Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Saya Hanya Mengikuti Teladan

Wawancara tempo dengan menkeh ismail saleh disekitar penerbitan buku "ketertiban dan pengawasan" karangan ismail saleh. ia bercerita banyak tentang masalah pengawasan dan pemberantasan korupsi.

25 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARANG ada pejabat tinggi yang sempat menulis buku. Apalagi menteri. Salah satu di antara yang sedikit itu ialah Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Bulan lalu bukunya yang berjudul Ketertiban dan Pengawasan diterbitkan oleh PT Gunung Agung. Menurut rencana, ini buku pertama dari empat seri. Buku setebal 110 halaman ini antara lain bercerita sekitar hakikat pengawasan, inspeksi mendadak (sidak), operasi meja bersih, upeti, pajak, dan korupsi. Pcrsiapan penulisan dilakukan sejak setahun silam. Penulisannya sendiri memakan waktu sebulan. "Buku ini mcmang tidak bermaksud menampilkan konsepsi, tapi menyampaikan apa yang pernah saya alami," ujar Ismail Saleh. Topik-topik itu intinya memang bersumber dari pcngalaman sang penulis sendiri. Sidak, misalnya, cukup populer setelah Ismail Saleh gemar mengunjungi kantor instansi bawahannya secara mendadak. Ia sendiri menolak bila disebutkan sidak (katanya istilah itu bikinan koran) adalah tcrobosan baru yang diterapkannya sebagai salah satu sistem mekanisme kontrol. Mengapa? "Karena Presiden Soeharto sudah lebih dulu melakukan sidak walau dengan istilah yang lain. Jadi, kalau istilah terobosan hcndak dipakai, maka Bapak Presiden sendirilah yang melakukan terobosan. Bukan saya. Saya hanya mengikuti teladan yang diberikan Bapak Soeharto," katanya. Pengalaman Ismail Saleh, 62 tahun, memang segudang. Daftar jabatan yang pernah dipegangnya panjang: Sekretaris Kabinet (1978). Lalu Pj. Ketua BKPM (1979-1981), jaksa agung (1981-1984), lalu menteri kehakiman sejak 1984 sampai sekarang. Ismail Saleh dikenal dekat dengan Wapres Sudharmono. Selain karena sesama alumni PTHM, mungkin karena selama sekitar 10 tahun ia berada di lingkungan Setneg yang dipimpin Sudharmono. "Pengalaman saya bekerja di bawah Pak Sudharmono memngaruhi kepribadian saya. Pak Dhar selalu mengajarkan pada saya agar dalam melaksanakan tugas itu jangan lupa check dan recheck. Itu bukan cerminan rasa tidak percaya kepada staf, tapi sebagai suatu unsur yang melekat pada pimpinan," katanya. Ismail Saleh sudah mengenal Sudharmono di masa revolusi fisik karena sama-sama bergabung dalam Resimen Ronggolawe. Dengan pangkat letnan muda, ia berada dalam pasukan yang dipimpin Letnan Sudharmono, yang bermarkas di Desa Marongsari, di lembah Gunung Sindoro dan Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah. Ketika pecah pemberontakan PKI di Madiun, 1948, di bawah pimpinan Sudharmono pasukan ini berjalan kaki dari Purwodadi menuju Pati aawa Tengah). "Kami bergerak pada malam hari mengejar PKI yang lari ke jurusan Pati," kata Ismail Saleh. Sebenarnya, bukan pertama kali ini Ismail Saleh menulis buku. Bersama Almarhum Nugroho Notosusanto (bekas Menteri P & K), ia pernah menulis buku dalam bahasa Inggris berjudul The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia. Isinya sekitar pemberontakan PKI 30 September 1965. "Kemampuan menulis saya peroleh ketika di Seskoad dan memimpin Antara," katanya. Pada 1976-1979, ia menjabat Pimpinan LKBN Antara. Masih sekitar penerbitan Ketertiban dan Pengawasan, pekan lalu wartawan TEMPO Agung Firmansyah mewawancarai Ismail Saleh, yang dikenal juga sebagai penggemar bonsai dan ayam bekisar. Berikut ini petikannya: Apa. yang mendorong Anda menulis dan menerbitkan buku itu? Pengalaman adalah guru yang terbaik. Tapi pengalaman saja tidak cukup bila tidak diimbangi dengan pengamalan. Karena itu, saya berpendapat apa yang saya alami perlu diamalkan dan disebarluaskan, dijadikan suatu bahan yang bermanfaat bagi orang lain. Selain itu, yang lebih mendorong saya lagi ternyata materi buku itu sampai sekarang dan tahun-tahun mendatang masih relevan. Bagaimana pula relevansi operasi meja bersih yang ada di buku itu? Kita mengharapkan adanya aparatur yang bersih dan berwibawa. Sebenarnya, bersih dan berwibawa itu tidak hanya terhadap aparatur saja, tapi kita semua. Tapi kita mulai dari aparatur untuk memberi keteladanan. Kita tidak bisa mendisiplinkan masyarakat bila kita sendiri tidak berdisiplin. Kita tidak bisa mengharapkan masyarakat tidak tercela kalau kita sendiri melakukan perbuatan tercela. Operasi meja bersih itu hakikatnya mendidik kita untuk berdisiplin dan bertindak bersih. Ketika kita pulang meninggalkan kantor, berkas-berkas tidak boleh berserakan di atas meia. Ada lemari dan filing cabnet yang blsa digunakan untuk menyimpan berkas-berkas, sehingga meja pada waktu ditinggalkan tetap bersih. 'Kan berkas-berkas itu adakalanya tak boleh diketahui oran lain. Tadi. ada jua faktor security-nya. Jika semua pegawai mengikuti itu, kelak yang bersih tidak sekadar meja mereka secara harfiah, tapi lebih dari itu, yaitu hatinya bersih. Tentang pemberantasan korupsi? Sejak Orde Baru lahir, pemberantasan korupsi sudah dilakukan. Masalah itu penting untuk diangkat dalam buku saya. Saya menginginkan agar anggaran pembangunan yang diperoleh dengan susah payah untuk meningkatkan kemakmuran rakyat tidak dikorup begitu saja. Ada yang mengatakan korupsi sudah membudaya di sini. Saya tak sependapat, karena ada usaha, tekad, dan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi. Pemerintah tidak setengah-setengah dalam soal itu. Korupsi bisa disebut membudaya bila memang tidak ada tindakan memberantas korupsi yang terjadi di mana-mana. Bangsa kita masih memiliki budaya luhur yang bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak. Di buku itu Anda menulis sinyalemen bahwa penyebab korupsi adalah adanya kesempatan dan gaji yang kurang. Persisnya bagaimana? Kesempatan itu terbuka bila pengawasan kendur. Dengan kendurnya pengawasan, seseorang akan mudah mengambil kesempatan dalam kesempitan. Gaji kecil sebetulnya bukan alasan yang kuat, faktor kesempatanlah sebenarnya yang paling utama, di samping mental dan moral. Sebab, orang mesti sadar bahwa kalau ia melakukan korupsi sama dengan mengurangi anggaran untuk gajinya. Makin sedikit orang korupsi maka anggaran dapat digunakan untuk menaikkan kesejahteraan pegawai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus