Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Peka Ilahi Cara Alami

Pendidikan yang menekankan kepekaan spiritual mulai berkembang. Sebuah metode baru pengajaran agama bagi anak-anak.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Usia Vira belum genap empat tahun. Suatu hari murid Islamic Preschool Center di Bekasi, Jawa Barat, itu mengikuti pelajaran melukis di kelasnya. Setelah mengambil selembar kertas, dia mencorat-coret sesosok makhluk. Gurunya tertarik. "Gambar apa itu?" tanya si guru. "Hantu," jawab Vira. "Kok, nggak takut sama hantu?" kata guru. Vira menimpali dengan polos, "Kan saya punya Allah yang melindungi." Cuplikan dialog itu merupakan proses merangsang pikiran anak untuk berpikir tentang Tuhan. Itulah bagian dari metode spiritual parenting, yang dipopulerkan oleh Mimi Doe dan Marsha Walch lewat buku Sepuluh Prinsip Spiritual Parenting, tahun 2001. Berdasarkan buku ini, Sabtu pekan lalu, Yayasan Wakaf Paramadina juga menyelenggarakan paket pelatihan spiritual parenting. Acara ini diikuti sekitar 40 orang berusia 30-an ke atas, dengan pembicara antara lain Pamugari Widyastuti dan Jalaluddin Rahmat. Menurut Pamugari, spiritual parenting adalah sistem pengasuhan anak dengan paradigma menanamkan keimanan dan kesadaran rohani. Metode ini, kata psikolog keluarga dari Universitas Indonesia itu, tergolong baru karena menggunakan paradigma holistik dalam memandang manusia. Selama ini, "Paradigma pendidikan di Indonesia bersifat parsial," ujar Pamugari. Maksudnya, aspek rohaniah acap diabaikan ketimbang aspek fisik dan intelektual. Manfaat spiritual parenting antara lain bisa mengasah kepekaan dan keterhubungan manusia dengan Tuhan dalam pengertian universal. Manfaat lain, seperti kata Budhy Munawwar-Rachman, dosen filsafat agama di Universitas Paramadina Mulya, mendidik kepekaan kepada transendensi, nilai-nilai, moral, dan akhlak mulia. Karakter yang diajarkan pada anak meliputi toleransi, keterbukaan, kejujuran, rasa terima kasih, kemampuan memaafkan dan mencintai. "Menjalani kehidupan spiritual tak berarti anak-anak harus menjadi kiai kecil yang duduk bersila dan membaca kitab sepanjang hari," kata Mimi Doe dalam bukunya di atas. Komaruddin Hidayat dari Yayasan Paramadina menambahkan bahwa prinsip spiritual parenting bisa diterapkan misalnya dengan mengajak anak untuk mengapresiasi Tuhan melalui ciptaannya, bisa keindahan alam, sinar matahari, ataupun warna-warni bunga. "Anak diajak mengagumi dan menghayati karya Tuhan," kata Komaruddin kepada Faisal dari Tempo News Room. Mimi Doe lewat bukunya juga mengutarakan cara mengimplementasi prinsip spiritual parenting. Inti penerapannya menyatakan bahwa spiritual parenting seperti juga pendidikan agama yang diterapkan selama ini. Bedanya, metode baru ini tak mencekoki anak dengan doktrin-doktrin ketuhanan. Ia merangsang anak untuk berpikir tentang Tuhan. Teologinya juga memberikan pencitraan Tuhan yang mencintai. "Bukan Tuhan yang menunggu dengan rotan untuk memukul," tulis Mimi Doe. Ternyata, metode pengajaran agama dengan prinsip spiritual parenting kini makin banyak diterapkan oleh beberapa sekolah di Indonesia. Contohnya, ya, di Islamic Preschool Center Bekasi, dan Sekolah Dasar Madania di Bogor serta sekolah bermain Mutiara Indonesia asuhan Seto Mulyadi. Persoalannya, bisakah metode spiritual parenting diterapkan secara praktis. "Oh, sangat bisa," kata Seto Mulyadi. Sayangnya, sampai sekarang belum ada riset yang membuktikan efektivitas metode tersebut. Namun M. Abid Marzuki, konsultan Islamic Preschool Center Bekasi, mengakui bahwa metode spiritual parenting di sekolah yang berdiri tahun 2001 itu menorehkan hasil. Hal itu berdasarkan evaluasi harian dan mingguan. Kata Abid, 20 aspek psikologi yang dievaluasi antara lain menyangkut unsur spiritualitas seperti kesabaran, ke-jujuran, kebijakan, empati, pemaaf, dan penyayang. Aspek-aspek tersebut ditanamkan pada siswa secara tak langsung melalui berbagai kegiatan seperti berkebun dan melukis. Hasilnya, sebagian murid menunjukkan kecintaan pada pohon yang ditanamnya. Juga tumbuh kesadaran mendalam terhadap kebersihan dan ketertiban. "Anda lihat tembok di sekolahan ini. Bersih dari coretan," ujar Abid. Pengakuan serupa juga diutarakan oleh Muhammad Wahyuni Nafis, Direktur Sekolah Madania Bogor. Sekolah ini tingkat dasar, dibuka sejak tahun 1998, dan kini bermurid 420 orang. Pintu sekolah yang bersemangat ajaran Islam ini terbuka untuk murid dari berbagai agama. Memang, 85 persen muridnya beragama Islam, namun sisanya dari Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. "Setiap murid dibentuk untuk beragama sesuai dengan keyakinannya," kata Nafis. Para murid juga dididik untuk bersikap terbuka dan toleran terhadap pemeluk agama lain. Ternyata, mereka bisa bergaul dengan toleran. K.M.N., Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus