Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Kepala Subbidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur, Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Devy Kamil Syahbana mengatakan, energi thermal erupsi yang terjadi di Gunung Agung sejak 27 Juni 2018 hingga saat ini terpantau paling besar sejak serangkaian proses erupsi gunung tersebut sejak 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami merekam luar biasa, sampai di atas 318 mega watt energi thermal yang terekam, paling besar dibandingkan dengan energi thermal selama masa erupsi dari tahun 2017-2018,” kata Devy saat dihubungi Tempo, Jumat, 29 Juni 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Devy mengatakan, energi thermal selama proses erupsi sebelumnya sejak tahun 2017 terekam paling tinggi hanya 97 mega watt. PVMBG menganalisa energi thermal tersebut bersumber dari foto Satelit Modis milik NASA. Citra satelit tersebut merekam hotspot atau titik panas di dalam kawah Gunung Agung hari ini, Jumat, 29 Juni 2018.
Proses erupsi Gunung Agung yang terjadi sejak 27 Juni 2018 pukul 22.00 WITA tersebut masuk dalam kategori erupsi efusi atau aliran lava. “Erupsi ini terjadi berupa aliran magma yang naik ke permukaan,” kata dia.
Devy mengatakan, magma yang mengalir ke permukaan tersebut memenuhi kawah Gunung Agung. ”Akibat erupsi kemarin sudah terisi 20 juta meter kubik, kemungkinan sekarang tejradi pertumbuhan kubah lava, artinya lava tersebut mengisi kolam kawah,” kata dia. Energi thermal hingga 819 mega watt itu yang menjadi penanda erupsi efusi tersebut.
Tanda erupsi efusi itu diperkuat dengan abu yang dihasilkan letusan Gunung Agung dalam dua hari terakhir ini termasuk halus. “Karena abunya terlalu halus, justru bisa bertahan lama di udara,” kata Devy.
Devy mengatakan, PVBMG belum bisa menaksir aliran lava yang keluar karena harus melakukan pemeriksaan visual kondisi kawah. Namun hal itu belum bisa dilakukan jika proses erupsi masih berlangsung.
Meski begitu, Devy mengatakan erupsi efusi bukan hal luar biasa yang terjadi di Gunung Agung. "Ini salah satu karakter Gunung Agung. Erupsi tahun 1963 juga mengahasilkan aliran lava,” kata dia.
Status aktivitas Gunung Agung saat ini masih dipertahankan di level III atau Siaga, dengan daerah yang dinyatakan berbahaya dan tidak boleh dimasuki manusia dalam radius 4 kilometer. Status aktivitas seismik Gunung Agung saat ini relatif menurun setelah sebelumnya sempat melonjak. Kolom asap di Gunung Agung masih setinggi 1.500 meter sampai 2.000 meter. "Asapnya masih tinggi,” kata dia.
Devy mengatakan aktivitas seismik yang tiba-tiba anjlok disertai dengan tingginya kolom asap menjadi penanda sistem Gunung Agung sudah terbuka. "Jalur magma sudah terbuka ke atas sehingga friksi gesekannya antar partikel berkurang. Kalau berkurang friksinya, amplitudo seismiknya berkurang," kata dia.
Dengan sistem yang sudah terbuka seperti ini, kata Devy, potensi terjadinya letusan ekplosif Gunung Agung masih terbuka jika terjadi penyumbatan aliran magma. “Potensi bahaya yang mungkin terjadi itu lontaran material pijar, batu, hujan abu sampai hujan pasir lebat,” kata dia.
Devy pun meminta warga tidak perlu panik. “Gunung Agung saat ini dalam kondisi dinamis. Belum perlu panik, tapi bukan berarti terlalu santai karena ini masih dalam fase erupsi. Dalam fase erupsi ini terap harus selalu siaga,” kata dia.