Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pungutan-pungutan itu

Truk pengangkut pasir enggan memasuki jl karawang- rengasdengklok, karena banyak pungutan liar. dikhawatirkan mematikan nafkah pencari pasir. kabarnya dana hasil pungutan digunakan untuk perbaikan jalan. (dh)

5 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PALING sedikit ada 3 alasan, mengapa truk-truk pengangkut pasir enggan memasuki jalan raya Karawang-Rengasdengklok. Pertama, jalan kabupaten yang panjangnya kl.19 Km itu, tak kurang dari 14 Km rusak berat. Di mulut jalan, begitu akan masuk, kerusakan-kerusakan sudah kelihatan. Lalu sekurangnya 3 pos penjagaan, akan memaksa para supir merogoh kantong membayar Rp 750 untuk satu pos. Belum lagi buang waktu dan tenaga. Di Rengas, belum tentu mereka bisa mengambil pasir, karena tak jarang pangkalan pasir kosong. Apalagi di musim panen seperti sekarang ini, karena kebanyakan penggali pasir adalah petani atau buruh tani. Keluhan panjang pun meluncur dari mulut para supir dan pengusaha pasir. "Pungutan-pungutan itu jelas akan mematikan sumber nafkah anak negeri", ujar Syukri Said, seorang pengusaha pasir di kawasan Karawang. Syukri sendiri akibat ketiga hal tadi kini sudah menghentikan usahanya untuk sementara. Beberapa temannya yang bergabung di salah satu pangkalan kawasan Amansari pun menyetop usahanya--entah sementara atau seterusnya. Dan hingga hari-hari ini, kerumunan orang-orang tak punya kerja kerap kelihatan di sana. Rata-rata 2 orang bekerja menggali pasir untuk 1 perahu sepanjang kl. 5M dengan isi pasir. kl. 3 kubik. Dari perahu ke tempat pengumpulan pasir diangkut oleh 3-4 orang. Belum lagi yang mengangkuti ke atas truk yang memuat rata-rata 5 kubik. Beralasan bila sang pengusaha mengkaitkannya dengan kehidupan nafkah anak negeri. Di lain fihak, para pengusaha toh tak keberatan membayar sesuatu iuran untuk kepentingan kas pemerintah daerah. Tapi mereka terpaksa agak menampiknya, kalau terasa tak wajar. Seperti yang terjadi di kawasan jalan raya Karawang-Rengasdengklok itu. Para pengemudi truk itu selain membayar Rp 750 untuk pungutan yang dilakukan Pemda Karawang (dilaksanakan oleh DLLAJ dan Dinas Pajak & Pendapatan Daerah) juga harus membayar pungutan di sebuah pos antara pos DLLAJ di Tanjung Pura (persimpangan jalan raya Karawang-Rengasdengklok) dan Pos Kooperasi SPGR. Sementara itu para pengusaha masih harus membayar pungutan lagi untuk Koperasi SPGR (yang di dalamnya juga termasuk pungutan Pemda sebesar Rp 25). Selain itu para supir truk harus pula merogoh kantong buat pungutan sepanjang jalan raya Karawang-Jakarta (kebanyakan pasir itu diangkut ke Jakarta, tentu saja), yang menurut seorang pengusha tak kurang dari 5 pungutan. Yang terkenal antara lain di Pondong Ungu dan Bekasi (2 kali, resmi dan tak resmi). Ondia Tapi apa komentar orang kabupaten Karawang? "Pemda cuma memungut retribusi satu kali. Yaitu yang dilakukan oleh DLLAJR dan Dinas Pajak dan Pendapatan Daerah, sebesar Rp 750", ujar Y. Ondia, Kepala Humas Pemda Kabupaten Karawang. Ondia yang Kapten itu menjelaskan kepada DS Karma dari TEMPO bahwa pungutan tersebut sesuai dengan peraturan daerah (Perda) tentang perpasiran. Ondia tak berhasil memperlihatkan peraturan daerah itu tapi menambahkan, "Rp 750 itu setelah Perdanya mengalami perobahan sejak Maret lalu, karena sebelumnya cuma Rp 150" Tentang pungutan SPGR dan pungutan lain. "di luar pengetahuan Pemda". Tapi koperasi SPGR sendiri meskipun usaha swasta, diakuinya, menambah pendapatan Pemda. "Terserah yang bersangkutan, setuju atau tidak dengan pungutan SPGR", tambah Ondia. Ia menolak menyebutkan berapa banyak kas Pemda bertambah dari pungutan SPGR yang didirikan atas prakarsa Mayor Sobri, eks Kas Dim Karawang yang kini bertugas di Indramayu. "Tergantung manfaatnya", jawab seorang pengusaha tentang SPGR, yan kini sudah jadi badan hukum dan lepas hubungnnya dengan Kodimd Karawang. Kas Dim yang sekarang, Mayor A. Sukarno, tak lagi turut mengurus itu koperasi. Tapi konon manfaatnya tak banyak selain mengurangi pungutan liar yang dulu merajalela di pangkalan-pangkalan pasir. Koperasi yang kini dipimpin Letkol Banjar itu, menghimpun 514 atau 90% dari jumlah pengusaha di seluruh Karawang. SPGR memungut Rp 150 per M3 dari pengusaha/pangkalan pasir, termasuk Rp 25 retribusi "bahan bangunan" Pemda. "Kami dipercayakan melaksanakan retribusi tersebut", begitu kata Banjar. Jadi yang masuk koperasi Rp 125, yang menurut Zainal Mustakim Ketua Harian SPGR, diperuntukkan "dana pembangunan" (termasuk perbaikan jalan desa) sebesar Rp 50, izin usaha, pajak-pajak. Dan sisanya Rp 75 untuk segala macam dana (gaji karyawan, keamanan, pembangunan daerah kerja'dan lain-lainnya). Dan 30% dari Rp 75 itu setiap 3 bulan dikembalikan kepada pengusaha. Bagaimana praktek penggunaan pungutan itu? "Perbaikan jalan desa, kami lakukan sendiri", tutur seorang pengusaha. "Kalau ada penggantian, pelaksanaannya seret". Sedang jalan kabupaten Karawang-Rengasdengklok yang rusak berat, menurut Mustakim, "bukan wewenang SPGR untuk memperbaikinya". Tapi menurut Ondia, Humas Kabupaten Karawang tadi, "akan diperbaiki tahun ini juga dengan dana Inpres. Kareana dana masyarakat tak mencukupi". Tak jelas bagaimana Ondia menghitung biaya. Yang jelas: sejak September 74 s/d April 1975 SPGR pernah menyetor Rp 28 juta dari hasil pungutan pasir itu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus