Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Kekerasan Seksual Berulang di Kampus

Kekerasan seksual di lingkungan kampus masih terus terjadi meski Kementerian Pendidikan sudah menerbitkan aturan sejak Oktober tahun lalu. Teranyar, seorang mahasiswa Universitas Negeri Makassar menjadi korban pelecehan seksual oleh dosennya.

11 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seorang mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi korban pelecehan seksual pada 7 April lalu.

  • Pelecehan seksual di UNM itu menguatkan kajian Kementerian Pendidikan dan data Komnas Perempuan.

  • Relasi kuasa menjadi faktor langgengnya kekerasan seksual di lingkungan kampus.

JAKARTA Kekerasan seksual di lingkungan kampus masih terus terjadi hingga kini. Teranyar, seorang mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar (UNM), Sulawesi Selatan, menjadi korban pelecehan seksual pada 7 April lalu. Pelakunya disebut-sebut seorang dosen Jurusan Teknik Informatika dan Komputer, Fakultas Teknik, berinisial HB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Korban, Deasiah Putri—nama samaran—sempat menceritakan pelecehan seksual yang dialaminya di sebuah akun Twitter yang dikelola mahasiswa Universitas Negeri Makassar. Pendamping Deasiah, yang namanya tak ingin disebut dengan alasan keamanan, mengatakan pelecehan itu berawal ketika korban tengah duduk di koridor gedung kampus. Saat itu, Deasiah mengenakan pakaian tertutup. Lalu, tiba-tiba pelaku berbaring dengan meletakkan kepalanya di paha korban. “Korban nge-freeze dan kaget,” kata pendamping Deasiah, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mengatakan, setelah pengakuan Deasiah tersebut, banyak mahasiswa lain yang juga mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh HB. Bentuk pelecehan seksual yang mereka alami beragam, dari pelecehan verbal hingga fisik. “Saat ini korban yang berani melapor ada enam orang,” kata dia.

Hingga saat ini, HB belum dapat dimintai konfirmasi. Media kampus UNM, Profesi, menulis bahwa HB membantah melakukan pelecehan seksual terhadap Deasiah.

Wakil Rektor III Universitas Negeri Makassar, Sukardi Weda, mengatakan dirinya telah bertemu dengan anggota komisi kode etik kampus untuk membahas dugaan pelecehan seksual oleh dosen terhadap mahasiswa tersebut. “Menurut beliau, penanganan terkait dengan isu tersebut sedang berjalan,” kata Sukardi.

Rencananya, kata dia, komisi kode etik akan memanggil pelapor pada 13 Juni mendatang. Satu hari berikutnya, giliran terduga pelaku akan diperiksa oleh komisi kode etik UNM.

Dekan Fakultas Teknik UNM, Muhammad Yahya, dan ketua komisi kode etik belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal perkembangan penanganan kasus ini.

Pelecehan seksual di UNM tersebut semakin menguatkan kajian Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi baru-baru ini. Hasil riset Kementerian Pendidikan di 79 kampus pada 29 kota menemukan bahwa sebanyak 77 persen dosen mengaku kekerasan seksual pernah dijumpai di kampusnya. Namun sebanyak 63 persen dari mereka tidak melaporkannya ke pihak kampus atau membiarkannya.

Riset ini sejalan dengan data Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Lembaga ini mencatat bahwa kampus menempati peringkat pertama dalam pelaporan kekerasan di dunia pendidikan. Angkanya mencapai 35 persen dari total kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. 

Aksi menolak kekerasan seksual di kampus di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, 25 November 2021. TEMPO/Ridho Fadilla

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH), Muhammad Isnur, mengatakan relasi kuasa menjadi faktor langgengnya kekerasan seksual di lingkungan kampus. Relasi kuasa ini menciptakan peluang bagi pelaku dalam menyuburkan ekosistem kekerasan seksual di kampus.

Isnur mencontohkan relasi dosen yang membimbing skripsi mahasiswa. Dosen memiliki kuasa atas mahasiswa bimbingannya. Kuasa tersebut bisa dimanfaatkan untuk membungkam korban agar tidak melaporkan perbuatannya. Akhirnya, pelaku leluasa mengulangi perbuatannya hingga berkali-kali.

Dalam laporan YLBHI, pelaku kekerasan seksual dengan latar belakang dosen sebanyak 19 orang atau sebesar 7,95 persen. Pelaku dengan latar belakang dosen ini kerap memiliki banyak korban. “Satu terduga pelaku bisa memiliki 30 korban,” kata Isnur.

Misalnya, kata dia, korban kekerasan seksual dengan pelaku ketua program studi dan dosen di sebuah kampus di Bali mencapai 48 korban.

Selanjutnya, pelaku kekerasan seksual dengan latar belakang mahasiswa pun angkanya sangat tinggi. YLBHI menerima laporan ada 71 mahasiswa yang menjadi pelaku kekerasan seksual.

Isnur menilai relasi dan latar belakang pendidikan pelaku sangat berkaitan dalam terjadinya kekerasan seksual. “Misal, senior di organisasi kampus. Itu juga ada relasi kuasa,” ujarnya.

Kementerian Pendidikan sesungguhnya sudah membuat peraturan untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus, Oktober tahun lalu. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Pasal 6 dari peraturan ini menjelaskan, kampus wajib membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (satgas PPKS).

Meski mewajibkan, belum semua kampus membuat satgas PPKS. Menurut Isnur, kondisi itu turut andil sehingga terjadi kekerasan seksual berulang di kampus. “Selain itu, ada impunitas bagi pelaku kekerasan seksual,” kata Isnur.

Menurut Isnur, beberapa pelaku kekerasan seksual di kampus dengan mudah dibebaskan dari jerat hukum. Salah satunya seorang dosen di Universitas Riau, Syafri Harto. Kasus ini bermula dari video pengakuan korban yang diunggah oleh pendamping pada November 2021. Dalam video, korban menceritakan pelecehan oleh dosen yang dialaminya saat bimbingan skripsi.

Syafri sempat ditetapkan sebagai tersangka hingga kasusnya masuk pengadilan. Namun, pada April 2022, hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memutuskan Syafri tak bersalah atas tuduhan pelecehan seksual terhadap mahasiswi bimbingannya. Alasan hakim, korban tidak memiliki bukti yang kuat atas tuduhannya tersebut. 

Isnur mengatakan fakta itu seharusnya menjadi pemantik kampus untuk membuat regulasi penanganan kasus kekerasan seksual secara tegas dan jelas. Kampus seharusnya mengungkap kasus kekerasan seksual yang terjadi dan tak merahasiakannya dengan dalih menjaga citra kampus. “Justru harus diungkap untuk membersihkan kampus.”

Dia juga mendorong pihak kampus untuk membentuk tim satgas PPKS yang independen dan imparsial. Kampus perlu mendampingi korban dengan menyediakan jasa psikolog. Kampus juga harus berkomitmen melindungi korban kekerasan seksual jika terdapat ancaman fisik. “Kepentingan dan kebutuhan korban sebisa mungkin harus difasilitasi.”

IMA DINI SHAFIRA 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus