Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Dodi Ambardi, mengatakan tren polarisasi agama di Indonesia masih kuat di Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019. Bahkan, selama kontestasi, kedua pasangan calon presiden, Joko Widodo atau Jokowi dan lawannya Prabowo Subianto, turut memobilisasi agama untuk mendapatkan dukungan dari kelompok tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Masing-masing mencoba untuk memanfaatkan sentimen agama yang terpolar, yang diharapkan dapat membetot dukungan politik,” kata Dodi dalam diskusi bertajuk ‘Menatap Indonesia Setelah Pemilu’ di kantor Tempo, Senin petang, 15 April 2019.
Dodi mencontohkan, mobilisasi agama telah dilakukan calon presiden Joko Widodo atau Jokowi saat memilih wakil presidennya, yakni Ma’ruf Amin. Penetapan Ma’ruf Amin sebagai pendamping tak diprediksi oleh masyarakat. Sebab, Jokowi kala itu santer dikabarkan akan menggandeng Mahfud MD sebagai cawapres.
Menurut Dodi, Mahfud MD memiliki ketokohan dengan kredensial Islam yang mumpuni, bahkan melampaui Ma’ruf. Namun, Ma’ruf diduga dipilih lantaran namanya turut berperan pada munculnya gerakan 212 pada 2016.
Ma’ruf dianggap mampu menarik elektoral dari kelompok konservatif dalam banyak. “Paling tidak (Ma’ruf) membentengi Jokowi dari anggapan terlalu abangan atau kejawen,” ujarnya.
Sikap seragam turut ditunjukkan calon presiden Prabowo Subianto. Prabowo, ujar Dodi, turut merangkul tokoh dalam lingkaran 212, misalnya Rizieq Sihab. Pentolan Front Pembela Islam itu ditengarai memiliki hubungan dekat dengan koalisi Prabowo. Adapun sikap Prabowo memobilisasi tokoh 212 itu tak jauh dari tujuan penggalangan dukungan.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian (JGD) Alissa Qotrunnada Munawaroh atau Alissa Wahid mengatakan situasi pilpres yang sarat polarisasi agama ini merupakan perubahan karakteristik demokrasi. Persepsi masyarakat yang telah bergerak berubah terhadap politik ini dipengaruhi iklim menguatnya sentimen agama dalam Pilkada DKI.
“Kalau kita bicara 1998, rakyat melawan negara people versus people. Tapi kondisi ini berubah, people versus people,” ujarnya dalam acara yang sama.