Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyetip ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen merupakan fenomena bersejarah. Perludem menyebut putusan ini akan memberikan peluang kepada para partai politik untuk mencalonkan pasangan dalam pemilihan umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Putusan ini menandai langkah bersejarah dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Ambang suara yang selama ini dinilai problematik,” kata Perludem dalam keterangan tertulisnya, dikutip Jumat, 3 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Kamis kemarin, MK melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 memutuskan bahwa norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya putusan ini secara resmi menghapus ketentuan presidential threshold sebesar 20 persen suara sah nasional atau 25 persen kursi DPR untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Perludem menyebut uji materi terkait ambang batas ini telah ditempuh sebanyak 30 kali. Namun, dalam proses persidangan, Perludem menyebut hakim cenderung mendukung keberlanjutan aturan ini sebagai open legal policy dari DPR. “Namun, hari ini, terjadi pergeseran posisi pandangan hakim yang mempertimbangkan situasi demokrasi terkini,” kata Perludem.
Menurut Perludem ambang batas pencalonan presiden selama ini mencederai hak politik warga negara, baik untuk memilih maupun hak dipilih. Sebab, dalam skema ambang batas 20 persen ini pemilihan umum hanya menyediakan pilihan atau calon terbatas yang membuat polarisasi di masyarakat semakin mendalam.
“Pengalaman pemilu presiden sebelumnya menunjukkan bahwa polarisasi yang berkelanjutan dapat mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia,” kata Perludem.
Hakim konstitusi Saldi Isra menyebutkan penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerabel secara nyata bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Karena itu, hal tersebut menjadi alasan menurut MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya.
“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyengkut besaran atau angka presentasi ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi Isra.
Dia mengatakan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini juga bertentangan dengan beberapa pasal. Salah satunya pasal 6A ayat 2 UUD NRI tahun 1945.
Gugatan ini diajukan oleh empat mahasiswa dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk. Para Pemohon mendalilkan prinsip one man one vote one value tersimpangi oleh adanya presidential threshold. Kondisi ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip "one value" karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama.
Idealnya, menurut para Pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan. Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, fenomena ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.
Raihan Muzakki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Jokowi Masuk Daftar Finalis Person of The Year OCCRP 2024. Apa Arti Kejahatan Terorganisasi?