Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hujan Kritik atas Batalnya Revisi Undang-Undang Pemilu

Pembatalan revisi Undang-Undang Pemilu salah satunya berdampak kosongnya jabatan kepala daerah di beberapa wilayah dan akan diisi penjabat yang ditentukan pemerintah.

16 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasa rapat kerja Komisi II DPR dengan Mendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 15 Maret 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah kalangan mengkritik keputusan pembatalan revisi Undang-Undang Pemilu.

  • Sejumlah jabatan kepala daerah bakal kosong selama dua tahun karena pemilu serentak 2024.

  • KPU diminta menyiapkan simulasi pemilu serentak 2024.

JAKARTA – Pegiat dan akademikus mengkritik keputusan pemerintah dan parlemen yang mencabut pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilu dalam program legislasi. Padahal perombakan tersebut digadang-gadang bisa menyelesaikan berbagai persoalan pemilu di masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, khawatir pemerintah dan parlemen benar-benar batal merevisi undang-undang tersebut. Sebab, menurut lembaga pemantau pemilu ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55 Tahun 2019 menyarankan pemerintah mendesain waktu pemilihan. "Urgensinya jelas. Penyelenggaraan pemilu secara serentak secara faktual berat bagi pemilih dan penyelenggara," ujar Titi kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemilihan kepala daerah serentak secara nasional dipastikan tetap digelar pada 2024. Hal ini dipastikan setelah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membatalkan revisi Undang-Undang Pemilu. DPR juga mencabut pembahasan revisi dari program legislasi nasional. Titi mengatakan pemilihan umum yang dilakukan serentak pada 2019 berdampak bagi iklim demokrasi. Dampaknya terutama adalah adanya polarisasi di masyarakat, korban jiwa penyelenggara pemilu akibat kelelahan, dan berbagai persoalan lain.

Berbagai masalah krusial tersebut, menurut Titi, awalnya membuat partai politik mendesak untuk merombak Undang-Undang Pemilu. Namun Titi kecewa karena beberapa partai politik belakangan justru menolak pembatalan dan menyetujui pemilu serentak digelar pada 2024.

Poster sosialisasi Pemilu 2019 di Jakarta, 25 Februari 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat

Titi menjelaskan, konsekuensi pembatalan revisi adalah kewajiban menyelenggarakan pemilihan umum, dari pemilihan presiden, gubernur, bupati, wali kota, sampai pemilihan legislatif dari pusat hingga daerah. Walhasil, dia melanjutkan, DPR kemudian meminta Komisi Pemilihan Umum membuat simulasi pemilu serentak 2024.

Dia menilai pemerintah dan DPR semestinya berfokus merevisi Undang-Undang Pemilu agar persoalan seperti yang dihadapi dalam Pemilu 2019 dapat dituntaskan. Namun partai politik di parlemen malah berfokus merevisi ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dan presidential threshold, serta beberapa isu lain yang tak berhubungan dengan persoalan seperti dalam Pemilu 2019.

Pembatalan revisi Undang-Undang Pemilu, menurut Titi, bakal merugikan para pemilih yang semestinya berhak menentukan suara dalam pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023. Adapun para kepala daerah yang baru dilantik pada 2021 memiliki masa jabatan lebih pendek. Sedangkan para kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada 2022 dan 2023 tidak bisa melanjutkannya. Akibatnya, kekosongan selama dua tahun itu akan diisi para penjabat kepala daerah, yakni pelaksana tugas yang ditentukan pemerintah.

Peneliti ilmu politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan masih mengingat bahwa mayoritas partai politik seolah-olah kapok terhadap penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019. Apalagi banyak korban jiwa dan masalah akibat penyelenggaraan pemilu itu. "Tapi pemilu serentak kembali digelar pada 2024. Kami mulai khawatir bagaimana nanti bisa menjalankan pemilihan legislatif, pemilihan presiden, dan kepala daerah dalam satu momentum?" ujarnya.

Peneliti LIPI di Pusat Penelitian Politik, Siti Zuhro. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Siti menganggap kebijakan ini irasional karena pemerintah memaksakan model pemilihan yang merugikan masyarakat. Ia juga khawatir akan ancaman polarisasi apabila pemilihan umum pada 2019 direplikasi pada 2024. Menurut dia, Indonesia akan menghadapi krisis kepemimpinan akibat gagalnya suksesi tokoh-tokoh muda pada masa mendatang.

Siti menduga keputusan ini diambil hanya untuk mengakomodasi kepentingan sesaat pemerintah dan partai politik. Ia berargumen bahwa pemilu serentak digelar pada 2024 karena partai politik tengah berancang-ancang menghimpun koalisi pemilihan calon presiden. Partai politik akan memiliki waktu cukup panjang untuk menyiapkan hal tersebut. 

Anggota Komisi II DPR Bidang Pemerintahan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, menyatakan partainya terus mendesak revisi UU Pemilu. Menurut dia, banyak sekali hal mudarat jika revisi tidak dilanjutkan. Salah satunya kekosongan kursi pemimpin daerah selama dua tahun, yang kemudian diisi penjabat yang ditunjuk pemerintah. "Karena rakyat berhak untuk mendapat pemimpin definitif. Dua tahun lowong. Itu bukan hak pemerintah dalam menentukan," tuturnya.

Mardani juga khawatir kejadian seperti Pemilu 2019 terulang lagi, yakni meninggalnya ratusan orang penyelenggara pemilu, jika pemerintah memaksakan pemilihan serentak. Selain itu, ia menyarankan KPU tidak menyelenggarakan pemilihan presiden pada awal tahun, mengingat siklus anggaran pemerintah yang biasanya belum normal.

Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, tak memungkiri bahwa penyelenggaraan pemilu pada 2019 cukup berat dilakukan. Dia menyarankan KPU membenahi secara rinci berbagai permasalahan pada masa mendatang. "Harus dirinci untuk memastikan bahwa seluruh tahapan yang disepakati dan dilaksanakan dengan baik," ujar dia.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno sebelumnya menegaskan bahwa pemerintah memastikan tidak menghendaki adanya revisi UU Pemilu. Pemerintah tidak ingin setiap persoalan yang dihadapi berimplikasi pada perubahan undang-undang. "Prinsipnya, jangan sedikit-sedikit itu undang-undang diubah. Yang sudah baik, ya, tetap dijalankan," tuturnya.

Pratikno menyebutkan UU Pemilu cukup efektif menjadi panduan bagi penyelenggara untuk menggelar pemilihan umum. Dalam undang-undang itu juga sudah ditetapkan bahwa nantinya pelaksanaan pemilihan eksekutif dan legislatif dari tingkat pusat hingga daerah akan dilaksanakan serentak.

AVIT HIDAYAT | ANTARA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus