Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Masa tugas Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (TPPHAM) segera berakhir. Tim akan memberi laporan dan rekomendasi dalam waktu dekat. “Dalam satu minggu ke depan akan kami rampungkan,” kata Sekretaris TPPHAM Suparman Marzuki, kemarin, 20 Desember 2022. “Targetnya, sebelum 31 Desember sudah kami serahkan ke Menko Polhukam dan Presiden.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan ketua Komisi Yudisial ini mengatakan, TPPHAM telah bekerja sejak September lalu untuk mengumpulkan data serta berdiskusi dengan para ahli dan korban pelanggaran HAM berat. Namun ia tidak bersedia menyampaikan hasil pertemuan dengan keluarga korban itu. “Nanti jika sudah kami serahkan hasilnya ke Pak Menko Polhukam dan Presiden, baru bisa dibuka,” ujar Suparman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang pembentukan TPPHAM pada 26 Agustus 2022. Dengan adanya keppres ini, pemerintah berupaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non-yudisial. Pemerintah berharap TPPHAM juga dapat memberi rekomendasi tentang langkah pemulihan bagi para korban dan keluarganya. Namun keppres ini menuai polemik. Para pegiat HAM menuding pemerintah berupaya menghindari tanggung jawab untuk menuntaskan kasus-kasus HAM berat masa lalu.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, mengatakan bahwa Keppres Nomor 17/2022 itu cenderung mengarah pada kegiatan sosial. “Isi keppres-nya seperti tidak ada tanggung jawab penyelesaian,” kata dia. “Karena kebutuhan pokok para korban adalah pengungkapan kebenaran, reformasi institusi negara, dan adjudikasi terhadap pelaku.”
Apalagi, kata Julius, tim PPHAM seperti dirumuskan di ruang gelap. Tidak ada masyarakat sipil yang dilibatkan, termasuk korban dan keluarganya. “Jadi, jelas bukan untuk kepentingan keadilan, apalagi kepentingan korban,” ujarnya.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan, kerja TPPHAM justru hanya berfokus pada korban. Tim ini merumuskan fakta dan merekomendasikan tindak lanjut untuk penanganan korban. “Sedangkan kasus dan pelakunya menjadi urusan yudisial,” ujar Mahfud, yang sekaligus menjadi Ketua Tim Pengarah PPHAM.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Mahfud menegaskan, proses yudisial dalam penanganan HAM berat masa lalu tidak akan dikesampingkan. Pemerintah akan terus berupaya mendapatkan pembuktian agar kasus-kasus tersebut bisa memenuhi syarat hukum acara. “Di kejaksaan, yang penting adalah pembuktiannya bisa dipenuhi. Kalau tidak, ya, pasti kalah,” ujar Mahfud.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai pembentukan TPPHAM tidak efektif untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Sebab, tim ini hanya diberi waktu tiga bulan untuk bekerja. “Waktu yang singkat dan dengan tema pelanggaran HAM berat masa lalu, tentu tidak akan efektif,” kata dia. “Ada kompleksitas masalah yang perlu perhatian serius.”
Usman menambahkan, akan lebih baik jika pada waktu yang singkat tersebut ada pengakuan dari negara bahwa negara bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Setelah itu, negara memberikan keadilan bagi korban lewat pertanggungjawaban dan penghukuman terhadap para pelaku. "Masalahnya, mandat yang diemban TPPHAM ini tidak mengarah ke sana, melainkan lebih mengarah ke bantuan karitatif,” kata dia. “Bukan sebuah penyelesaian yang komprehensif."
Berdasarkan catatan Komnas HAM, ada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang hingga saat ini belum diselesaikan, di antaranya peristiwa 1965; penembakan misterius 1982; Talangsari, Lampung, 1989; Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, 1998; kerusuhan Mei 1998; penghilangan orang secara paksa, 1997; peristiwa Wasior Wamena; pembantaian dukun santet di Banyuwangi; serta peristiwa Jambu Keupok 2003.
“Memang banyak yang belum disidik oleh jaksa karena masih ada pendalaman dan itu sudah berlangsung lama sekali,” kata Wakil Tim Pelaksana PPHAM, Ifdhal Kasim. “Karena proses yudisial belum ada titik terang, maka melalui keppres ini diselesaikan lebih dulu pemulihan korban.”
Menolak Pendekatan Non-Yudisial
Sekretaris Jenderal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Irfan mengatakan, pengungkapan kasus-kasus HAM berat masih menemui jalan buntu. Namun penanganan non-yudisial melalui Tim PPHAM juga tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab, dalam hukum pidana umum saja, hanya hal-hal ringan yang dapat diselesaikan secara restorative justice. "Hal-hal yang berat tidak bisa secara non-yudisial,” kata dia. “Tidak mungkin tak menghukum pembunuh, kemudian berharap penyelesaian kasusnya selesai hanya dengan ganti rugi.”
Menurut Andi, masalah mendasar dalam penegakan HAM Indonesia adalah impunitas. Orang-orang yang diduga menjadi pelaku tidak tersentuh oleh hukum. Bahkan tidak jarang orang-orang itu menjadi bagian dalam kekuasaan politik negara. Mereka sampai sekarang hidup secara normal, bisa berkarier dalam bidang politik, militer, maupun kepolisian.
Aksi Kamisan ke-600 di depan Istana Merdeka, Jakarta, 2019. TEMPO/Subekti
Maria Catarina Sumarsih, orang tua mahasiswa korban tragedi Semanggi I, secara tegas menolak penanganan pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non-yudisial. Dia pernah diundang untuk menghadiri pertemuan bersama TPPHAM. “Saya diundang pada (pertemuan) 15 November 2022,” kata Maria.
Menurut Maria, pertemuan itu dihadiri juga oleh sejumlah perwakilan dari Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI). Mereka cenderung menyetujui pendekatan non-yudisial. Saat diskusi digelar, terjadi perdebatan antara perwakilan IKOHI dan keluarga korban tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. “Kami memutuskan walk out dengan baik-baik, hanya disayangkan tidak ada upaya dari perwakilan TPPHAM untuk menengahi perdebatan,” ujar Maria.
Pada Pasal 4 Keppres Nomor 17/2022, kata Maria, terdapat rekomendasi pemulihan bagi korban. Rekomendasi itu berupa rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, dan rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarga. Namun ia meyakini keluarga korban lebih mengharapkan keadilan dibanding bantuan. “Kami lebih mengutamakan penyelesaian yudisial daripada nyawa anak saya dan teman-teman anak saya diganti dengan materi,” kata Maria.
ILONA ESTERINA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo