Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESAN melalui WhatsApp itu berulang kali diterima Muhammad Yusuf Hasibuan sepanjang dua pekan lalu. Ajudan Bupati Rokan Hilir, Provinsi Riau, Suyatno, ini merasa terganggu karena pesan yang semula hanya berupa permintaan bertemu dengan bosnya itu belakangan berisi ancaman dan intimidasi. Semakin mengejutkan, sang pengirim pesan menyebut dirinya sebagai Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang kini mendekam di penjara karena tersangkut kasus korupsi.
Tak hanya lewat pesan pendek, Yusuf juga dihubungi melalui telepon oleh dua orang yang mengaku utusan Nazaruddin yang minta diatur bertemu dengan Suyatno. Merasa tertekan, Yusuf meneruskan semua pesan yang dia terima ke Bupati. "Beliau yang menentukan apakah permintaan itu diterima atau ditolak," katanya Rabu pekan lalu.
Yusuf berusaha tenang. Meski begitu, ia tak habis pikir ada orang yang tega mengganggu bupati. Suyatno menduduki kursi bupati untuk periode 2016-2021 berpasangan dengan Djamiludin. Sebelumnya, Suyatno wakil ketika Anas Maamun menduduki jabatan bupati.
Kecemasan Yusuf tak berlebihan. Seorang pejabat pemerintahan di Riau menceritakan, dari dalam penjara, Nazaruddin terus meminta sejumlah proyek di Riau. Yang diminta tidak hanya di Rokan Hilir, tapi juga di beberapa kabupaten lain.
Menurut dia, seorang adik lelaki Nazaruddin hilir-mudik mendatangi pejabat di Kabupaten Indragiri Hilir dan meminta delapan proyek infrastruktur bisa dikerjakan perusahaannya. Kebetulan saat itu proyek bernilai puluhan miliar rupiah tersebut sedang ditenderkan. Kondisi serupa terjadi di Kabupaten Meranti. Proyek yang diminta dikabarkan mencapai Rp 100 miliar.
Provinsi yang dikenal dengan sebutan Bumi Melayu Lancang Kuning itu memang dekat dengan Nazaruddin. Meski lahir di Simalungun, Sumatera Utara, lelaki 38 tahun ini besar dan memulai bisnis di Riau. Selanjutnya, Nazaruddin masuk Partai Demokrat dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 dari daerah pemilihan Jember, Jawa Timur. Adapun kakaknya, Muhammad Nasir, menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan Riau.
Menurut pejabat tadi, dalam menjalankan bisnis menggarap proyek di daerah, Nazaruddin mengutus Nasir dan adik laki-lakinya. Nasir, yang sekarang menjadi anggota Komisi Energi DPR, bersama dua orang lainnya pernah bertemu dengan Suyatno di rumahnya. Menurut pejabat itu, kepada sang Bupati, mereka mengklaim proyek infrastruktur Dana Alokasi Khusus (DAK) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2015 dan 2016 yang masuk Rokan Hilir dan daerah lain di Riau merupakan hasil dari lobi-lobinya di Jakarta. "Mereka minta jatah proyek sambil menebarkan ancaman," ujar pejabat tadi.
Nasir menolak diwawancarai ketika dicegat di pintu keluar Gedung Nusantara 1 Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis pekan lalu. Ketika Tempo bertanya sembari menyodorkan perekam, Nasir meminta agar alat itu dimatikan. Dengan nada tinggi, ia menukas sejumlah pertanyaan. "Saya tidak ada urusan sama itu," katanya.
Tempo mendapatkan salinan pesan gawai yang menunjukkan ancaman Nazaruddin kepada Suyatno. Pesan itu menyebutkan, jika Suyatno tidak memberi jatah proyek, Nazaruddin-yang kini menjalani sidang sebagai terdakwa kasus pencucian uang-akan "menyanyi" kepada wartawan yang selalu mengerubutinya dalam setiap sidang. "Pak Bupati, saya ini orang yang paham dinginnya besi penjara," ujar Nazaruddin dalam pesan pendek itu.
Dalam pesan pendek, Nazaruddin juga mengklaim proyek dari Dana Alokasi Khusus pada APBN yang masuk ke Rokan Hilir merupakan hasil lobinya. Ia menyatakan telah mengeluarkan Rp 5,6 miliar agar turun anggaran DAK Rp 80 miliar. Pada tahun ini, Nazaruddin mengklaim telah merogoh uang lobi dari saku pribadi Rp 9,8 miliar buat mengunduh anggaran DAK Rp 141 miliar agar masuk ke Rokan Hilir. "Semua ini aku keluarkan pakai uang, bukan pakai daun," begitu menurut pesan itu.
Nazaruddin juga merinci proyek yang ia minta. Setidaknya ada sepuluh paket proyek. Misalnya proyek peningkatan kualitas jalan dari Simpang Tugu Pujud menuju Bagan Batu dengan plafon DAK tahun 2016 sebesar Rp 13,5 miliar. Proyek ini masuk sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik, yang sedang dalam proses lelang. Pemenangnya akan diumumkan pada pertengahan Juni ini. Nazaruddin menyodorkan setidaknya sembilan nama perusahaan yang ia kendalikan masuk daftar peserta tender.
Proyek lain yang diincar Nazaruddin adalah peningkatan jalan Tugu Ikan menuju Bagansiapiapi senilai Rp 33 miliar. Ada juga proyek peningkatan jalan Simpang Kanan-Bagan Batu Rp 9,5 miliar dan proyek lanjutan Jalan Lancang dengan nilai Rp 8,5 miliar. Nama perusahaan yang disodorkan Nazaruddin antara lain PT Mustika Mirah Makmur, PT Bengkalis Era Jaya, dan PT Sentra Multikarya Infrastruktur.
Bupati Suyatno tidak menyangkal kabar soal ancaman itu. Namun dia menolak menjelaskan secara detail. Suyatno hanya mengatakan dia mempersilakan siapa saja ikut dalam tender pengerjaan proyek di daerahnya. "Asalkan semuanya ikut lelang sesuai dengan prosedur," katanya. Nazaruddin, sejak menjalani sidang kasus pencucian uang, dipindahkan dari penjara Sukamiskin, Bandung, ke Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi cabang Polisi Militer Komando Daerah Militer Jayakarta di Jalan Guntur, Jakarta. Melalui Sudarmono, pengacaranya, Nazaruddin membantah mengendalikan proyek. "Enggak bener itu," ujar Sudarmono.
Cerita Nazaruddin mengelola proyek dari dalam penjara pernah terungkap sebelumnya. Di Cipinang, ia rutin menggelar rapat mingguan sejak awal 2012. Pertemuan dilakukan tiap Sabtu sejak pukul 10.00 hingga 18.00. Tempatnya bukan di ruang kunjungan tamu, melainkan di ruang konsultasi di lantai 2, dekat ruang kepala keamanan rumah tahanan. Pesertanya bekas karyawan Nazaruddin di Grup Permai yang masih setia mengikutinya.
Nazaruddin kembali disidang untuk kasus tindak pidana pencucian uang dalam pembelian saham PT Garuda Indonesia Tbk di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta sejak 10 Desember 2015. Dalam pekan pertama Juni ini, sidang kasus itu akan memasuki pembacaan vonis. Dalam persidangan kasus wisma atlet yang menjerat Nazaruddin pada 2012, terungkap bahwa Permai Group, perusahaan induk milik Nazaruddin, membeli saham perdana PT Garuda Indonesia senilai total Rp 300,8 miliar.
Pada 23 Januari 2013, Mahkamah Agung memperberat hukuman Nazaruddin menjadi tujuh tahun penjara. Selain itu, MA mendendanya Rp 300 juta. Sebelumnya, pada 20 April 2012, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan pidana empat tahun sepuluh bulan penjara dan denda Rp 200 juta kepada Nazaruddin. Di persidangan, Nazaruddin terbukti menerima suap Rp 4,6 miliar.
Nazaruddin menghuni penjara khusus koruptor di Sukamiskin, Bandung, mulai awal Mei 2013. Sebelumnya, ia menghuni penjara Cipinang, Jakarta. Selama di Guntur, Nazaruddin berada di bawah pengawasan komisi antikorupsi. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief mengatakan lembaganya akan meneliti kabar Nazaruddin mengatur proyek dari dalam penjara. Menurut dia, jika informasi itu benar, berarti ada pelanggaran. "Akan kami evaluasi," kata Laode.
Sunudyantyoro, Ahmad Faiz, Maya Ayu (Jakarta), Riyan Nofitra (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo