LEBIH baik menyalakan pelita kecil daripada mengumpat kegelapan. Ini kata Konghucu. "Pelita kecil itu sudah kau nyalakan," tukas Prof. H.A. Mukti Ali. "Pelita bahwa Prof. Hasbi, ayahmu, adalah seorang pembaru dalam alam pikiran Islam di Indonesia." Ucapan ini memang ditujukan untuk Nourouzzaman Shiddieqy, 52 tahun. Putra kandung ketiga Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy itu, akhir bulan lalu di IAIN Sunan Kalijaga, Yogya, mengajukan disertasi untuk gelar doktor, berjudul Mshammad Hasbi dan Perspektif Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia. Ia lulus dengan predikat "sangat memuaskan". Nourouzzaman bak mengangkat "batang terendam", seperti Abu Yusuf memformulasikan pikiran gurunya, Abu Hanafiah, dalam buku Al Kharaj, yang melahirkan mazhab Hanafi, di Kufa, Irak. Tapi Nourouzzaman, dosen Fakultas Syariah IAIN, Yogya, dan ayah lima anak, mengaku tak sejauh itu tujuannya. Ia hanya mensistematisasikan pikiran-pikiran ayah sekaligus gurunya. Prof. Hasbi, seorang yang menaruh perhatian besar terhadap aspek perkembangan hukum. Dan itu sangat penting dalam melengkapi sejarah pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Ia berharap bahwa kajian tersebut menjadi sumbangan pikiran bagi pembinaan Hukum Nasional Indonesia (lihat Menanti Sebuah Kompilasi). Dari rekonstruksi pemikiran Hasbi tentang pembaruan hukum, dapat ditarik kesimpulan, demikian Nourouzzaman, ayahnya itu seorang mujtahid yang menganut sistem berpikir eklektif dan cenderung pada persatuan. "Dalam masalah ini ia sejalan dengan Jamaluddin al-Afghani," kata Nourouzzaman. Hasbi berani pula melontarkan ilmunya, kendati sukar dimengerti orang. Misalnya, ijtihadnya tentang berjamaah dan khotbah bukanlah rukun, atau wajib, dalam salat Jumat. Di rumah, boleh saja dilakukan secara sendirian atau 2-3 orang. Tak harus 40 orang. Itu, jika hari sedang hujan. Atau tak mungkin ke masjid karena suatu halangan yang masuk akal. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, "Salat Jumat itu harus berjamaah, minimal dua orang. Tak ada pendapat ulama yang mengatakan salat Jumat tidak berjamaah." Pendapat Hasbi, kata Ibrahim, hanya berpegang padafootnote kitab Al-Muhalla karya Ibnu Hazmi. Padahal, catatan kaki di buku itu tak ada dasarnya. "Pendapat Hasbi itu harus ditolak," kata Ibrahim lagi. Perintah wajib salat Jumat itu di masa Nabi masih di Mekah. Hanya karena faktor keamanan, maka belum dilaksanakan secara berjamaah -- dan itu baru bisa setelah Nabi hijrah ke Madinah. Hasbi lahir pada 1904 di Lhokseumawe, Aceh Utara. Pernah juga mengagetkan, misalnya, pendapatnya dalam harian Suara Umat, Yogya, 22 Juni 1956. Hasbi mengatakan: jabat tangan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrimnya itu tidak haram. "Tika itu dilakukan dengan niat baik," kata Hasbi. Ia berpedoman pada dalil nash yang qath'i, bukan dengan qiyas. Hasbi berangkat dari pemahaman tentang tujuan hukum. Yakni mencegah kerusakan, tetapi mendatangkan kemaslahatan yang menyebarkan rahmat bagi serata alam. Dan prinsip yang dipegang Hasbi adalah kemaslahatan umum (maslahat mursalah), yang berpijak pada istihsan (kebaikan, keadilan, dan kemanfaatan), serta sadd adz-dzari'ah alias mencegah kerusakan. Bertolak dari yang tiga ini, maka akan memberi ruang gerak yang lebih luas untuk melakukan ijtihad-ijtihad baru. Ide yang sangat banyak dituangkan Hasbi dalam buku-bukunya kemudian dicetuskan pada 1960. Dalam pidato Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga Yogya pertama itu, Hasbi mencgaskan perlu disusun buku fikih yang khas Indonesia. Kendati dibatasi bingkai nusa yang bernama Indonesla ini, bagi dia bukan apriori kepada empat mazhab mapan. Dengan metodologi studi komparasi, ia ingin menycleksi mazhab dari Timur Tengah itu dan menyerasikannya ke kondisi lingkungan dan geografi Indonesia. Berangkat dari hadis Nabi, "berbeda pendapat itu adalah rahmat", kiat menarik yang diberikannya adalah penggunaan pendekatan sosio kultural dan historis, yang sekarang populer: pendekatan kontekstual. Dalam menelusuri fiqh warisan fukaha masa silam, misalnya, ia mengalak untuk mewaspadai faktor lingkungan setempat. Kiat ini, sepanjang sejarah fikih, tidak naif. Jika urf atau adat-istiadat di Arab bisa dijadikan sumber fikih yang berlaku di sana, dengan metode serupa, kata Hasbi, juga bisa berlaku afdal di sini. "Memaksakan urf Arab untuk Muslim Indonesia akan bertentangan dengan asas persamaan dan penghargaan atas ibadat yang dikandung ajaran Islam." Inilah yang membikin Hasbi gundah. Sebab, nyatanya, urf bagai etnik di Indonesia yang melembaga dalam hukum adat, lebih eksis dibanding fiqh. Dan tak heran hukum adat banyak menyangga hukum nasional. Padahal, jika hukum fikih model Indonesia itu tersusun, ini lebih pantas sebagai penyangga hukum nasional. Misalnya soal talak, seperti disampaikan Prof. Ibrahim Hosen, 71 tahun, pada Agus Basri dari TEMPO. Menurut mahzab-mahzab, kalau talak itu langsung diucapkan si suami, langsung jatuh. Kalau tak ada saksi, talak itu tak sah. Di Indonesia, tidak jatuh talak, kecuali di depan dua saksi, yaitu di depan ketua dan panitera Pengadilan Agama. Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat itu mengingatkan, putusnya perkawinan di hadapan pengadilan. Dengan demikian, kata Ibrahim, "Wanita itu tidak menjadi korban lelaki. Dan inilah di antara yang diinginkan Hasbi, fikih yang sesuai untuk Indonesia." "Karena penduduk negeri ini mayoritas Muslim," kata Hasbi, seperti dicuplik kembali oleh putranya itu. Dalam disertasi yang tebalnya 569 halaman itu, anaknya yang juga belajar di Institute of Islamic Studies, Kanada, 1975, menyebut Hasbi sebagai pemikir yang khusyuk menggugat taklid buta. Letikan pikiran Hasbi itu disambut banyak orang. Tak kurang dari Prof. Dr. Harun Nasution, 68 tahun, mendukung fikih ala Indonesia itu. "Kondisi di sini lain dengan di Timur Tengah," kata guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah dan UI Jakara itu. Menurut dia fikih itu bukanlah wahyu. Melainkan pikiran ulama belaka. "Jadi, bisa diubah dan dirombak," kata Harun. Senada dengan itu, Dr. Satria Efendy, 38, melihat gagasan Hasbi itu upaya untuk membuktikan bahwa Islam selalu up to date. Menurut doktor dalam ilmu fikih lulusan (1986) Universitas Ummulqura, Mekah, ini hakikat fikih itu bagai air mengalir. "Ia selalu harus diterjemahkan hingga cocok dengan zaman apa pun," ujarnya. Gagasan Hasbi, konon, memang bukan baru di Indonesia. Muhammadiyah bahkan telah memulainya sejak 1926, melalui Majelis Tarjih, yang dipelopori Haji Mas Mansur. Metodenya hampir sama dengan yang ditempuh Hasbi. Selain studi komparasi terhadap pelbagai mazhab dan pendapat para ulama, juga para ahli dari pelbagai disiplin ilmu turut serta. Selain masalah yang menyangkut ibadat dan muamalah, atau menyangkut urusan kemasyarakatan, majelis ini juga mengakomodasi masalah baru yang muncul. Katakanlah, seperti kasus KB, bank, transfusi darah, dan cangkok jantung. Khusus soal cangkok jantung, Muhammadiyah belum final. "Masih dalam penelitian," kata Peunoh Daly, 55 tahun, anggota Majelis Tarjih Pusat Muhammadiyah. Peunoh kurang setuju jika istilah itu disebut fikih ala Indonesia. "Yang sudah besar jangan kita kecilkan," ujar Peunoh, Dekan Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu. Pemahaman fikih dengan pendekatan lingkungan, kata Peunoh, sudah sejak abad ke-17. Pelopornya adalah Syeh Abdurrauf Singkel di Aceh. Ia dikenal sebagai imam besar di Kerajaan Sultan Iskandar Muda. Dari kitab-kitab kuning yang pernah ditulis Abdurrauf alias Teungku Syiah Kuala itu, isyarat konstektual dimaksud diajarkan. Misalnya dalam buku Miraatuth-Thullab. Buku yang disusun Abdurrauf berdasarkan perrnintaan Sultanah Syafiatuddinsyah putri Sultan Iskandar Muda, yang menggantikan ayahnya sebagai sultan -- itu ditulis, "Tak mungkin syariat Islam berjalan tanpa mengamalkan peristiwa-peristiwa di tempat itu." Sebagai contoh, Abdurrauf beramsal bahwa yang dizakati tak cuma gandum, seperti di Arab itu. Juga padi, sumber penghasilan petani di Aceh. Liberalisasi pandangan, kalau itu baru sekarang, tak harus dipertentangkan mengmgat sama-sama berpegang pada Quran dan Sunah. Teori dan formula yang berbeda semata-mata karena ada pengaruh ciri sosial budaya yang berbeda pula. Bersihar Lubis, Laporan I Made Suarjana (Yogya) & Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini