PALING sedikit ada 3 alasan, mengapa truk-truk pengangkut pasir
enggan memasuki jalan raya Karawang-Rengasdengklok. Pertama,
jalan kabupaten yang panjangnya kl.19 Km itu, tak kurang dari 14
Km rusak berat. Di mulut jalan, begitu akan masuk,
kerusakan-kerusakan sudah kelihatan. Lalu sekurangnya 3 pos
penjagaan, akan memaksa para supir merogoh kantong membayar Rp
750 untuk satu pos. Belum lagi buang waktu dan tenaga. Di
Rengas, belum tentu mereka bisa mengambil pasir, karena tak
jarang pangkalan pasir kosong. Apalagi di musim panen seperti
sekarang ini, karena kebanyakan penggali pasir adalah petani
atau buruh tani.
Keluhan panjang pun meluncur dari mulut para supir dan pengusaha
pasir. "Pungutan-pungutan itu jelas akan mematikan sumber nafkah
anak negeri", ujar Syukri Said, seorang pengusaha pasir di
kawasan Karawang. Syukri sendiri akibat ketiga hal tadi kini
sudah menghentikan usahanya untuk sementara. Beberapa temannya
yang bergabung di salah satu pangkalan kawasan Amansari pun
menyetop usahanya--entah sementara atau seterusnya. Dan hingga
hari-hari ini, kerumunan orang-orang tak punya kerja kerap
kelihatan di sana.
Rata-rata 2 orang bekerja menggali pasir untuk 1 perahu
sepanjang kl. 5M dengan isi pasir. kl. 3 kubik. Dari perahu ke
tempat pengumpulan pasir diangkut oleh 3-4 orang. Belum lagi
yang mengangkuti ke atas truk yang memuat rata-rata 5 kubik.
Beralasan bila sang pengusaha mengkaitkannya dengan kehidupan
nafkah anak negeri. Di lain fihak, para pengusaha toh tak
keberatan membayar sesuatu iuran untuk kepentingan kas
pemerintah daerah. Tapi mereka terpaksa agak menampiknya, kalau
terasa tak wajar. Seperti yang terjadi di kawasan jalan raya
Karawang-Rengasdengklok itu. Para pengemudi truk itu selain
membayar Rp 750 untuk pungutan yang dilakukan Pemda Karawang
(dilaksanakan oleh DLLAJ dan Dinas Pajak & Pendapatan Daerah)
juga harus membayar pungutan di sebuah pos antara pos DLLAJ di
Tanjung Pura (persimpangan jalan raya Karawang-Rengasdengklok)
dan Pos Kooperasi SPGR.
Sementara itu para pengusaha masih harus membayar pungutan lagi
untuk Koperasi SPGR (yang di dalamnya juga termasuk pungutan
Pemda sebesar Rp 25). Selain itu para supir truk harus pula
merogoh kantong buat pungutan sepanjang jalan raya
Karawang-Jakarta (kebanyakan pasir itu diangkut ke Jakarta,
tentu saja), yang menurut seorang pengusha tak kurang dari 5
pungutan. Yang terkenal antara lain di Pondong Ungu dan Bekasi
(2 kali, resmi dan tak resmi).
Ondia
Tapi apa komentar orang kabupaten Karawang? "Pemda cuma memungut
retribusi satu kali. Yaitu yang dilakukan oleh DLLAJR dan Dinas
Pajak dan Pendapatan Daerah, sebesar Rp 750", ujar Y. Ondia,
Kepala Humas Pemda Kabupaten Karawang. Ondia yang Kapten itu
menjelaskan kepada DS Karma dari TEMPO bahwa pungutan tersebut
sesuai dengan peraturan daerah (Perda) tentang perpasiran. Ondia
tak berhasil memperlihatkan peraturan daerah itu tapi
menambahkan, "Rp 750 itu setelah Perdanya mengalami perobahan
sejak Maret lalu, karena sebelumnya cuma Rp 150" Tentang
pungutan SPGR dan pungutan lain. "di luar pengetahuan Pemda".
Tapi koperasi SPGR sendiri meskipun usaha swasta, diakuinya,
menambah pendapatan Pemda. "Terserah yang bersangkutan, setuju
atau tidak dengan pungutan SPGR", tambah Ondia. Ia menolak
menyebutkan berapa banyak kas Pemda bertambah dari pungutan SPGR
yang didirikan atas prakarsa Mayor Sobri, eks Kas Dim Karawang
yang kini bertugas di Indramayu.
"Tergantung manfaatnya", jawab seorang pengusaha tentang SPGR,
yan kini sudah jadi badan hukum dan lepas hubungnnya dengan
Kodimd Karawang. Kas Dim yang sekarang, Mayor A. Sukarno, tak
lagi turut mengurus itu koperasi. Tapi konon manfaatnya tak
banyak selain mengurangi pungutan liar yang dulu merajalela di
pangkalan-pangkalan pasir. Koperasi yang kini dipimpin Letkol
Banjar itu, menghimpun 514 atau 90% dari jumlah pengusaha di
seluruh Karawang. SPGR memungut Rp 150 per M3 dari
pengusaha/pangkalan pasir, termasuk Rp 25 retribusi "bahan
bangunan" Pemda. "Kami dipercayakan melaksanakan retribusi
tersebut", begitu kata Banjar. Jadi yang masuk koperasi Rp 125,
yang menurut Zainal Mustakim Ketua Harian SPGR, diperuntukkan
"dana pembangunan" (termasuk perbaikan jalan desa) sebesar Rp
50, izin usaha, pajak-pajak. Dan sisanya Rp 75 untuk segala
macam dana (gaji karyawan, keamanan, pembangunan daerah
kerja'dan lain-lainnya). Dan 30% dari Rp 75 itu setiap 3 bulan
dikembalikan kepada pengusaha.
Bagaimana praktek penggunaan pungutan itu? "Perbaikan jalan
desa, kami lakukan sendiri", tutur seorang pengusaha. "Kalau ada
penggantian, pelaksanaannya seret". Sedang jalan kabupaten
Karawang-Rengasdengklok yang rusak berat, menurut Mustakim,
"bukan wewenang SPGR untuk memperbaikinya". Tapi menurut Ondia,
Humas Kabupaten Karawang tadi, "akan diperbaiki tahun ini juga
dengan dana Inpres. Kareana dana masyarakat tak mencukupi". Tak
jelas bagaimana Ondia menghitung biaya. Yang jelas: sejak
September 74 s/d April 1975 SPGR pernah menyetor Rp 28 juta dari
hasil pungutan pasir itu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini