MIRIP pengobatan massal. Itulah suasana tutorial, pertemuan antara tutor dan mahasiswa Universitas Terbuka di Jakarta, Minggu lalu. Di lima tempat antara lain di UI Salemba, IKIP Rawamangun, Universitas Jakarta - 9.200 mahasiswa UT dari empat program studi diberi kesempatan menanyakan segala sesuatu tentang perkuliahan kepada 125 tutor. Di UI Salemba, misalnya, di ruang tutorial Matematika, seorang mahasiswa menanyakan soal tanens 180 derajat. "Wah, sudah lama tak membuka buku, lupa, ya," komentar T. Sutaryo, tutor Matematika. Lalu ia menjelaskan kedudukan sudut tangens dengan membuat gambar lingkaran yang dibagi empat sama besar di kertas kosong - ini sebenarnya termasuk matematika elementer. Tutorial ini, entah mengapa, tak dilengkapi dengan papan tulis. Tapi tak kurang mahasiswa yang menanyakan hal-hal yang berat, hingga tutor hampir kewalahan. "Tak semua pertanyaan mahasiswa mudah," kata seorang tutor, seorang dosen matematika di IKIP Rawamangun. Dari pengalaman pertama kali ini. sang tutor, yang sudah memberi kuliah matematika selama 10 tahun di IKIP, sadar bahwa ia pur perlu lebih mendalami mata kuliah yang dipegangnya. "Ada masukar timbal balik, saya senang,' katanya. Sistem tutorial yan diterapkan UT memang terbuka. Di tiap ruang 15 tutor duduk siap menerima mahasiswa. Sebenarnya, direncanakan tiap tutor bisa melayani berturut-turut tiga-tiga mahasiswa. Tapi entah sudah jadi kebudayaan kita yang sulit antre teratur, berjejal mahasiswa ingin saling mendului ketemu tutor. Padahal, tak ada ketentuan bahwa mahasiswa harus ketemu semua tutor. Mereka boleh memilih. Misalnya, boleh saja mahasiswa terus nongkrong di ruang tutorial Matematika selama empat jam. Boleh tanya terus, boleh cuma mendengarkan rekannya yang bertanya, boleh cuma bengong. Kenyataannya, UI Salemba yang paling dijejali mahasiswa adalah tutorial Matematika. Yang paling tidak laris, tutorial bahasa Indonesia. "Kami ini seperti dokter," kata Maryoto, dosen bahasa Indonesia di IKIP, yang menjadi tutor mata kuliah tersebut di UT. "Yang kesulitan yang datang kepada kami. Yang sudah menguasai bahan, tak perlu datang." Wawancara dengan sejumlah tutor beberapa mata kuliah menunjukkan bahwa, ternyata, mahasiswa banyak menanyakan konsep-konsep dasar. "Barangkali karena mereka sudah lama tak menyentuh buku, hingga harus mulai dari bab paling dasar," tutur Ibrahim Musa, tutor mata kuliah Statistika. Soalnya, memang sekitar dua ribu mahasiswa UT yang memenuhi UI Salemba, sekitar setengahnya memang sudah setengah baya, lama tak menyentuh bangku sekolah. Misalnya Walidoyo, 51, karyawan sipil Markas Besar Angkatan Laut. "Wah, ya, sulit. Pada zaman saya dulu belum ada matematika seperti sekarang," katanya. "Mereka yang baru lulus SMA tentunya mudah mengikuti modul matematika". Tapi Nita, lulusan SMA di Jakarta tahun ini, punya kesulitan mempelajari matematika. "Bab-bab dasar dari modul memang gampang," katanya. "Menginjak bab-bab selanjutnya, terasa rumit dan sulit." Ia memberi contoh bab yang membicarakan teori fungsi dan teori peluang. Tampaknya gadis ini punya kesulitan yang lebih mendasar. Yakni, ia mengaku tak biasa belajar hanya dengan membaca. Dulu di sekolah, katanya, selalu ada guru yang menjelaskan. "Untung," katanya, "ada kaset yang bahasanya lebih jelas dibandingkan dengan buku modul. Enak didengerin sambil tiduran." Lain lagi dengan Sukarman, yang merangkap kuliah - ia mahasiswa Akademi Kimia Analisis, Bogor. "Belajar lewat kaset terasa pasif, hanya mendengarkan. Lebih baik baca modul," katanya. Hikmahnya, sistem perkuliahan UT dengan buku modul dan kaset mencapai sasaran. Kedua cara itu saling melengkapi: ada yang lebih jelas dengan mendengarkan, ada yang lebih menangkap bila membaca. Adapun tutorial yang pertama di Jakarta im, di sampmg memberi kesempatan mahasiswa bertanya, uga sekalian memonitor kualitas modul dan kaset. Erwin Pardede, 40, presiden direktur PT Lanze, misalnya, punya kritik terhadap paket modul. Mahasiswa program Studi konomi & Studi Pembangunan ini, setelah membaca sejumlah modul, mengatakan, "Sistematikanya masih meloncat-loncat, kurang urut. Penjelasan terlalu ringkas dan kaku." Ia, yang sehari-hari berkecimpung dalam bidang jasa konstruksi, mengaku cepat lelah membaca modul yang kurang contoh-contoh kasus itu. Walidoyo, karyawan MBAL itu, pun mengakui bahwa beberapa penjelasan dalam modul tak jelas. "Misalnya tentang limit dan teori kemungkinan, kok, kurang saya pahami," kata bapak yang lulus SMA pada 1964 ini. Maka, hampir semua mahasiswa UT yang diwawancarai TEMPO sepakat, tutorial ini sangat bermanfaat bagi mereka. Pertemuan antara mahasiswa dan tutor boleh dikatakan berlangsung secara individual, hingga tiap mahasiswa bisa melontarkan persoalan masing-masing. Ruginya, dengan waktu yang dibatasi. yakni empat jam, sementara mahasiswa bergantian ketemu tutor, banyak mahasiswa mengulang pertanyaan yang pernah ditanyakan temannya yang leblh dulu ketemu tutor. Tutorial di Surabaya berlangsung empat hari, 21 sampai dengan 24 Oktober lalu. Lain dengan di Jakarta, di Surabaya ada absensi. Entah untuk apa absensi itu, karena tak ada kewajiban bagi mahasiswa UT untuk harus hadir. Yang jadi topik pembicaraan di Surabaya adalah modul Pengantar Sosiologi. Banyak mahasiswa mengeluh, dosennya tak siap menjawab. Ini memang baru semacam penjajakan bagaimana baiknya acara tutorial UT diselenggarakan. Yang jelas, harapan mahasiswa tutorial akan diselenggarakan sesering-seringnya sulit dilakukan. Rencana UT, tutorial hanya akan diadakan sebulan sekali. Sebab, bila sering ada tutorial, akhirnya bisa mirip universitas biasa. Lalu apa artinya "terbuka" nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini