Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Putusan Mahkamah Konstitusi Ditabrak

Pemerintah dinilai telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian formil Undang-Undang Cipta Kerja. Perlu ada upaya hukum agar hak-hak konstitusional publik terlindungi.

22 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal) menemukan pelanggaran atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengujian formil omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Pelanggaran itu khususnya tentang penundaan kebijakan strategis dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan UU Cipta Kerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Perbaikan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan pertimbangan MK," kata penasihat senior Indonesia Human Rights Committee for Social Justice, Gunawan, dalam konferensi pers, Rabu, 21 Desember 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gunawan mengatakan pemerintah memang telah mengevaluasi penerapan UU Cipta Kerja. Namun upaya perbaikan sama sekali tidak mengandung dua hal, yakni perbaikan materiil seperti yang dikeluhkan masyarakat dan ketiadaan partisipasi publik secara bermakna.

Setahun yang lalu, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat. Dalam putusan tersebut, pemerintah diberi dua mandat. Pertama, pemerintah dan DPR diberi waktu dua tahun untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Perbaikan meliputi formil dan materiil atau materi yang dikeluhkan pemohon uji formil UU Cipta Kerja. Kedua, pemerintah diharuskan menunda kebijakan strategis dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan UU Cipta Kerja.

Kepal menilai, meski ada putusan MK, pemerintah ternyata tetap menjalankan kebijakan strategis. Misalnya, ihwal peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; ketenagakerjaan; kemudahan perlindungan serta pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM); kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; pengadaan tanah; kawasan ekonomi; investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional; pelaksanaan administrasi pemerintahan; serta pengenaan sanksi.

Faktanya, pemerintah pusat dan kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, masih menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. "Semua itu membawa dampak ke masyarakat," ujar Gunawan.

Aktivitas alat berat dan armada angkutan material galian C di kawasan hutan Baitussalam, Aceh Besar, Aceh, 14 Juli 2020. ANTARA/Irwansyah Putra

Misalnya, Gunawan melanjutkan, aturan itu berdampak pada penyelesaian konflik agraria, terutama dalam masalah kehutanan dan perkebunan. Ada juga dampak kewenangan kelembagaan yang tumpang-tindih, misalnya antara Gugus Tugas Reforma Agraria dan Bank Tanah. Tumpang-tindih kewenangan juga terjadi antara Badan Pangan Nasional dan Kementerian Perdagangan akibat peraturan presiden ihwal neraca komoditas.

Di sektor kehutanan, pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Sri Palupi, peneliti dari Institute for Ecosoc Rights, mengatakan terjadi resentralisasi dalam tata kelola kehutanan. "Terjadi perubahan fungsi dan peran yang sangat menonjol dari KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan). Itu menjadi sepenuhnya administrasi," kata Palupi.

Dampaknya, semangat KPH untuk mengelola hutan di tingkat tapak merosot. Bahkan, untuk melelang kayu hasil curian, KPH sudah tak punya lagi kewenangan. Pengawasan dalam tata kelola hutan pun menjadi lemah. "Dengan UU Cipta Kerja, pengawasan diambil alih oleh pusat," ujar dia.

Kebijakan itu membuat praktik illegal logging dan illegal mining meningkat tajam. Kerusakan hutan telah terlihat di kawasan hulu. Kondisi itu terlihat jelas di Sulawesi Tengah. "Makin jauh dari pengawasan, tentu tata kelola kehutanan menjadi makin buruk dengan dilaksanakannya UU Cipta Kerja," ucap Palupi.

Di sektor pertanian dan pangan, Kepal mendapati terjadi tumpang-tindih antara sistem informasi pangan yang merupakan kewenangan Badan Pangan Nasional dan sistem neraca pangan. Begitu juga yang terjadi pada tahap karantina.

Di sektor ketenagakerjaan, penetapan upah sudah ditentukan pemerintah pusat. Karena itu, posisi buruh di hadapan perusahaan menjadi lemah dan terbuka peluang eksploitasi. Pelindungan hak-hak normatif buruh akan sulit diwujudkan.

Kepal memandang perlu dilakukan pengaduan konstitusional berdasarkan hasil pemantauan pelanggaran putusan MK dalam perkara pengujian formil UU Cipta Kerja. Sayangnya, belum ada mekanisme hukum pengaduan konstitusional di Indonesia. Namun wacana hukum ini harus diupayakan agar hak-hak konstitusional publik terlindungi.

"Pengaduan konstitusional ini adalah upaya terobosan hukum sebagai upaya pembaruan hukum yang berpihak pada hak-hak konstitusional," kata ketua tim kuasa hukum Kepal, Janses E. Sihaloho.

Naskah final Omnibus Law UU Cipta Kerja yang akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 14 Oktober 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Adapun 18 organisasi yang bergabung dalam Kepal antara lain Aliansi Organisasi Indonesia (AOI), Aliansi Petani Indonesia (API), Bina Desa, FIAN Indonesia, FIELD Indonesia (Yayasan Daun Bendera Nusantara), dan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS). Selain itu, ada Indonesia for Global Justice (IGJ), Institute for Ecosoc Rights, Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (Jamtani), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA), dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Ada juga Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Sawit Watch (SW), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).

Dalam kesempatan berbeda, pemerintah menyatakan akan terus mensosialisasi UU Cipta Kerja. Ketua Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja, Suahasil Nazara, mengklaim, setiap kali pemerintah melakukan sosialisasi, 70 persen audiens percaya bahwa undang-undang ini akan mengubah Indonesia dan memberi manfaat. Kemudian sekitar 49 persen audiens menilai perlu ada perbaikan UU Cipta Kerja. "Saya yakin yang harus diperbaiki adalah cara birokrasi menjalankan UU Cipta Kerja dan seluruh aturan turunannya," ujar Suahasil dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2023 yang disiarkan secara virtual.

Suahasil juga mengatakan pemerintah menerima masukan-masukan dari berbagai stakeholder mengenai implementasi UU Cipta Kerja. Penjaringan masukan itu dilakukan di tingkat kementerian, lembaga, dan daerah. Tahun ini saja, Suahasil sudah mendatangi 11 kota untuk menjaring aspirasi. "Memang seharusnya partisipasi masyarakat itu diperhatikan oleh yang bikin undang-undang," kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid, mengatakan dunia usaha mendukung hadirnya UU Cipta Kerja. Menurut dia, UU Cipta Kerja merupakan jawaban bagi tantangan di dunia usaha meskipun belum sempurna. "Ini (UU Cipta Kerja) suatu hal yang saya tidak pernah terpikirkan bisa terjadi di Indonesia, tapi PR-nya masih banyak," kata Arsjad.

HENDARTYO HANGGI | ADYA NURUL ALYZA LAKSONO (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus