Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RMS sudah setengah abad lebih, toh tak berhasil juga. Apakah ini cuma nostalgia? Memang sulit bikin orang dengar kita punya suara. Tapi saya selalu kirim orang ke luar negeri, untuk mengenalkan kita orang punya bangsa. Saya tidak takut. Kalau harus perang, saya perang. Badan saya masih kaku (maksudnya tegap). Otak saya masih jernih. Banyak warga Maluku di Belanda sendiri anti-RMS. Benar, tapi itu tidak jadi soal, toh. Itu kan demokrasi. Saya mengerti, mereka juga kan cari nafkah di sini. Apalagi mereka yang sekarang bekerja di pemerintahan Belanda. Anda yakin RMS bisa berdiri? Ya. Kami kan sudah punya pemerintahan dan parlemen. Tapi sekarang tinggal Anda dan dua menteri saja. Bagaimana bisa disebut pemerintahan? Kenapa tidak bisa? RMS sudah dideklarasikan pada 1950. Sekarang kami terus mengintensifkan komunikasi dengan Maluku. Kalau Anda pergi ke Maluku sana, ada banyak orang yang masih teguh mempertahankan cita-cita kemerdekaan. Generasi muda sekarang ini justru paling bersemangat. Belanda-Belanda saja pada takut. Sering kali pemerintah Belanda minta saya supaya bikin aman anak-anak muda itu. Nonsens kalau dibilang mereka cuma berandalan. Saya tahu telepon saya disadap intelijen Belanda. Mereka takut jangan-jangan peristiwa pembajakan kereta api 1977 terulang lagi, ha-ha-ha. Anda setuju dengan aksi radikal semacam itu? Memang. Belanda tipu kita orang juga, toh. Lihat saja, kita dapat apa dari Belanda? Semua kapital ditarik ke sini. Pemerintah Belanda saja tak mengakui RMS. Mereka takut karena di PBB selalu ditekan supaya jangan pernah mengakui kedaulatan bangsa Maluku. Kalau diakui, Indonesia bisa pecah. Tapi saya yakin, suatu hari Indonesia akan pecah sendiri, dan mau tidak mau kami diajak berunding. Bukankah ada delegasi RMS yang telah berunding dengan Presiden Abdurrahman? Ya, tapi cuma bertemu biasa, bukan berunding secara politik. Mereka saya kirim untuk dengar saja, jangan berunding apa-apa dulu. Sekembali dari Jakarta, dua menteri Anda, Otto Matulessy dan Frieda Sohowat, keluar dari RMS. Kenapa? Mereka saya pecat karena pulang tidak membawa hasil apa-apa. Bikin malu saya dan menteri-menteri yang lain. Benarkah kerusuhan Maluku didalangi RMS? Ah, nonsens. Mana bisa kami bikin perang dengan bangsa sendiri. Percaya saya, Maluku Salam (Islam) itu saudara saya. Itu jelas bukan perang agama, melainkan perang dengan bangsa lain, etnis lain. Tapi Anda menyuplai senjata untuk kelompok Kristen? Itu saya tidak bisa bilang. Jadi, benar? Ha-ha-ha, saya tidak bisa berkomentar. Begini saja, apa yang mereka orang minta untuk perjuangan, pasti saya kasih. Termasuk dana? Itu juga rahasia. Kenapa Anda cuma membantu kelompok Kristen? Karena mereka itu yang minta bantuan sama kami. Saudara-saudara Maluku Islam kurang berani bersuara untuk kemerdekaan. Padahal saya tahu hati mereka sebenarnya hati Maluku. Apa hubungan RMS dengan Front Kedaulatan Maluku (FKM)? Kami berhubungan sangat erat dengan mereka. Saya mendukung organisasi itu, baik advis maupun dana. Dana itu dari mana? Dari bangsa Maluku di sini. Benarkah FKM berdiri karena RMS tidak berbuat apa-apa untuk kerusuhan Maluku? Memang, baru Januari 1999 kami turun berdemonstrasi supaya kemelut itu bisa segera diatasi. Anda tak berniat melakukan perjuangan bersenjata? Tidak mungkin. Wilayah Maluku terlalu kecil, tak ada hutan dan gunung untuk bergerilya, tak seperti Aceh atau Papua. Jika RMS berdiri, bagaimana nasib warga pendatang? Para pendatang mesti pergi. Berapa ribu bangsa Jawa, Celebes, Sumatra sekarang datang ke Maluku, ambil kita orang punya tanah dan kekayaan. Sakit hati saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo