Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

F.L.J. Tutuhatunewa:

"Saya yakin, suatu hari Indonesia akan pecah sendiri, dan mau tidak mau kami diajak berunding."

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG kakek ramah yang tengah menghabiskan hari tuanya. Begitu kesan pertama kali bertemu F.L.J. Tutuhatunewa. Penampilannya biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan, meskipun dia menyandang predikat "Presiden Republik Maluku Selatan di pembuangan". Bersama istrinya, Inge Walther?seorang perempuan Belanda bertubuh subur yang banyak tersenyum?ia tinggal di sebuah flat di tepi barat Kota Rotterdam, Belanda. Sebuah flat kecil dengan tiga kamar, dan sedikit berantakan. Tanpa pengawal, apalagi staf protokol. Waktunya pun lebih banyak dihabiskan sebagai dokter umum. Sampai kini ia masih berpraktek, tiga hari seminggu, di sebuah rumah sakit partikelir. Atau, berlayar dengan kapal pribadinya tiap akhir pekan. "Saya juga sedang belajar bahasa Arab," katanya. Ia lancar berbicara dalam enam bahasa: Inggris, Jerman, Prancis, Latin, termasuk Belanda dan bahasa Indonesia logat Maluku. Di tubuh pemeluk Protestan ini mengalir darah moyangnya, Tutuhatunewa, seorang muslim dan pejuang Ambon saat mengusir Portugis. Ia sendiri lahir di Batavia. Pada 26 Juni ini usianya genap 78 tahun. Sempat bergabung dengan KNIL, pada 1951 ia hijrah ke Belanda dan tak pernah pulang lagi meski mengaku selalu rindu kampung halaman. Baru setelah Soeharto jatuh, ia berniat menengok rumah tua keluarganya di Saparua, Maluku, tapi lalu urung. "Soalnya, dapat informasi akan ditangkap," katanya terkekeh. Menjadi aktivis fanatik RMS sejak mahasiswa, Tutu dinobatkan sebagai "presiden" pada April 1993. Berikut petikan wawancara dengannya saat ditemui Karaniya Dharmasaputra dari TEMPO di flatnya, pada sebuah petang yang terang di pengujung Mei kemarin.
RMS sudah setengah abad lebih, toh tak berhasil juga. Apakah ini cuma nostalgia? Memang sulit bikin orang dengar kita punya suara. Tapi saya selalu kirim orang ke luar negeri, untuk mengenalkan kita orang punya bangsa. Saya tidak takut. Kalau harus perang, saya perang. Badan saya masih kaku (maksudnya tegap). Otak saya masih jernih. Banyak warga Maluku di Belanda sendiri anti-RMS. Benar, tapi itu tidak jadi soal, toh. Itu kan demokrasi. Saya mengerti, mereka juga kan cari nafkah di sini. Apalagi mereka yang sekarang bekerja di pemerintahan Belanda. Anda yakin RMS bisa berdiri? Ya. Kami kan sudah punya pemerintahan dan parlemen. Tapi sekarang tinggal Anda dan dua menteri saja. Bagaimana bisa disebut pemerintahan? Kenapa tidak bisa? RMS sudah dideklarasikan pada 1950. Sekarang kami terus mengintensifkan komunikasi dengan Maluku. Kalau Anda pergi ke Maluku sana, ada banyak orang yang masih teguh mempertahankan cita-cita kemerdekaan. Generasi muda sekarang ini justru paling bersemangat. Belanda-Belanda saja pada takut. Sering kali pemerintah Belanda minta saya supaya bikin aman anak-anak muda itu. Nonsens kalau dibilang mereka cuma berandalan. Saya tahu telepon saya disadap intelijen Belanda. Mereka takut jangan-jangan peristiwa pembajakan kereta api 1977 terulang lagi, ha-ha-ha. Anda setuju dengan aksi radikal semacam itu? Memang. Belanda tipu kita orang juga, toh. Lihat saja, kita dapat apa dari Belanda? Semua kapital ditarik ke sini. Pemerintah Belanda saja tak mengakui RMS. Mereka takut karena di PBB selalu ditekan supaya jangan pernah mengakui kedaulatan bangsa Maluku. Kalau diakui, Indonesia bisa pecah. Tapi saya yakin, suatu hari Indonesia akan pecah sendiri, dan mau tidak mau kami diajak berunding. Bukankah ada delegasi RMS yang telah berunding dengan Presiden Abdurrahman? Ya, tapi cuma bertemu biasa, bukan berunding secara politik. Mereka saya kirim untuk dengar saja, jangan berunding apa-apa dulu. Sekembali dari Jakarta, dua menteri Anda, Otto Matulessy dan Frieda Sohowat, keluar dari RMS. Kenapa? Mereka saya pecat karena pulang tidak membawa hasil apa-apa. Bikin malu saya dan menteri-menteri yang lain. Benarkah kerusuhan Maluku didalangi RMS? Ah, nonsens. Mana bisa kami bikin perang dengan bangsa sendiri. Percaya saya, Maluku Salam (Islam) itu saudara saya. Itu jelas bukan perang agama, melainkan perang dengan bangsa lain, etnis lain. Tapi Anda menyuplai senjata untuk kelompok Kristen? Itu saya tidak bisa bilang. Jadi, benar? Ha-ha-ha, saya tidak bisa berkomentar. Begini saja, apa yang mereka orang minta untuk perjuangan, pasti saya kasih. Termasuk dana? Itu juga rahasia. Kenapa Anda cuma membantu kelompok Kristen? Karena mereka itu yang minta bantuan sama kami. Saudara-saudara Maluku Islam kurang berani bersuara untuk kemerdekaan. Padahal saya tahu hati mereka sebenarnya hati Maluku. Apa hubungan RMS dengan Front Kedaulatan Maluku (FKM)? Kami berhubungan sangat erat dengan mereka. Saya mendukung organisasi itu, baik advis maupun dana. Dana itu dari mana? Dari bangsa Maluku di sini. Benarkah FKM berdiri karena RMS tidak berbuat apa-apa untuk kerusuhan Maluku? Memang, baru Januari 1999 kami turun berdemonstrasi supaya kemelut itu bisa segera diatasi. Anda tak berniat melakukan perjuangan bersenjata? Tidak mungkin. Wilayah Maluku terlalu kecil, tak ada hutan dan gunung untuk bergerilya, tak seperti Aceh atau Papua. Jika RMS berdiri, bagaimana nasib warga pendatang? Para pendatang mesti pergi. Berapa ribu bangsa Jawa, Celebes, Sumatra sekarang datang ke Maluku, ambil kita orang punya tanah dan kekayaan. Sakit hati saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus