Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog Pendidikan Tantri Rahmawati mengatakan penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA dapat mempengaruhi jumlah kebutuhan guru. Sebabnya, siswa dapat bebas memilih mata pelajaran setiap tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi atau Kemendikbudristek ini akan diterapkan mulai tahun ajaran 2024/2025. Sementara, guru harus memenuhi syarat ketentuan 24 jam pelajaran (24JP) sebagai persyaratan sertifikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Tantri, kebijakan tersebut menyulitkan sebagian besar guru. Ketika aturan itu tidak dipenuhi, secara otomatis guru tidak akan menerima tunjangan profesi. "Apakah hal ini salah guru? Jika mereka tidak dapat memenuhi ketentuan 24JP untuk mata pelajarannya, padahal semua guru multi talenta untuk mengajar mata pelajaran apapun, demi terlaksananya pembelajaran dengan baik," kata dia kepada Tempo, Ahad, 21 Juli 2024.
Guru bimbingan konseling di SMA Negeri 1 Taman Sidoarjo itu berujar, seharusnya tunjangan profesi menjadi bagian melekat bagi guru yang sudah mendapatkan sertifikat sebagai guru profesional. "Sayangnya penghargaan guru masih dibatasi dengan jumlah jam mengajar yang sifatnya kuantitatif bukan karena kualitasnya," lanjut Tantri.
Dihubungi secara terpisah, Pengamat Pendidikan Bukik Setiawan mengimbau agar Kemendikbudriset menyiapkan level persiapan. Pertama, kesiapan pemerintah daerah atau dinas pendidikan selaku pengelola guru dan sekolah.
"Pemda perlu membantu sekolah siap melakukan perubahan kurikulum sesuai kondisi sekolah," ucap Bukik lewat pesan WhatsApp pada Ahad, 21 Juli 2024.
Kedua, kata dia, kesiapan sekolah untuk mengubah pola pembelajaran mereka. "Sekolah melakukan asesmen minat bakat, konsultasi karier murid dan memetakan kebutuhan berdasarkan pilihan karier murid," lanjut Bukik.
Ketua Yayasan Guru Belajar itu menilai penghapusan jurusan justru membuat murid bisa memilih mata pelajaran yang paling relevan dengan jurusan kuliah yang ditujunya. Menurut dia, kebijakan itu sudah tepat karena menghapus stigma adanya jurusan yang mengekang murid.