Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, Titi Anggraini, menilai pemilihan gubernur atau Pilgub melalui DPRD berpotensi menimbulkan tindak kesewenang-wenangan elite partai karena tidak melibatkan aspirasi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bisa memutus mata rantai aspirasi publik dan menimbulkan kesewenang-wenangan elite,” kata Titi saat dihubungi melalui WhatsApp, pada Ahad, 1 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Titi tak menampik pelaksanaan Pilgub oleh DPRD dapat menawarkan proses yang lebih mudah dan efisien. Akan tetapi, hasil pemimpin yang diputuskan hanya berbasis terhadap kesepakatan eksklusif para elite partai tanpa mengakomodasi suara dan harapan masyarakat. Dalam pelaksanaan Pilgub dengan dipilih oleh rakyat, kata dia, juga masih ditemukan keputusan pencalonan yang berbeda dengan konstituen partai.
“Apalagi kalau diambil alih sepenuhnya oleh wakil partai di DPRD,” ujarnya.
Menurut dia, pelaksanaan pemilihan gubernur secara langsung maupun melalui pemerintah berpotensi terjadinya politik uang. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada pemberian uang atau material yang diberikan kepada anggota DPRD.
“Mestinya yang dibenahi adalah pengaturan dan penegakan hukumnya. Bukan dengan serta merta mengubah sistem,” kata dia.
Titi menuturkan, selama penegakan hukum masih lemah dan perilaku koruptif masih terbiarkan, apapun mekanisme pemilihannya pasti akan bermasalah. “Yang terjadi malah bisa makin mengokohkan oligarki dan hegemoni elite,” tuturnya.
Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia itu mengatakan jika budaya tersebut dibiarkan dapat memicu ketidakpercayaan dan ketidakpuasan publik terhadap kepemimpinan yang dibentuk sehingga berpotensi mengganggu kondusifitas pemerintahan daerah.
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Jazilul Fawaid, mengusulkan agar pilkada di tingkat provinsi dipilih melalui DPRD bukan lagi dipilih oleh rakyat secara langsung. Menurut dia, itu perlu dilakukan karena pencoblosan serentak menelan anggaran besar.
Jazilul mengatakan, tingginya biaya pemilihan gubernur itu tercerminkan pada pilkada 2024. Misalnya, pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp1 triliun untuk Pilkada Jawa Barat, belum lagi ditambah biaya pemilihan gubernur di wilayah lainnya.
"Itu bukan anggaran yang kecil. Kalau yang Rp1 triliun itu diberikan ke salah satu kabupaten di salah satu provinsi, di NTT misalnya, itu bisa membuat ekonomi bangkit," kata Jazilul di Jakarta, Kamis, 28 November 2024.
Dia mengatakan bahwa otonomi daerah sejatinya diberikan kepada kabupaten/kota sehingga Pilkada langsung cukup di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu, Pilkada secara langsung di tingkat provinsi harus dievaluasi.