Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertimbangan Jaksa Agung dianggap tidak relevan karena negara tidak selalu mendapat keuntungan finansial dari pengusutan kasus korupsi.
Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana korupsi.
Wacana Jaksa Agung itu sengaja dibuka ke publik untuk dibahas bersama.
JAKARTA – Pegiat antikorupsi mengkritik pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang mengusulkan agar kejaksaan tidak memproses kasus korupsi di bawah Rp 50 juta. Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan pernyataan Jaksa Agung itu berisiko menyuburkan praktik korupsi di tingkat bawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Para pegawai di tingkat bawah, seperti di desa, enggak akan takut melakukan korupsi. Toh, risiko terbesar hanya disuruh kembalikan kerugian negara," kata Zaenur, Ahad, 30 Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zaenur mengatakan hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi di bawah Rp 50 juta sangat kecil dibanding keuntungan mereka dari hasil berbuat lancung. Apalagi risiko terungkapnya perbuatan mereka lebih kecil dibanding risiko selamat. "Ini berbahaya karena menaikkan korupsi kecil-kecilan. Ini membuat korupsi di desa akan merebak karena nilainya kecil," ujarnya.
Menurut Zaenur, negara tidak akan selalu mendapat keuntungan finansial dari penanggulangan tindak pidana. Karena itu, pertimbangan Jaksa Agung mengenai biaya yang dikeluarkan dalam menangani perkara kecil jauh lebih besar daripada nilai korupsi menjadi tidak relevan. Zaenur mencontohkan tindak pidana umum penganiayaan. Alih-alih mendapat keuntungan, negara malah mengeluarkan uang untuk memprosesnya, dari tahap penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan.
Hal serupa berlaku untuk tindak pidana korupsi. Zaenur menyebutkan tidak semua biaya yang dikeluarkan negara dalam menangani kasus korupsi bisa diganti dengan mengambil uang pengganti kerugian negara. "Itulah yang harus dikeluarkan negara ketika banyak terjadi tindak pidana," ucapnya.
Selain itu, Zaenur menambahkan, jika Jaksa Agung ingin pelaku korupsi kecil tidak dipidana, kejaksaan perlu mengusulkan perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Kejaksaan bisa memberikan aspirasi bahwa penanggulangan tindak pidana korupsi tidak melulu efektif menggunakan pendekatan pidana badan, melainkan mementingkan aspek pengembalian kerugian negara.
Akan tetapi, kata Zaenur, kejaksaan tidak boleh sekadar berfokus pada pengembalian nominal yang dikorupsi, melainkan semestinya menuntut seluruh kerugian atas perbuatan korupsi tersebut. "Karena dampak selalu lebih tinggi daripada jumlah kerugian negara," ujarnya.
Zaenur mencontohkan, seorang pegawai negeri melakukan korupsi Rp 50 juta dalam pembangunan jembatan di suatu desa. Korupsi itu tak hanya mengakibatkan dana Rp 50 juta melayang, tapi juga berdampak pada pembangunan dan masyarakat setempat. Jika jembatan hasil korupsi ambruk karena penggarapan tak sesuai dengan nominal, kondisi itu akan mengakibatkan terhalangnya aktivitas masyarakat. "Perekonomian di desa terkena dampak sehingga kerugian lebih besar akan terjadi dari nilai kerugian negara," ucap Zaenur.
Karena itu, Zaenur menyarankan agar pengembalian kerugian negara disertai dengan penerapan denda. Penerapan denda ini harus bisa menutup potensi kerugian akibat korupsi tersebut. "Denda itu dapat menjadi hukuman yang membuat efek jera," kata dia.
Sanitiar Burhanuddin di rapat kerja dengan Komisi III DPR di Jakarta, 27 Januari 2022. ANTARA/Muhammad Adimaja
Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada 27 Januari 2022, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan bahwa ia sudah meminta kejaksaan tidak memproses hukum pelaku korupsi yang mengakibatkan kerugian negara di bawah Rp 50 juta. Jaksa Agung memilih agar tersangka mengembalikan kerugian negara sebagai bentuk pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, juga mengkritik pernyataan Jaksa Agung tersebut. Kurnia yakin pernyataan Burhanuddin itu justru akan memicu para pelaku melancarkan praktik korupsi. Sebab, Kejaksaan Agung menjamin tidak akan memproses hukum pelaku korupsi di bawah Rp 50 juta.
Kurnia berpendapat, tidak ada argumentasi hukum yang mendasari pernyataan Jaksa Agung tersebut. Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana korupsi. "Patut diingat bahwa mengembalikan dana hasil praktik korupsi hanya dapat dijadikan dasar untuk memperingan tuntutan dan hukuman, bukan malah tidak ditindak," ujar Kurnia.
Kurnia melanjutkan, pernyataan Jaksa Agung itu juga tak relevan dalam kasus pelanggaran administrasi. Sebab, kasus administrasi memang tak seharusnya dipidana.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, menjelaskan bahwa pernyataan Jaksa Agung itu merujuk pada perkara-perkara dana desa yang kerugiannya tidak terlalu besar dan perbuatannya tak dilakukan secara terus-menerus. Kasus-kasus seperti itu diimbau untuk diselesaikan secara administratif.
"Dengan cara mengembalikan kerugian tersebut dan terhadap pelaku dilakukan pembinaan melalui inspektorat agar tidak mengulangi perbuatannya," kata Leonard.
Ia mencontohkan, ada perkara korupsi dengan nilai kerugian negara Rp 1 juta yang diusut Kepolisian Resor Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Perkara pungutan liar senilai Rp 2,2 juta itu melibatkan seorang wasit. Saat ini, perkara tersebut masih dalam tahap pra-penuntutan di Kejaksaan Negeri Pontianak.
Leonard Eben Ezer Simanjuntak (tengah), di Kejaksaan Agung, Jakarta, 30 Desember 2020. ANTARA/Hafidz Mubarak A.
Menurut Leonard, perkara tersebut tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara, melainkan upaya pemberantasan pungutan liar. Karena itu, ia berharap penanganannya dilakukan secara profesional dengan memperhatikan hati nurani atau menggunakan instrumen selain UU Tindak Pidana Korupsi.
Contoh lainnya, kata Leonard, seorang kepala desa harus mengelola dana desa senilai Rp 1 miliar tanpa pelatihan cara mengelola dan mempertanggungjawabkannya. Ia berpendapat, kondisi ini akan melukai keadilan masyarakat apabila dilakukan penindakan pidana korupsi yang sifatnya hanya kesalahan administrasi. Misalnya kelebihan membayar kepada para tukang atau pembantu tukang dalam pelaksanaan pembangunan di desa. Padahal kepala desa sama sekali tidak menikmati uang tersebut.
"Karena itu, Bapak Jaksa Agung mengimbau untuk dijadikan renungan bersama bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi harus mengutamakan nilai keadilan yang substantif selain kemanfaatan hukum dan kepastian hukum," ujarnya.
Leonard menambahkan, upaya preventif pendampingan dan pembinaan terhadap kepala desa oleh jajaran kejaksaan atau inspektorat menjadi sangat penting dan prioritas. Selain itu, upaya penyadaran pelaku agar secara sukarela mengembalikan kerugian negara akibat perbuatannya pada tahap penyidikan, penuntutan, ataupun pemeriksaan di persidangan merupakan pertimbangan yang meringankan.
Leonard menjelaskan, imbauan Jaksa Agung itu bukanlah untuk melanggengkan impunitas bagi pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara yang relatif kecil. Wacana itu sengaja dibuka ke publik untuk dibahas agar penindakan kasus korupsi didasari pemikiran yang jernih atas hakikat penegakan hukum, yaitu pemulihan pada keadaan semula.
MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo