Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi atau Kemendikbudristek tengah menyiapkan Permendikbud anti-bullying yang baru menyusul kasus dugaan perundungan di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbudristek Abdul Haris mengatakan, pihaknya menyiapkan Permendikbud anti-bullying baru agar kejadian perundungan serupa tidak terulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dan kami memiliki dasar hukum yang kuat dan sistematis dalam melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di lingkungan perguruan tinggi," imbuh Haris dalam rilis beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Kemendikbudristek sudah pernah mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan 31 Agustus 2021 yang menyasar kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Kemenkes akan usulkan ini
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, Kemenkes juga akan dilibatkan dalam penggodokan Permendikbud tersebut. Namun, sejauh ini, pembahasan belum sampai tahap Kemenkes memberikan usulan.
"Masih tahap awal sekali informasinya. Kita belum tahu seperti apa nanti bentuk peraturan perundangan atau pembahasannya ke depan," kata Nadia saat dihubungi, Senin 16 September 2024.
Nadia mengatakan, Kemenkes akan mengusulkan hal-hal untuk mengantisipasi terjadinya Perundungan di lingkungan PPDS. Hal-hal itu sudah tertuang dalam instruksi menteri kesehatan. "Nanti aturan-aturan itu yang disinergikan dalam aturan Permendikbud," kata Nadia.
Kemenkes akan mengusulkan supaya ada kerja sama atau perjanjian kerja antara rumah sakit vertikal -rumah sakit di bawah naungan Kemenkes- dengan fakultas kedokteran.
Jam kerja
Kerja sama ini misalnya, lanjut Nadia, dalam menentukan jam kerja mahasiswa PPDS sehingga tidak melebihi kapasitas.
"Dari situ hal-hal terkait misal pelayanan di Rumah Sakit berlebihan sehingga jam kerja melebihi kapasitas. Ini salah satu yang diatur. Ini juga salah satu upaya pencegahan perundungan," kata Nadia.
Nadia mengatakan, rencana itu didasarkan banyaknya mahasiswa PPDS yang bekerja melebihi kapasitas jam kerja. Dalam seminggu, mahasiswa PPDS bisa berkerja lebih dari 40 jam. Masalah jam kerja itu berbahaya bagi kesehatan mahasiswa.
"Jam kerja lebih tapi waktu istirahat sedikit," katanya.
Belum lagi, lanjut Nadia, mahasiswa PPDS selama bertugas melakukan berbagai macam pelayanan di RS. Mereka melakukan kegiatan berjaga hingga memberikan pelayanan di poliklinik. Namun, semua kegiatan itu tak mempertimbangkan jam kerja sesuai standar.
Karena itu, Kemenkes ingin mengatur jam kerja mahasiswa PPDS supaya sesuai standar. Kemenkes selama ini tak bisa mengatur jam kerja karena kewenangan itu dipegang oleh pihak FK sebuah kampus. Karena itu, kerja sama antara pihak rumah sakit dengan pihak FK diharapkan dapat membuat aturan jam kerja sesuai standar.
"Jam kerja tak diatur rumah sakit vertikal. Itu biasanya diatur oleh fakultas kedokterannya. Karena itu, kita ingin ada kerja sama," kata Nadia.
Sistem pembayaran
Nadia menambahkan, perjanjian kerja itu juga akan dibuat lebih jelas dan tegas, seperti sistem pembayaran ketika ada mahasiswa PPDS yang bekerja di rumah sakit vertikal.
"Misalnya apa yang harus dibayarkan ke Rumah Sakit vertikal pada saat menitipkan mahasiswa melakukan pendidikan di rumah sakit itu. Karena selama ini tidak jelas berapa yang harus dibayarkan," kata Nadia.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Kedokteran Undip Yan Wisnu Prajoko mengakui ada tindakan perundungan mahasiswa PPDS dalam pertemuan dengan Komisi IX DPR beberapa waktu lalu. Yan pun meminta maaf untuk itu.
Sejauh ini, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah telah memeriksa puluhan saksi terkait kasus kematian Aulia. Pemeriksaan ini merupakan tindak lanjut dari laporan keluarga korban atas perundungan yang dialami Aulia.
"Jadi laporan polisi yang disampaikan ke pihak kepolisian pertama adalah perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan, kemudian juga ada pemerasan," ucap Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah, Komisaris Besar Johanson Simamora, pada Kamis, 12 September 2024.
Polda Jawa Tengah juga mendalami hasil temuan investigasi Kementerian Kesehatan yang mengungkap adanya pemerasan Rp 20 juta hingga Rp 40 juta per bulan yang harus diserahkan Aulia sebagai bendahara mahasiswa PPDS untuk membiayai kegiatan mahasiswa senior.
FK Unpad juga telah menjatuhkan sanksi kasus bullying kepada 11 mahasiswa PPDS. Padahal fakultas telah membuat pakta integritas, tim, serta komisi anti perundungan sejak 2020. Namun hingga kini upaya pencegahan itu belum sanggup menihilkan perundungan.
Jamal Abdun Nashr berkontribusi dalam penulisan artikel ini.