Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia atau PSI Grace Natalie menyindir partai-partai politik yang berlabel nasionalis tapi malah mendukung peraturan daerah (perda) syariah yang diskriminatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga: PDIP: Pernyataan Grace Natalie PSI Ngawur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bagaimana mungkin disebut partai nasionalis, kalau diam-diam menjadi pendukung terbesar Perda Syariah?" kata Grace dalam pidatonya di acara Festival 11 di Medan, Senin, 11 Maret 2019 yang dikutip dari laman resmi PSI.
Dalam pidatonya, Grace mengutip hasil studi Michael Buehler dalam bukunya yang berjudul “The Politics of Shari’a Law: Islamist Activists and the State in Democratizing Indonesia” yang terbit pada 2016. Menurut Grace, Buehler merupakan guru besar ilmu politik di Nothern Illinois University.
Grace lalu mengutip hasil penelitian Buehler yang menyimpulkan bahwa partai yang mengaku berlabel nasionalis seperti PDI Perjuangan dan Golkar terlibat aktif dalam merancang, mengesahkan, dan menerapkan Perda-perda Syariah di seluruh Indonesia.
Tak hanya Buehler, Grace juga mengutip hasil penelitian Robin Bush yang menurut dia menyimpulkan hal yang sama. "Ini bukan saya lho yang bilang. Saya hanya membacakan kesimpulan riset ilmiah," kata Grace.
Michael Buehler yang dikutip Grace ini pernah menulis hal serupa di Majalah Tempo edisi 26 Agustus 2011, lima tahun sebelum bukunya terbit. Dalam kolom bertajuk "Partainya Sekuler, Aturannya Syariah" Buehler menulis, hasil penelitiannya tentang perda syariah menunjukkan bukan partai Islam yang memisahkan diri dari tradisi sekuler di Indonesia.
Sebaliknya, para politikus yang berafiliasi dengan partai sekuler dan punya karir panjang di birokrasi termasuk di TNI dan Kepolisian, seperti Golkar dan PDIP, merekalah yang merancang, mengadopsi, dan menerapkan perda-perda syariah.
Menurut Buehler ketika itu, 7 dari 33 provinsi dan 51 dari sekitar 510 kabupaten mengadopsi sekurangnya satu perda syariah dari 1999 hingga 2009. Di DPRD di semua provinsi, yang paling getol mengadopsi perda syariah adalah Fraksi Golkar dan Fraksi PDIP—kecuali di Provinsi Aceh. "Polanya rata-rata sama untuk wilayah administrasi di bawah provinsi," tulis Buehler.
Buehler mengatakan, Partai Golkar yang berjaya pada Pemilu 2004, menang dengan suara mayoritas dalam pembahasan rancangan perda syariah di empat kabupaten. Partai itu pun menang dengan dukungan fraksi lain di sepuluh kabupaten.
Dia mengatakan hal yang sama terjadi pada PDIP. Dengan dukungan fraksi lain, PDIP, yang menang pada Pemilu 1999, memperjuangkan penerapan perda syariah di delapan kabupaten. Dua partai Islam, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan, meraup suara terbanyak dalam Pemilu 2004 di tujuh kabupaten. Kedua partai ini berhasil menelurkan perda-perda syariah di wilayah kabupaten itu pada 2004-2009.
Adapun Partai Keadilan Sejahtera yang konon dianggap biang penerapan perda syariah, kata Buehler, tak punya suara mayoritas ataupun pluralitas di satu DPRD pun—yang menerapkan perda syariah. "Singkatnya, partai sekulerlah yang mendominasi parlemen daerah dalam menerbitkan perda syariah," ucap Buehler.
Buehler juga meneliti latar belakang dan afiliasi kepartaian pemimpin eksekutif di daerah. Temuannya, kebanyakan DPRD di Indonesia lemah dan sering tak punya kapasitas membuat rancangan perda, termasuk rancangan perda syariah.
Namun kata Buehler, datanya menunjukkan 63 dari kepala pemerintahan daerah menandatangani dan menerapkan sekurangnya satu perda syariah sejak 1999 hingga 2009. Dari 63 itu, 37 di antaranya adalah birokrat yang berafiliasi dengan Golkar.
Dalam Majalah Tempo edisi 29 Agustus 2011 tersebut, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ketika itu, Djohermansyah Johan menyampaikan temuan timnya terkait perda syariah. Dia mengatakan terbitnya peraturan syariah sarat dengan kepentingan politik lokal.
Menurut Djohermansyah, hanya Aceh yang sah menerbitkan peraturan sejenis itu karena memiliki payung hukum berupa Undang-Undang Keistimewaan Aceh. Daerah lain tak bisa menerbitkan peraturan berbasis aturan agama karena kewenangan itu merupakan wilayah pemerintah pusat. Dia berujar peraturan syariah di sejumlah provinsi di luar Aceh tidak sah karena menabrak Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Djohermansyah mengemukakan, dari hasil penelusuran kementeriannya, lahirnya sejumlah peraturan syariah itu merupakan alat politik bupati atau wali kota untuk pemilihan berikutnya. Aturan itu, kata dia, diterbitkan untuk menunjukkan bupati atau wali kota yang bersangkutan peduli dan membela kepentingan agama di daerahnya.
Fenomena ini paling banyak terjadi di daerah yang fanatisme agamanya kuat, seperti Jawa Barat, Sumatera Barat, Banten, dan Kalimantan Selatan. "Tujuannya untuk mendulang suara," ujarnya dikutip dari Majalah Tempo, 29 Agustus 2011.
PSI menuai kritik dari partai-partai nasionalis akibat sindiran Grace Natalie itu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang satu gerbong dengan PSI mendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin di pemilihan presiden 2019, menampik tuduhan itu.
"Pernyataan itu ngawur. Soal Perda Syariah, kami selalu bergulat menegakkan nilai-nilai ke-Indonesiaan dan nilai Pancasila. Hanya saja kami sering kalah kalau keputusan diambil dengan voting," kata Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno, Selasa, 12 Maret 2019.
Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra Andre Rosiade menyebut ucapan Grace hanya untuk mencari sensasi. Dia menilai PSI mencari panggung untuk mengerek elektabilitas di pemilihan legislatif 2019.
"Jadi Grace selalu mengeluarkan statement-statement yang kontroversial, yang memang ingin ditanggapin, mendapat panggung. Ini strategi dia," kata Andre kepada Tempo, Selasa, 12 Maret 2019.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | DIAS PRASONGKO | DEWI NURITA | RYAN DWIKY