Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pro Kontra Pilkada oleh DPRD, Cerita Eks Bupati Ditawari Modal dan Pendapat Pakar Unair

Sejak Prabowo mewacanakan pilkada kembali oleh DPRD seperti era Orde Baru, pro dan kontra muncul.

14 Desember 2024 | 15.47 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Surabaya - Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pemilihan kepala daerah kembali dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seperti masa Orde Baru. Alasannya, pilkada menelan biaya mahal jika memakai sistem pemilihan langsung seperti sekarang ini. Menurut Prabowo negara bisa menghemat triliunan rupiah jika pilkada dilakukan oleh DPRD. Anggaran tersebut, kata dia, bisa dialihkan untuk kepentingan lain yang lebih mendesak.

“Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” kata Prabowo dalam pidatonya pada Puncak Perayaan Hari Ulang Tahun Ke-60 Partai Golongan Karya di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024.

Prabowo juga menyinggung soal efisiensi jika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sebab, selain tidak boros anggaran, hal itu juga mempermudah transisi kepemimpinan. Dia mencontohkan dengan apa yang terjadi di sejumlah negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien seperti Malaysia. Bahkan juga India. Mereka sekali memilih anggota DPRD, ya sudah, DPRD itulah yang memilih gubernur, wali kota,” kata Prabowo.

Biaya pilkada yang harus dipikul calon memang tak dapat dipungkiri. Sehingga sebagian di antara mereka harus mencari modal sendiri untuk membiayai pencalonannya. Di saat-saat seperti itu, ada "spekulan" yang mendatangi calon untuk menawari modal.

Mantan Bupati Magetan, Jawa Timur, Suprawoto menceritakan pengalamannya ketika hendak mencalonkan diri pada 2018 lalu. Menurut Suprawoto banyak tamu bertandang ke rumahnya di Maospati menjelang pelaksanaan Pilkada 2018 itu. Salah seorang di antaranya menawari Suprawoto pinjaman uang untuk biaya proses pilkada, termasuk untuk kampanye dan “serangan fajar.”

“Tinggal bilang berapa yang saya butuhkan, akan dicukupi semua. Nanti bayarnya dijelaskan kemudian setelah pilkada selesai,” tutur Suprawoto saat dihubungi, Sabtu, 14 Desember 2024.

Gaya bicara tamu tersebut, kata Suprawoto, enak sekali didengar. Ia juga lihai memotivasi agar orang yang ditawari modal pilkada tergerak mau menerima. Namun saat ditanya asal-usul uang yang akan dipinjamkan itu, si tamu memberikan jawaban berbelit-belit.

“Jawabannya ngalor ngidul tidak jelas. Saya menyimpulkan dia hanya akan menipu,” kata Suprawoto. “Tawarannya langsung saya tolak.”

Selain model seperti itu, ada juga pihak menawari modal dengan minta agunan berupa sertifikat rumah atau pun tanah. Ketika calon yang dipinjami modal menang, maka ia harus bayar melalui proyek dari anggaran pemerintah dengan cara prosentase.

“Prosentasenya berapa, tergantung kesepakatan di awal. Jadi, ya kontraktor itulah yang membiayai seluruh pencalonan,” kata Suprawoto.

Suprawoto tidak mencalonkan diri lagi pada Pilkada 2024 meski elektabiltas dan popularitasnya sebagai inkumben masih sangat tinggi. Ia memilih menepi dari hiruk pikuk politik karena, salah satunya, melihat biaya pilkada yang makin edan-edanan. Pola-pola penawaran modal politik seperti yang ia alami pada 2018 itu dilihatnya marak. Bisa langsung atau pun melalui perantara.

Alasan lain memilih tidak maju karena Suprawoto merasa tak nyaman disetir oleh sejumlah pihak. “Lebih baik uang saya saya gunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial,” kata mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika itu.

Sungguh pun sadar bahwa pilkada langsung berbiaya tinggi, namun Suprawoto menilai mencari pemimpin dengan sistem seperti sekarang ini masih layak dipertahankan. Syaratnya, penegakan hukum harus dilaksanakan secara serius terhadap pelanggarnya. Bagi yang melanggar wajib kena penalti. “Syarat lainnya partai politik harus dibiayai negara seperti usulan KPK dulu,” kata dia.

Dosen Fakultas Hukum Tata Negara Universitas Airlangga M. Syaiful Aris mengatakan pembahasan pilkada langsung maupun sistem perwakilan harus didasarkan pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Pasal itu menyebutkan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, kata Aris, pilkada provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara “demokratis.” Penafsiran demokratis itu bisa dilaksanakan secara langsung maupun tak langsung. Frasa “dipilih secara demokratis” tidak harus dipilih secara langsung oleh rakyat.

“Tetapi dipilih secara tidak langsung pun (melalui DPRD) dapat diartikan demokratis sepanjang prosesnya demokratis,” kata mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Surabaya itu.

Sehingga, kata Aris, pilihan pelaksanaan pilkada bersifat open legal policy tergantung pada pembuat undang-undang (presiden dan DPR) untuk menafsirkan pilkada secara demokratis.

Pilihan Editor:  Ingatkan Tito Karnavian, Ganjar: Pilkada Lewat DPRD Rawan Suap

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini












 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus