SEKITAR tujuh ribu penduduk Kabupaten Aceh Utara, Minggu lalu, tumplek ke Desa Cot Plieng, Kecamatan Syamtalira Bayu. Yang mereka tunggu tak lama datang: 62 orang Jepang - semuanya sudah ubanan - turun dari dua bis turis. Tuan rumah pun bertepuk tangan: Dan orang-orang Jepang itu mengangguk-angguk, ke kiri dan ke kanan, sambil melontarkan senyum. Ada di antara mereka yang menangis. Para tamu dari Jepang itu segera diarak masuk ke kompleks masjid Syuhada, yang dihiasi umbul-umbul. Tak ada bendera Jepang di sana. Ketua Majelis Ulama Aceh, A. Hasjmi, menyambut tamunya dengan pidato. "Sekarang perdamaian orang Aceh dengan Jepang," kata Hasjmi. Lalu, Konsul Jenderal Jepang di Medan, Takashi Matsumura, dari mimbar yang sama, berbicara tak kalah lantang. "Landasan persahabatan Indonesia dengan Jepang semakin kukuh hari ini," kata Takashi. Hari itu masjid Syuhada dan pesantren Al Huda, yang berada di dalam satu kompleks seluas 60 kali 80 meter, diresmikan. Yoshiji Yokoe, 70, dan teman-temannya yang mengangguk-angguk tadi, datang dari Jepang untuk melihat masjid dan pesantren tersebut. Masjid dan pesantren itu mulai dibangun Maret 1988 dan selesai awal Juni lalu, dengan biaya Rp 82 juta, 95 persen di antaranya berasal dari bantuan Yoshiji Yokoe dan 2.794 temannya. Mereka semuanya, semasih muda, bertugas sebagai tentara Dai Nippon di Aceh. "Kami punya kenangan dalam di tempat ini," kata Yokoe kepada TEMPO. Sebagian penyumbang mengaku turut menghancurkan masjid, pesantren, dan bangunan lain di kompleks itu, semasa pendudukan Jepang. Tentara Jepang masuk Aceh pada 27 Maret 1942. Dengan bantuan Pemuda PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Jepang menaklukkan Belanda. Kerja sama dengan Jepang itu tidak disetujui sebagian ulama. Di antaranya Teungku Abdul Jalil, imam masjid dan pengelola pesantren di Cot Plieng yang tadi. Abdul Jalil sejak awal sudah menggambarkan bahwa Jepang lebih kejam dari Belanda, dan akan memaksa rakyat Aceh menyembah matahari sebagai pengganti kiblat. Abdul Jalil mengadakan dakwah anti-Jepang, dari desa ke desa di Aceh Utara, Agustus 1942. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan Jepang. Positif diketahui, Abdul Jalil berniat melakukan jihad fi sabilillah. Maka, Gubernur Militer Jepang di Aceh, Jenderal S. Iino, melakukan berbagai pendekatan. Iino gagal terus, hingga akhirnya memutuskan untuk melakukan sow of force di Desa Cot Plieng. Dia mengirim 100 tentara Jepang ke desa tersebut untuk menakut-nakuti. Namun, pengikut Abdul Jalil yang sudah siap tempur tak percaya. Mereka, seperti kata Machmud M. Shirakawa, seorang bekas opsir Jepang yang sampa sekarang jadi penduduk Aceh Utara, iz menganggap kedatangan ' tentara Jepang tersebut untuk menangkap Abdul Jalil. Begitu tentara Jepang masuk ke desa itu, 11 November 1942, sekitar 400 santri murid pesantren Al Huda keluar dari semak-semak dan menyerang. Pertempuran berlangsung dua hari. Menurut catatan Shirakawa, 4 tentara Jepang tewas, dan 32 orang luka kena bacok. Abdul Jalil, bersama 86 santri pengikutnya, meninggal. Masjid dan pesantren yang didirikan pada 1922 itu dibakar Jepang. Untuk mengenang pertempuran itu, pada 1979, di Cot Plieng didirikan Tugu Pahlawan. Tiga tahun yang lalu, masyarakat di desa itu berminat membangun masjid dan pesantren di lokasi yang sama. Masro Shirakawa, yang berganti nama menjadi Machmud Shirakawa setelah menjadi muslim yang turut diminta bantuannya, diam-diam mengirim surat kepada teman-temannya, bekas tentara Jepang yang pernah berpos di Aceh - termasuk yang menyerang kompleks tersebut. Sebagian bekas tentara itu kini menjadi pengusaha. Mereka tidak keberatan membantu. Luas masjid, yang semula 12 kali 16 meter, diperlebar menjadi 16 kali 19 meter, bercat putih dengan arsitektur Aceh. N. Ikegami, salah seorang tentara Jepang yang mengikuti acara itu, mengatakan, "Kami membantu karena rasa persaudaraan." Monaris Simangunsong & Makmun Al Muhajid (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini