Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pangeran dari desa susukan

Asal mula ajaran ads pimpinan madrais (kiai taswan), yang disebut juga pangeran alibasa kusuma adiningrat (abad 19).(ag)

25 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI awal abad XIX, tersebutlah Pangeran Sutajaya Alibasa Kusumaningrat dari Gebang-Losari, sekang di Kabupaten Cirebon. Ini adalah bekas kerajaan kecil yang, seperti dituturkan P. Djatikusumah dalam brosurnya Paseban Tri Panca Tunggal, 1979, Ndah dihapuskan pemerintah Belanda i pergantian abad XVIII-XIX lantaran pemberontakan. Nah. Menurut risalah Yusman S.A. yang sudah disebut (1973), pangeran, yang juga guru kebatinan, punya seorang pelayan cantik. Namanya Kasewi, asal Desa Susukan, Ciawigebang Kuningan. Terjadi hubungan gelap, dan pelayan pun hamil. Tapi menurut Djatikusumah, Kastewi--yang bergelar Raden -- adalah keturunan kelima umenggung Jayadipura Susukan, dan betul-betul nikah dengan Pangeran. Betapapun, tahun 1833 wanita itu melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Taswan. (Menurut Djati, namanya Pangeran Sadewa Alibasa, yang juga disebut Pangeran Surya Nata alias Pangeran Alibasa Kusuma Adininingrat). Ia lahir tidak di tempat ayahnya: ibunya telah lebih dulu "disingkirkan" oleh Pangeran: dititipkan--untuk dikawini oleh Sastrawadana, Kepala Desa Cigur yang juga murid Pangeran. Sehingga di kemudian hari memang tak jelas siapa ayahnya -- hal yang diakui Djatikusumah, meski ia berusaha menuturkan "versi yang benar". Taswan, atau Pangeran apa pun, suka menyepi. Menginjak remaja ia berguru di beberapa pesantren di Ciamis, Garut dan Kuningan. Kembali ke Cigugur, ia mendirikan pesantren. Kiai Taswan, yang lalu mendapat julukan Madrais itu, dalam tempo singkat mempunyai banyak santri. Sampai pada suatu hari terjadi peristiwa. Kiai Mad Tohir, ulama lain di Cigugur, berdebat dengan Madrais--dan kalah. Mata gelap, barangkali, konon Mad Tohir berucap: "Bagaimanpun tingginya ilmu seseorang, tak akan diterima Tuhan kalau ia tak punya ayah yang sah. Ia tak bisa masuk surga maupun neraka." Entah dari mana Mad Tohir beroleh fatwa yang aneh itu, Madrais tentu saja berang. Ia lantas mengajak berlomba dalam hal jumlah santri. Maiah Madrais tak lagi muncul salat Jumat--bahkan ternyata semua salat lain. Madrais berubah. Ia menumbuhkan kesenian, antara lain tayuban, dan berot bersama ronggeng sambil berdakwah. Ia juga membuat hawu sebagai tempat samadi. Juga mengobati, dengan samadi di depan hawu yang apinya menyala-nyala. Imbalan pengobatan itu bisa besar sekali, seperti juga "upeti" dari para pengikut. Itulah sebabnya ia dibuang Belanda ke Digul--1901-1908. Dituduh menipu rakyat, setelah diselidiki oleh dua orang Belanda yang pura-pura jadi muridnya. Semua itu menurut risalah Yusman tadi, yang dalam pengantarnya mengaku menulis "tidak serampangan menurut nafsu sendiri". Tapi menurut brosur Djatikusumah "pemerasan" itu semata-mata tuduhan Belanda--untuk memojokkan Pangeran Madrais yang dalam pesantrennya selalu mengobarkan perjuangan kebangsaan. Dan semangat kebangsaan itu pulalah yang menyebabkan ajarannya bergeser kepada budaya sendiri. Bahwa Madrais punya pengaruh besar yang membikin takut Belanda, memang masuk akal. Betapa pun, tahun 1921 ia mendirikan ADS, dan -- menurut Yusman -mengumumkan dirinya sebagai pangeran. Gubernemen lantas mendendanya 75 gulden--namun kepada para pengikut dikatakannya, uang itu merupakan syarat kepangeranan. Ia lantas mengambil tanggal Sura sebagai hari besarnya, dan saat itu ia mengadakan upacara menumbuk padi yang disebut ngagondang disertai perayaan besar-besaran. Tapi juga memuliakan Maulid Nabi. Ia mengumumkan kitab Quran yang sekarang tidak sah. Quran sejati baru akan ada menjelang kiamat, karena ia harus merupakan "kumpulan riwayat hidup seluruh manusia". Madrais meninggal 1939, setelah memberikan gelar kepangeranan kepada putranya, Tedjabuana. Menurut Djatikusumah, ketika Gunung Ciremai menampakkan kegiatan pada 1936, kakeknya itu bersama 200 pengikut mendaki ke puncak guna "meredakan kegiatannya". Lantas membangun rumah di lereng gunung itu, sampai meninggal, dan dimakamkan di Cigugur. Di tahun 1960-an tercatat beberapa kali bentrokan fisik antara pengikut Tedjabuana bin Madrais itu dengan para pemuda Islam. Misalnya karena soal perkawinan antarbesan. Atau karena tuduhan tenung. Yang paling keras adalah penginjak-injakan kitab - Quran oleh seorang ADS--meskipun akhirnya orang itu konon masuk Islam. Maka ADS dibubarkan, 1964. Dan sehari seteiah pembubaran, Tedjabuana, putra Djatikusumah, dan 1.850 pengikut di desa itu, masuk Katolik. Entah sejak kapan bibit Katolik ditanam di desa itu, tapi seperti dituturkan Ny. Djatikusumah di kratonnya Katolik rasanya memang baru masuk tahun itu. Lalu berkembang pesat: 1975 mendirikan balai kesehatan, dan tahun kemarin menyelesaikan bangunan gereja yang telah disebut. (Sebelum itu, menurut Ny. Djati, mereka berkebaktian di rumahnya). Tapi mengapa Katolik, bukan Islam? Sudah tentu karena konflik dengan Islam, menurut seorang bekas pamong. Seorang pejabar di Kejati Ja-Bar sebaliknya beranggapan, mereka berharap dalam Katolik bisa meneruskan segala upacara adat yang mereka lakukan. "Dalam Islam itu tak mungkin." Dan tampaknya memang begitu. Hanya saja, dalam Katolik pemimpin ADS ternyata tenggelam -- dianggap umat biasa, menurut tilikan pejabat tadi. "Jadi dengan masuk Katolik, dan keluar lagi, yang dua-duanya diikuti para pengikut, keluarga Madrais sebenarnya membuktikan pengaruhnya," katanya. Tapi berapa besarkah pengaruhnya? Pengikut Madraisme kini di semua daerah yang disebut-sebut, diperkirakan paling jauh 5.000 orang. Memang, anggota aktif grup kebatinan tak pernah begitu banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus