Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah protes deras publik terhadap pembahasan revisi undang-undang krusial di Dewan Perwakilan Rayat, Tubagus Hasanuddin yakin kolega-koleganya di Badan Legislatif (Baleg) tak akan melanjutkan pembahasan dalam sisa satu bulan masa tugas DPR periode 2019-2024. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu merujuk keputusan rapat Badan Legislasi DPR pada Selasa, 6 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Baleg tersebut antara lain berisi kesepakatan bahwa semua rancangan undang-undang (RUU) ataupun rancangan revisi undang-undang yang masih dalam tahap pembahasan hingga saat ini akan dilanjutkan pembahasannya dan diserahkan (carry over) kepada DPR periode 2024-2029. "Sehingga pada akhir masa bakti ini DPR tak akan membahas undang-undang apa pun," kata Hasanuddin pada Kamis, 15 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini DPR tengah membahas sejumlah RUU, sebagian di antaranya merupakan usul inisiatif anggota Dewan yang baru muncul dalam tiga bulan terakhir. Misalnya revisi Undang-Undang TNI, revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia, revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden, dan revisi Undang-Undang Kementerian Negara. Baleg belum memulai pembahasan keempat revisi undang-undang tersebut karena menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) dari Presiden.
Berdasarkan dokumen rapat Baleg pada 6 Agustus 2024 yang dilihat Tempo, ada 18 RUU yang sedang dalam tahap pembahasan tingkat I antara pemerintah dan DPR. Lalu 93 RUU akan memasuki pembahasan tingkat I, empat RUU di tahap harmonisasi di Baleg, serta 17 RUU di tahap penyusunan di DPR.
Menurut Hasanuddin, salah satu pertimbangan Baleg tidak melanjutkan pembahasan sejumlah RUU tersebut adalah Presiden Joko Widodo tak kunjung menyerahkan DIM kepada DPR. Padahal Baleg perlu segera menerima DIM untuk menentukan jadwal pembahasan.
Meski begitu, kata dia, keputusan rapat Baleg pada 6 Agustus itu mungkin saja berubah jika Presiden segera menyerahkan DIM ke Senayan. Penyerahan DIM dari Presiden itu bisa saja disertai permintaan agar pembahasan RUU segera dilanjutkan. Namun ia yakin Baleg akan sulit menyanggupi permintaan presiden itu di sisa masa jabatan DPR saat ini. "Kami akan tanya apa urgensinya dibahas di sisa masa jabatan ini?" ucapnya.
Sesuai dengan rencana, masa tugas DPR periode 2019-2024 akan berakhir pada 1 Oktober mendatang. Pada hari itu, anggota DPR hasil Pemilihan Umum 2024 akan dilantik.
Dalam perhitungan Hasanuddin, Baleg efektif bekerja selama 20 hari. Hitungan ini sudah mempertimbangkan waktu libur pada akhir bulan ini dan September mendatang. Adapun DPR akan kembali bersidang setelah reses mulai hari ini, Jumat, 16 Agustus 2024.
"Karena itu, terlalu dipaksakan untuk menyelesaikan revisi undang-undang dalam waktu 20 hari," ujarnya.
Merespons pembahasan sejumlah revisi undang-undang, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri meminta kadernya di Senayan menolak pembahasan revisi Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri. Juru bicara PDI Perjuangan, Cyril Raoul Hakim, mengatakan revisi kedua undang-undang tersebut tidak urgen untuk disegerakan. Revisi kedua undang-undang tersebut justru berpotensi menghidupkan dwifungsi.
Pengabaian hasil rapat pada 6 Agustus tersebut datang dari pimpinan Baleg. Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi mengatakan lembaganya masih menunggu DIM dari Presiden untuk melanjutkan pembahasan RUU. "Belum (ada penundaan). Intinya, kami masih menunggu DIM," kata politikus Partai Persatuan Pembangunan itu kemarin, 15 Agustus 2024.
Baidowi mengatakan penyelesaian pembahasan sejumlah RUU sangat bergantung pada sikap politik DPR dan presiden. "Jadi bisa cepat atau lambat bergantung pada sikap politik," ujarnya.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad (tengah) mengetuk palu saat rapat paripurna DPR ke-18 masa persidangan V dengan menyetujui, antara lain, RUU Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia di Kompleks Parlemen, Jakarta, 28 Mei 2024. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Ketua Baleg Wihadi Wiyanto mengatakan setiap fraksi akan membahas daftar RUU yang akan diwariskan kepada DPR periode berikutnya. Setelah itu, setiap fraksi akan menyampaikan pendapat. "Dalam kesepakatan tiap fraksi itu nanti dibahas apa yang akan diteruskan karena sudah ada beberapa RUU yang sedang dalam pembahasan," ucapnya.
Politikus Partai Gerindra ini belum memastikan jadwal pembahasan setiap fraksi terhadap sejumlah RUU. Jadwal pembahasan akan diputuskan pada masa persidangan DPR yang dimulai hari ini.
Tempo berusaha meminta konfirmasi ihwal sikap setiap fraksi lewat beberapa anggota Baleg. Misalnya Luluk Nur Hamidah dari Partai Kebangkitan Bangsa, Al Muzzammil Yusuf dari Partai Keadilan Sejahtera, Santoso dari Partai Demokrat, Taufik Basari dari Partai NasDem, dan John Kenedy Azis dari Partai Golkar. Namun mereka belum merespons pertanyaan yang diajukan.
Dua pengurus Partai Gerindra dan PDI Perjuangan mengatakan muncul keinginan beberapa fraksi di DPR untuk menunda pembahasan revisi sejumlah undang-undang. Pertimbangannya, selain karena masalah waktu pembahasan yang singkat, mereka mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah 2024. Sebab, revisi sejumlah undang-undang tersebut bisa saja memicu kemarahan publik, yang berlanjut dengan unjuk rasa.
Masyarakat sipil sejak awal menentang pembahasan revisi sejumlah undang-undang. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyampaikan ada berbagai masalah dalam revisi undang-undang tersebut, dari penyusunannya hingga pasal-pasal yang bermasalah.
"Misalnya, pemerintah cenderung tergesa-gesa serta mengabaikan partisipasi publik secara bermakna sehingga jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip dasar demokrasi," kata Andi Muhammad Rezaldy, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, pada 7 Agustus 2024.
Suasana rapat paripurna ke-22 masa persidangan V tahun sidang 2023/2024 yang mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi usul inisiatif DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 11 Juli 2024. ANTARA/Rivan Awal Lingga
Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berunjuk rasa menentang revisi sejumlah undang-undang pada 30 Juli 2024. Mereka menilai pembahasan revisi Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri dilakukan terburu-buru dan mengabaikan partisipasi publik. Di samping itu, usulan perubahan dalam draf rancangan revisi UU Polri dan UU TNI akan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan.
"Sehingga tak sah untuk disahkan," kata Koordinator Pusat BEM SI Satria Naufal.
Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan pihaknya mendesak DPR dan presiden menghentikan pembahasan revisi sejumlah undang-undang. Alasannya, perubahan undang-undang tersebut tidak mendesak dan substansi usulan perubahannya membahayakan kehidupan demokrasi.
"Ini juga membahayakan negara hukum dan pemajuan HAM," ujarnya kemarin.
Ardi khawatir pembahasan RUU di sisa masa bakti DPR periode saat ini berpeluang mengesahkan pasal susupan. Ia merujuk pada dokumen DIM rancangan perubahan UU TNI per 15 Agustus 2024. Dalam DIM tersebut terdapat dua usulan perubahan pasal terbaru, yaitu menambahkan Pasal 8 huruf D dan menghapus Pasal 39 huruf C. Pasal 8 huruf D mengatur TNI Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum serta menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional. Lalu Pasal 39 huruf C mengatur larangan berbisnis bagi prajurit TNI.
Menurut Ardi, dua poin usulan perubahan terbaru tersebut akan sangat berbahaya. Misalnya, perluasan peran TNI Angkatan Darat menjadi aparat penegak hukum akan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan dengan penegak hukum lain. "Usulan ini mencerminkan kemunduran reformasi di tubuh TNI," ucapnya.
Deputi Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Adapun Wihadi Wiyanto berdalih bahwa Baleg belum menerima DIM dari Presiden.
Baca juga:
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan tidak elok meneruskan pembahasan sejumlah RUU di sisa masa jabatan DPR periode 2019-2024. Ia pun menyarankan DPR periode saat ini menyerahkan pembahasan sejumlah RUU kepada Dewan periode selanjutnya. "Bila pembahasan dipaksakan, undang-undang yang dihasilkan tidak maksimal dan tidak bermanfaat untuk kepentingan publik," tuturnya.
Feri menjelaskan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah mengatur tahapan pembuatan dan pembahasan undang-undang. Pembuatan RUU dibagi dalam beberapa tahap, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Proses pembuatan RUU harus didahului penyusunan naskah akademis. Naskah akademis itu menjadi rujukan penyusunan draf RUU. Setelah itu, DPR memulai pembahasan, yang dibagi dalam dua tingkat.
Tingkat I, yaitu pembahasan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Baleg, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Pembahasan tingkat I melibatkan pihak eksekutif. Proses legislasi itu juga wajib melibatkan partisipasi publik yang bermakna, baik melalui rapat dengar pendapat umum maupun sosialisasi.
Selanjutnya pembahasan tingkat II, yaitu rapat paripurna DPR. Pembahasan di tahap ini meliputi penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pernyataan persetujuan atau penolakan dari setiap fraksi, serta penyampaian pendapat akhir presiden.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus mengatakan DPR akan sulit menuntaskan pembahasan revisi sejumlah undang-undang dalam waktu satu bulan. "Kalau pembahasan undang-undang tetap dipaksakan, artinya ada niat terselubung," katanya.
Lucius menduga Baleg menyiasati proses revisi sejumlah undang-undang tersebut. Caranya, Baleg memasukkan revisi UU TNI, UU Polri, UU Dewan Pertimbangan Presiden, UU Kementerian Negara ke daftar kumulatif terbuka, yang artinya RUU dapat diajukan berdasarkan kebutuhan.
RUU yang masuk daftar kumulatif akan terhindar dari proses legislasi, seperti pembuatan naskah akademis, penyusunan draf, dan harmonisasi. Lucius berpendapat keempat revisi undang-undang tersebut tidak dimasukkan ke daftar kumulatif terbuka. Sebab, beberapa RUU yang masuk daftar kumulatif biasanya berjenis rancangan tentang anggaran dan ratifikasi perjanjian internasional, serta bertujuan mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi.
"Karena itu, saya bilang ini hanya untuk menyiasati proses pembahasan RUU," ujarnya.
Lucius mengatakan setiap RUU idealnya dimulai dengan penyusunan naskah akademis, lalu pembuatan draf revisi undang-undang. Ia khawatir pembahasan revisi yang tergesa-gesa akan menghasilkan produk undang-undang yang tak berkualitas dan berpotensi merusak sistem demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo