Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Ragam Pasar Destinasi Wisata

28 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak masa kolonial Belanda, Surabaya telah tumbuh sebagai kota pusat industri dan perdagangan penting di Indonesia. Kondisi itu menjadikan Surabaya memiliki sejumlah pasar, yang tersebar di penjuru kota. Menurut sejarawan Universitas Airlangga, Purnawan Basundoro, pada 1934 sudah ada 30 pasar yang tergolong sebagai pasar besar.

Upaya memodernisasi pasar tradisional dimulai pada 1906, sejak Gemeente Surabaya, cikal-bakal Pemerintah Kota Surabaya, memerintah. Tapi baru pada 1920-an ada upaya serius menjadikan pasar sebagai tempat belanja yang nyaman. Pasar bikinan Belanda itu kebanyakan bertahan dan bahkan berkembang. Kini beberapa pasar itu tidak hanya penting bagi perekonomian Surabaya dan kota-kota besar yang menggantungkan pasokan dari kota dagang ini, tapi juga dijadikan tujuan wisata andalan.

Pusat Ikan di Pasar Pabean

Khotijah baru bisa duduk enak sore itu. Sedari siang, Bu Haji ini sibuk melayani pembeli yang datang silih berganti di lapak ikan lautnya di Pasar Pabean, Surabaya Utara. Hampir semua jenis ikan laut konsumsi ada di lapak seluas dua meter persegi tersebut. "Ikan-ikan di sini ikan segar semua. Dikirim langsung dari Probolinggo, Tuban, dan Madura," kata Khotijah kepada Tempo, Senin pekan lalu.

Selain ikan laut, banyak pedagang yang khusus menjual ikan air tawar. Harganya pun lebih murah. Dengan keunggulan harga dan pasokan ikan yang selalu segar itu, Pasar Pabean menjadi pemasok utama kebutuhan ikan di seluruh pasar di Surabaya. "Di sini itu pusatnya. Kalau di sini tidak ada ikan, berarti di seluruh Surabaya tidak ada ikan," tutur Khotijah.

Pasar Pabean memang sejak dulu dikenal sebagai pusat ikan di Surabaya. Agus Setyabudi, Kepala Pasar Pabean, mengatakan hampir separuh pedagang di sini itu berjualan ikan tawar dan laut. "Separuhnya lagi pedagang rempah-rempah, bawang, dan lainnya," ujar Agus.

Di pasar seluas 6.222 meter persegi ini ada 1.475 pedagang. Mereka menempati sebanyak 1.776 stan. Menurut Agus, pasar dibagi empat zona: sebelah timur, mulai pintu masuk hingga tengah, diisi penjual bawang dan rempah-rempah; dari tengah pasar hingga pintu barat dihuni pedagang ikan; sebelah utara dipenuhi pedagang konfeksi; serta pedagang unggas potong di sisi selatan.

Pasar yang dibangun pada era kolonial Belanda—ada yang mengatakan dibangun pada 1918, ada juga yang mengatakan pada 1928—menjadi wisata nostalgia dari berbagai etnis: Jawa, Madura, Tionghoa, dan Arab. Pemerintah Kota Surabaya sengaja mempertahankan hampir seluruh bangunan pasar ini sesuai dengan bentuk aslinya. "Hanya ada beberapa tambahan di bagian selatan dan utara," kata Agus.

Grosir Garmen di Jembatan Merah Plaza

Jembatan Merah Plaza atau biasa disebut JMP berada di dekat kawasan Kembang Jepun, yang pada masa lalu menjadi pusat kegiatan ekonomi di Kota Surabaya. Sejak masa kolonial Belanda, kawasan ini menjadi pusat pertokoan dan kantor-kantor perusahaan besar. Seluruh bangunan lawas berumur abad itu tetap dipertahankan seperti aslinya.

Citra kawasan perniagaan lama itu diteruskan oleh JMP. Plaza ini difokuskan sebagai tempat belanja grosir garmen, dari kain sampai pakaian jadi. Lilis dari bagian pemasaran PT Jasamitra Propertindo, pengelola JMP, mengatakan produk yang dijual di JMP sangat bervariasi dari segi harga ataupun kualitas. "Baik barang impor maupun ekspor ada di sini. Dari baju yang harganya puluhan ribu sampai kain batik yang jutaan rupiah ada," kata Lilis.

JMP memang ingin melayani seluruh segmen masyarakat, kelas bawah hingga atas. Arifin, pembeli dari Pamekasan, mengaku senang berbelanja di JMP. "Di sini harganya murah. Variasi barangnya juga banyak, jadi enak memilihnya," ujarnya.

JMP terbagi dua bagian: JMP I dan JMP II, yang dipenuhi sekitar 3.000 stan pedagang. Menurut Lilis, JMP I sengaja dikhususkan untuk tekstil berbagai jenis, aneka busana, kain batik, dan busana muslim. Sedangkan JMP II untuk pedagang retail atau eceran multiproduk.

Pasar Ampel Berkah Sang Wali

Hampir setiap hari ribuan peziarah dari berbagai daerah datang ke makam Sunan Ampel, penghulu penyebaran Islam di Nusantara pada awal abad ke-16. Banyaknya peziarah mengundang pedagang menyediakan berbagai keperluan mereka. Maka, sejak 1950-an, bermunculanlah toko dan kios kaki lima di sepanjang jalan masuk menuju makam ini

Para pedagang awalnya hanya berada di sepanjang Gang Ampel Suci, yang kala itu menjadi akses utama menuju makam. Sekarang gang tersebut menjadi Pasar Ampel. Deretan toko, kios, dan lapak kaki lima berdempet di gang sepanjang 500 meter, dari Jalan Sasak hingga Masjid Ampel, tersebut. Barang-barang yang dijual di sini identik dengan aksesori ibadah, termasuk minyak wangi dan tasbih.

Selain peziarah, para pembeli lainnya adalah mereka yang berbelanja untuk oleh-oleh haji. Pasar ini lebih ramai lagi memasuki bulan puasa dan musim haji. Banyak calon haji berbelanja kebutuhan mereka di sini, seperti kopiah, sajadah, tasbih, minyak wangi, dan baju takwa. "Katanya untuk oleh-oleh tetangga," tutur Mustofa Jamal Alaydrus, pemilik toko di sana.

Kawasan Ampel juga dikenal karena kekhasan kulinernya. Beberapa makanan, seperti nasi kebuli, nasi briyani, dan krengsengan kambing, bisa ditemukan di sini. Jenis makanan lain yang populer adalah gulai kacang hijau dengan daging kambing atau sapi. Bagi yang belum pernah mencoba, rasa manis kacang hijau yang bercampur dengan rempah-rempah bumbu gulai membuat rasa kuliner ini agak janggal di lidah. Pelancong bule tertarik pada keunikan permukiman arab di Ampel.

Pusat Buah Tangan Genteng Baru

Pasar Genteng terletak di pusat Kota Surabaya—tepatnya di Jalan Genteng Besar—tidak jauh dari kawasan Tunjungan, pusat bisnis dan perdagangan Surabaya. Meskipun dikelilingi pusat belanja modern, Pasar Genteng tetap jadi rujukan belanja karena memiliki kelebihan.

Sejak dulu Pasar Genteng dikenal sebagai tempat belanja oleh-oleh makanan khas Surabaya, seperti petis, kerupuk kulit ikan, dan kue lapis legit Surabaya. Bahkan makanan khas berbagai daerah lain di Jawa Timur pun tersedia, seperti bandeng asap Sidoarjo; wingko babat Lamongan; kerupuk udang, lorjuk, dan terung Madura; serta ledre Bojonegoro.

Bukan hanya sebagai pusat oleh-oleh, Pasar Genteng juga dikenal sebagai pusat belanja elektronik. Toko-toko itu ditempatkan khusus di Pasar Genteng Baru di sebuah gedung tiga lantai. Lantai pertama untuk pedagang kebutuhan dapur, sedangkan lantai dua dan tiga khusus untuk penjual barang elektronik.

Banyak yang menyebut Pasar Genteng Baru sebagai pusat belanja elektronik terbesar di Indonesia timur. Pendapat ini bukan tanpa alasan karena hampir semua barang elektronik dan komponennya bisa didapatkan di sini. Menurut Kasim Widiantoro, pedagang di sana, yang membuat Pasar Genteng Baru menjadi referensi utama bagi pembeli peralatan elektronik adalah lengkap dan murah. "Ini kan pasar grosir elektronik, jadi rata-rata selisih harga dengan tempat lain bisa 10-15 persen," kata Kasim. Menurut pemilik Toko Fajar Elektronik itu, di sini juga tersedia jasa perakitan.

Agus Supriyanto, Tommy Raditya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus