Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sistem noken adalah sistem yang digunakan dalam Pemilu khusus untuk provinsi Papua. Noken menjadi bagian penting bagi Papua dalam Pemilu, terutama masyarakat yang berasal dari daerah pegunungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sistem noken dilakukan secara langsung dengan para pemimpin tradisional. Sebab, masyarakat Papua menjadi bagian dari masyarakat tradisional yang memberikan kepercayaan kepada pemimpin suku.
Sistem noken memiliki dua cara dalam pelaksanaannya. Pertama, noken big man. Berdasarkan bawaslu.go.id, sistem noken ini dilakukan dengan cara seluruh suara diserahkan atau diwakilkan kepada ketua adat. Sistem ini terjadi pada masyarakat Pegunungan Tengah atau dalam antropologi disebut tipe bigman.
Pada bahasa lokal menagawan, istilah tersebut dikenal dengan sebutan orang berwibawa yang meraih status sebagai pemimpin bukan karena warisan, melainkan atas dasar perilaku, tindakan, dan usaha.
Kedua, noken gantung. Sistem ini mengharuskan masyarakat setempat melihat kesepakatan dan ketetapan suara.
Meskipun terbagi menjadi dua cara, tetapi sistem noken memiliki makna yang sama. Sistem pemilihan noken menjadi simbol musyawarah tertinggi untuk penentuan pendapat di Papua tanpa rahasia dan lebih mementingkan musyawarah di dalam suku.
Sistem noken di Papua pertama kali dilangsungkan pada 2004 di 16 kabupaten. Adapun, terdapat beberapa alasan Pemilu dengan sistem noken diselenggarakan sebagai berikut:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Geografis
Jarak tempuh untuk mendistribusikan logistik pemilu dan tingkat kesulitan medan di daerah pedalaman Papua dinilai sangat rumit untuk diakses secara cepat. Topografi daerah dengan mayoritas bergunung terjal dan jurang tajam ditambah terbatasnya akses transportasi akan berdampak pada inkonsistensi Pemilu, terutama bagi pihak penyelenggara.
2. Sumber daya manusia
Alasan sistem noken dilakukan di Papua karena masyarakat di wilayah pegunungan belum tersentuh pendidikan. Selain itu, masyarakat di kampung pun masih hidup secara komunal dan tradisional sehingga belum memahami Pemilu secara valid tentang tujuan dan manfaat. Masyarakat tersebut perlu dituntun dan diarahkan melalui proses musyawarah bersama mengambil keputusan.
3. Sosial budaya
Secara sosial-budaya, masyarakat di pedalaman Papua menganut sistem politik tradisional atau bigman. Setiap keputusan dalam komunitas dilaksanakan secara kolektif kolegial. Misalnya, ketika ada suatu hal yang hendak dilaksanakan, masyarakat akan bermusyawarah, lalu setiap ide diakumulasi menjadi keputusan mutlak dan dinyatakan resmi oleh kepala suku.
Ketiga faktor tersebut membuat Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan nomor 47-81/PHPU-A-VII/ 2009 tentang Pemilu Sistem Noken di Papua. Sebab, MK memahami dan menghargai nilai budaya di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam Pemilu dengan sistem kesepakatan warga atau aklamasi.
Pada 2024, Kapolda Papua meminta mengurangi sistem noken dalam Pemilu. Kapolda telah memetakan 12 kabupaten di Provinsi Papua masuk ke dalam kategori rawan konflik selama Pemilu 2024. Inspektur Jenderal Mathius D. Fakhiri melihat sistem ini pemicu terjadinya konflik yang berpotensi menimbulkan korban jiwa. Adapun, kabupaten yang termasuk dalam daftar rawan konflik, antara lain Intan Jaya, Dogiyai, Deiyai, Puncak, Nduga, Lanny Jaya, Puncak Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Tolikara, dan Yalimo.
RACHEL FARAHDIBA R | EKA YUDHA SAPUTRA
Pilihan Editor: Permasalahan Sistem Noken dan Jejak Konflik Pemilu di Papua