanjung.