DI awal abad XIX, tersebutlah Pangeran Sutajaya Alibasa
Kusumaningrat dari Gebang-Losari, sekang di Kabupaten Cirebon.
Ini adalah bekas kerajaan kecil yang, seperti dituturkan P.
Djatikusumah dalam brosurnya Paseban Tri Panca Tunggal, 1979,
Ndah dihapuskan pemerintah Belanda i pergantian abad XVIII-XIX
lantaran pemberontakan.
Nah. Menurut risalah Yusman S.A. yang sudah disebut (1973),
pangeran, yang juga guru kebatinan, punya seorang pelayan
cantik. Namanya Kasewi, asal Desa Susukan, Ciawigebang Kuningan.
Terjadi hubungan gelap, dan pelayan pun hamil. Tapi menurut
Djatikusumah, Kastewi--yang bergelar Raden -- adalah keturunan
kelima umenggung Jayadipura Susukan, dan betul-betul nikah
dengan Pangeran. Betapapun, tahun 1833 wanita itu melahirkan
anak laki-laki yang diberi nama Taswan. (Menurut Djati, namanya
Pangeran Sadewa Alibasa, yang juga disebut Pangeran Surya Nata
alias Pangeran Alibasa Kusuma Adininingrat). Ia lahir tidak di
tempat ayahnya: ibunya telah lebih dulu "disingkirkan" oleh
Pangeran: dititipkan--untuk dikawini oleh Sastrawadana, Kepala
Desa Cigur yang juga murid Pangeran. Sehingga di kemudian hari
memang tak jelas siapa ayahnya -- hal yang diakui Djatikusumah,
meski ia berusaha menuturkan "versi yang benar".
Taswan, atau Pangeran apa pun, suka menyepi. Menginjak remaja ia
berguru di beberapa pesantren di Ciamis, Garut dan Kuningan.
Kembali ke Cigugur, ia mendirikan pesantren. Kiai Taswan, yang
lalu mendapat julukan Madrais itu, dalam tempo singkat mempunyai
banyak santri.
Sampai pada suatu hari terjadi peristiwa. Kiai Mad Tohir, ulama
lain di Cigugur, berdebat dengan Madrais--dan kalah. Mata
gelap, barangkali, konon Mad Tohir berucap: "Bagaimanpun
tingginya ilmu seseorang, tak akan diterima Tuhan kalau ia tak
punya ayah yang sah. Ia tak bisa masuk surga maupun neraka."
Entah dari mana Mad Tohir beroleh fatwa yang aneh itu, Madrais
tentu saja berang. Ia lantas mengajak berlomba dalam hal jumlah
santri. Maiah Madrais tak lagi muncul salat Jumat--bahkan
ternyata semua salat lain.
Madrais berubah. Ia menumbuhkan kesenian, antara lain tayuban,
dan berot bersama ronggeng sambil berdakwah. Ia juga membuat
hawu sebagai tempat samadi. Juga mengobati, dengan samadi di
depan hawu yang apinya menyala-nyala. Imbalan pengobatan itu
bisa besar sekali, seperti juga "upeti" dari para pengikut.
Itulah sebabnya ia dibuang Belanda ke Digul--1901-1908. Dituduh
menipu rakyat, setelah diselidiki oleh dua orang Belanda yang
pura-pura jadi muridnya. Semua itu menurut risalah Yusman tadi,
yang dalam pengantarnya mengaku menulis "tidak serampangan
menurut nafsu sendiri".
Tapi menurut brosur Djatikusumah "pemerasan" itu semata-mata
tuduhan Belanda--untuk memojokkan Pangeran Madrais yang dalam
pesantrennya selalu mengobarkan perjuangan kebangsaan. Dan
semangat kebangsaan itu pulalah yang menyebabkan ajarannya
bergeser kepada budaya sendiri. Bahwa Madrais punya pengaruh
besar yang membikin takut Belanda, memang masuk akal.
Betapa pun, tahun 1921 ia mendirikan ADS, dan -- menurut Yusman
-mengumumkan dirinya sebagai pangeran. Gubernemen lantas
mendendanya 75 gulden--namun kepada para pengikut dikatakannya,
uang itu merupakan syarat kepangeranan. Ia lantas mengambil
tanggal Sura sebagai hari besarnya, dan saat itu ia mengadakan
upacara menumbuk padi yang disebut ngagondang disertai perayaan
besar-besaran. Tapi juga memuliakan Maulid Nabi. Ia mengumumkan
kitab Quran yang sekarang tidak sah. Quran sejati baru akan ada
menjelang kiamat, karena ia harus merupakan "kumpulan riwayat
hidup seluruh manusia".
Madrais meninggal 1939, setelah memberikan gelar kepangeranan
kepada putranya, Tedjabuana. Menurut Djatikusumah, ketika Gunung
Ciremai menampakkan kegiatan pada 1936, kakeknya itu bersama 200
pengikut mendaki ke puncak guna "meredakan kegiatannya". Lantas
membangun rumah di lereng gunung itu, sampai meninggal, dan
dimakamkan di Cigugur.
Di tahun 1960-an tercatat beberapa kali bentrokan fisik antara
pengikut Tedjabuana bin Madrais itu dengan para pemuda Islam.
Misalnya karena soal perkawinan antarbesan. Atau karena tuduhan
tenung. Yang paling keras adalah penginjak-injakan kitab - Quran
oleh seorang ADS--meskipun akhirnya orang itu konon masuk Islam.
Maka ADS dibubarkan, 1964.
Dan sehari seteiah pembubaran, Tedjabuana, putra Djatikusumah,
dan 1.850 pengikut di desa itu, masuk Katolik. Entah sejak kapan
bibit Katolik ditanam di desa itu, tapi seperti dituturkan Ny.
Djatikusumah di kratonnya Katolik rasanya memang baru masuk
tahun itu. Lalu berkembang pesat: 1975 mendirikan balai
kesehatan, dan tahun kemarin menyelesaikan bangunan gereja yang
telah disebut. (Sebelum itu, menurut Ny. Djati, mereka
berkebaktian di rumahnya). Tapi mengapa Katolik, bukan Islam?
Sudah tentu karena konflik dengan Islam, menurut seorang bekas
pamong. Seorang pejabar di Kejati Ja-Bar sebaliknya beranggapan,
mereka berharap dalam Katolik bisa meneruskan segala upacara
adat yang mereka lakukan. "Dalam Islam itu tak mungkin."
Dan tampaknya memang begitu. Hanya saja, dalam Katolik pemimpin
ADS ternyata tenggelam -- dianggap umat biasa, menurut tilikan
pejabat tadi. "Jadi dengan masuk Katolik, dan keluar lagi, yang
dua-duanya diikuti para pengikut, keluarga Madrais sebenarnya
membuktikan pengaruhnya," katanya. Tapi berapa besarkah
pengaruhnya?
Pengikut Madraisme kini di semua daerah yang disebut-sebut,
diperkirakan paling jauh 5.000 orang. Memang, anggota aktif grup
kebatinan tak pernah begitu banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini