Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menjelaskan alasan buruh tidak menjadi salah satu kekuatan politik besar di Indonesia. Walaupun, kata Ujang, buruh merupakan kelas pekerja dengan jumlah paling banyak di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebagai sebuah kekuatan, buruh tidak dihitung. Jumlahnya banyak, tapi belum tentu (jadi kekuatan politik besar). Faktornya apa? Pertama karena buruh sudah terafiliasi ke banyak kekuatan politik, ke banyak partai," ujar Ujang saat dihubungi Tempo, Senin, 1 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ujang menjelaskan, saat ini kekuatan buruh yang jumlahnya sangat banyak sudah terpecah dan terbagi ke partai-partai politik. Hal tersebut membuat suara buruh tidak lagi bulat.
Bahkan pada 1998 saat Partai Buruh pertama kali berdiri, partai tersebut kalah dalam tiga kali pemilu bahkan tidak lolos parlemen.
"Padahal kekuatan buruh di Indonesia luar biasa banyak. Salah satu faktornya karena buruh sudah terafiliasi, terfragmentasi, terbagi-bagi, dukungannya, pilihannya ke banyak partai politik," kata Ujang.
Reinkarnasi Partai Buruh
Ujang mengatakan Partai Buruh pimpinan Said Iqbal yang ada saat ini merupakan reinkarnasi dari Partai Buruh yang sempat tenggelam beberapa belas tahun yang lalu. Meski tampil dengan wajah baru, Ujang mengatakan pekerjaan rumah partai buruh masih sama, yaitu menyatukan kembali suara buruh yang sudah terpecah ke banyak partai politik.
"Partai Buruh yang dulu bubar. Kalau partai itu jadi aspirasi buruh harusnya menang, lolos ke Senayan, atau jadi partai menengah, tapikan faktanya tidak. Yang saat ini juga harus mati-matian menyatukan buruh," kata Ujang.
Lebih lanjut, Ujang mengatakan buruh memang memilki kekuatan yang luar biasa dan memilki potensi menentukan arah perpolitikan di Indonesia. Namun, Ujang mengatakan saat ini stigma yang sudah terlanjur terbangun buruh tidak memiliki kekuatan.
"Apakah buruh itu lemah? Tidak. Itu pikiran lama, tapi memang pikiran itu masih merasuk ke jantung para buruh, karena merasa lemah maka perjuangan itu yang menikmati hanya elit-elit buruh, ketua serikat kerjanya, dan lain sebagainya," kata Ujang.
M JULNIS FIRMANSYAH