Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rame-rame Bersih Diri Meredam Isu, Sebelum Jadi Gelombang

Masalah bersih diri dan bersih lingkungan ramai di bicarakan. Banyak pejabat terkena isu terlibat PKI. Komunis di AS. Wawancara dengan Sudomo. Cara PKI menyebarkan sayapnya. Praktek skrining bersih diri.

12 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISIK-bisik itu rasanya semakin ramai saja. "Sssst.... Si Anu itu tak bersih diri, kenapa bisa jadi pejabat? Si Polan itu kan tak bersih lingkunan, kok duduk di DPRD?" Bila bisik-bisik disuarakan ribuan orang, antara sesama teman sekantor, dengan tetangga, atau bisa juga berupa keterangan pada wartawan, dengan embel-embel, "Tolong, nama sumber jangan disebutkan", gemuruhnya bisa tak kalah dengan pengeras suara ribuan watt yang dipakai Rhoma Irama atau Mick Jagger. Bahayanya, bisik-bisik itu bisa juga menikam. Apalagi bila diserui surat kaleng yang ditebar ke berbagai instansi, dari tingkat lurah sampai Kopkamtib. Dan itulah yang beberapa bulan terakhir ini terjadi. Entah disengaja atau tidak, bisik-bisik dan isu itu kini bertebaran dan gentayangan sampai di mana-mana. Celakanya, isu dan surat kaleng itu tampaknya tak memilih sasaran. Bahkan Wapres Sudharmono pun dituding. Hingga Pak Dhar, dalam suatu pertemuan dengan wartawan, 18 Oktober yang lalu, terpaksa membantah isu yang menyebutkan seolah-olah ia pernah menjadi anggota Pesindo dan terlibat peristiwa Madiun. "Katanya saya pernah jadi anggota Pesindo. Sejak dari sekolah saya sudah jadi ABRI dan, ketika peristiwa Madiun, saya mendapat tugas untuk memberantasnya. Jadi, saya nggak tahu isu itu dari mana. Celakanya, ada yang termakan. Isu itu kebetulan berasal dari surat kaleng. Bagaimana membantahnya, lha wong surat kaleng," kata Sudharmono. Bukan cuma Sudharmono yang kena. Dalam pekan-pekan ini, seorang pejabat penting DPRD di Jawa Timur, misalnya, juga jadi sasaran: ia dikabarkan tidak bersih lingkungan. Kabar itu beredar tanpa jelas sumber asalnya dan tak pula menyebut secara jelas siapa tokoh penting dimaksud. "Saya jadi repot menjawab kalau ditanya soal itu," kata H. Fatchurrachman H.M., Ketua F-PP DPRD Jawa Timur. Namun, ternyata, Kepala Direktorat Sospol Jawa Timur, Kolonel Hasril Harun, bisa menjelaskan. Ia membenarkan bahwa ada beberapa anggota DPRD di daerahnya yang tak bersih lingkungan. "Tapi tidak ada yang terlibat PKI secara langsung," kata Wakil Ketua DPD Golkar Jawa Timur itu. Ia menolak menyebutkan jumlah maupun nama orang-orang dimaksud. "Pokoknya, anggota DPRD di Jawa Timur," ujarnya. Sekalipun demikian, para anggota DPRD dimaksud belum akan dicabut atau diberhentikan dari lembaga legislatif daerah itu. Kecuali bila kemudian diketahui bahwa mereka terlibat G-30-S/PKI. Maka, untuk sementara ini mereka tetap dinilai positif. Artinya, masih akan dilihat pengabdian dan perjuangan mereka terhadap bangsa. "Kalau mereka benar-benar sudah Pancasilais, bersikap antikomunis, ya kita nilai lain," kata Hasril Harun. Selama ini banyak tokoh tingkat nasional yang terkena isu tidak bersih diri atau tidak bersih lingkungan. Antara lain Sekjen DPP PPP Mardinsyah, Sekjen DPP PDI Nico Daryanto, juga Ketua Umum DPP PPP J. Naro. Bahkan DPP Golkar pun pernah "dikononkan" tersusupi PKI. Juli lalu, misalnya, bekas Menko Kesra Alamsyah mengatakan pada koran Terbit, "Ada eks anggota PKI yang berteriak-teriak anti-PKI di DPP Golkar." Di tingkat lebih bawah, juga di daerah, isu itu pun berembus. Menjelang pemilihan Gubernur Sumatera Barat, Hasran Basri Durin, yang belakangan terpilih, juga didesas-desuskan pernah menjadi anggota CGMI. Terungkapnya beberapa anggota PKI yang selama ini berhasil menyusup ke orpol atau instansi pemerintah -- contohnya Datuk Syamsir yang berhasil menjadi Ketua DPD Golkar Payakumbuh -- memang membuahkan peningkatan kewaspadaan. Dan itu memang bisa menambahkan kerepotan. Di Sumatera Utara, Ketua DPD PDI diprovinsi itu, Dr. Panangian Siregar, kini bingung karena dalam proses penyusunan para calon menghadapi pemilu yang lalu, tak ada keharusan dari Pemerintah bahwa para calon mesti melengkapi diri dengan surat keterangan bersih lingkungan (SKBL). "Ketika itu yang diminta adalah surat keterangan bersih diri. Kalau untuk itu PDI di Sumatera Utara bersih," kata Panangian. Tapi setelah konperensi daerah PDI, Juni yang lalu, sekelompok pengurus PDI yang lama dan tak lagi duduk dalam kepengurusan membuat laporan ke Pemda Sumatera Utara, ada beberapa nama yang terpilih dalam konperensi daerah itu tidak bersih lingkungan. Ketiga nama itu memang diperiksa di Direktorat Sospol Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Pemeriksaan itu selesai Senin pekan lalu. Hasilnya? Konon, dua nama dianggap oke sedangkan seorang lagi terbukti seperti yang dilaporkan. "Ya, memang saya tidak bersih lingkungan," ujar Nyonya Sumartini (bukan nama sesungguhnya), salah seorang pengurus harian PDI Sumatera Utara. Dengan terisak sedih nyonya ini mengakui bahwa suaminya dikategorikan golongan C karena pernah menjadi anggota CGMI. Dengan selesainya pemeriksaan itu, sesuai dengan saran seorang pejabat, wanita itu sudah membuat surat pengunduran diri dari kepengurusan PDI. Oleh sebab yang hampir mirip, pelantikan seorang pejabat Departemen Agama di Padang, yang seyogianya akan dilaksanakan Sabtu pekan lalu, ditunda sampai waktu yang belum ditentukan. Penundaan itu sesuai dengan keputusan via nota telepon dari Haji Muchtar Zarkasyi, Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Departemen Agama. Padahal, pengangkatan Marzunis Zen (nama ini juga disamarkan) itu sudah ditandatangani Menteri Agama, 28 Juli 1988. Maka, untuk sementara, Marzunis kembali menduduki jabatannya sebelumnya, di sebuah kantor yang berada di bawah Departemen Agama, di Payakumbuh, Sumatera Barat. Menurut keterangan seorang pejabat penting di Departemen Agama kepada TEMPO, pelantikan itu tertunda karena 15 Oktober yang lalu, seorang pejabat di kantor Kota Madya Padang mengirim surat kepada Gubernur Sumatera Barat, dan tembusannya dikirimkan ke Departemen Agama. Isi surat berupa laporan, yang menyatakan bahwa ayah kandung Marzunis Zen terlibat G-30-S/PKI, golongan B. Laporan ini cukup kuat karena konon dilengkapi dengan surat keterangan dari kantor Subdirektorat Sospol Kota Madya Payakumbuh. "Ya, kami segera menunda pelantikan itu," kata pejabat tadi. Sementara ini, Marzunis sedang diperiksa oleh petugas Irjen Departemen Agama dan Inpektur Jenderal Opstib di departemen itu. "Untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh (almarhum) sang ayah pada anaknya ini. Terutama akan dinilai sikap politik dan konduitenya selama ini," kata pejabat tadi. Ada pula cerita lain dari Aceh Barat. Ir. Zainal Husein (bukan nama sebenarnya) sejak Agustus yang lalu ramai dibisik-bisikkan sebagai tak bersih diri. Pejabat dari sebuah kantor dinas di Banda Aceh itu diembuskan, dahulunya, sebelum 1965, aktif menulis sajak di koran-koran berhaluan komunis di Jakarta. Pada masa itu ia sedang kuliah di sebuah akademi di Bogor. Kabar yang beredar dari mulut ke mulut itu terdengar begitu gencar ketika Zainal disiapkan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan untuk menjadi calon bupati Aceh Barat, Agustus 1988. Nama Zainal telah diproses DPRD setempat. Namun, begitu akan dikirimkan ke Depdagri, tiba-tiba Zainal mengundurkan diri sebagai calon. Apa sebabnya? Alasan formal seperti dikatakan Anwar Zeats, Kepala Direktorat Sospol DI Aceh, "Karena atasannya didi Jakarta tak mengijinkannya dicalonkan. Ia masih dibutuhkan departemennya." Tapi cerita informal menyebutkan: ya, ada kaitannya dengan sajak-sajak di koran orde lama itu. Zainal sendiri ketika ditemui menolak bicara sepatah pun. Yang jelas, menurut Anwar Zeats, pengecekan atas keterlibatan Zainal dengan G-30-S/PKI sudah dilakukan sampai ke Bogor, melalui aparat Laksusda di kota itu. "Ternyata, isu itu tidak terbukti. Pada kurun waktu tersebut ia menjabat ketua HMI di sekolahnya," kata Anwar pada TEMPO. Istilah bersih lingkungan dan bersih diri belakangan ini memang makin memasyarakat. Tapi, apa sesungguhnya arti istilah itu? Siapa saja yang terkena ketentuan itu? Pada TEMPO, Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno, Sabtu pekan lalu, di Bandarlampung, menjelaskan. "Bersih diri artinya orang itu tidak terlibat langsung dengan G-30-S/PKI. Sedangkan bersih lingkungan berarti lingkungan keluarganya, seperti bapak, ibu, mertua, dan keluarga dekat, harus bersih." Menurut Panglima ABRI itu, apa yang sekarang dikenal sebagai bersih lingkungan itu hanya berlaku di tempat yang terbatas. Misalnya ABRI dan pegawai negeri. "Kalau di tempat lain, asalkan ia tidak terlibat saja nggak apa-apa," katanya. Dengan penegasan ini Pangab agaknya ingin meredam soal ramai-ramai bersih lingkungan yang terjadi sekarang, tapi tanpa mengendurkan kewaspadaan terhadap bahaya komunisme. "Kita semua menginginkan ketenteraman," katanya. Selama dua puluhan tahun terakhir ini, soal-soal keamanan -- termasuk ancaman sisa G-30-S/PKI -- ditangani oleh Kopkamtib. Setelah Kopkamtib tak ada lagi, Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang akan meneruskan tugasnya. Lembaga baru itu nanti akan memiliki bagian yang akan mengurusi masalah-masalah G-30-S/PKI, tapi Bakortanas akan ditekankan lebih pada masalah stabilitas nasional secara luas. "Di Mabes ABRI akan ada juga staf yang bersifat melekat mengurusi hal itu," kata Jenderal Try Sutrisno. Pangab mengatakan bahwa menurut rencana pekan depan struktur Bakortanas akan diumumkan Pemerintah. Selama ini ABRI memang dikenal amat waspada dan tegas dalam membersihkan diri dan lingkungannya dari sisa G-30-S/ PKI. Pada Juni 1977, misalnya, Brigjen. Suharyo, bekas Pangdam IX Mulawarman ditangkap di Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Suharyo hari itu datang dari Moskow, tempat ia bermukim bersama istri dan anak-anaknya selama 12 tahun. Suharyo berangkat ke Negeri Beruang Merah itu pada 1965, dengan dalih tugas belajar. Tapi fakta yang dikumpulkan Kopkamtib kemudian mengungkapkan bahwa ia banyak bekerja sama dengan PKI sewaktu bertugas sebagai Pangdam. Dua tahun yang lalu, Mayor Soemarsono, bekas Komandan Kodim Larantuka, Flores, dipecat dari ABRI karena diketahui terlibat G-30-S/PKI. Menurut Brigjen. Ronny Sikap Sinuraya, Kepala Dispen TNI-AD waktu itu, pengusutan terhadap mereka yang terlibat G-30-S/PKI di tubuh ABRI tak pernah berhenti. Anggota ABRI yang masuk kategori C1 (terlibat peristiwa Madiun) harus dipecat. Sedangkan kategori C2 dan C3 dipercepat pensiun, tanpa diperbolehkan menduduki jabatan apa pun. Dua jenis golongan itu pada pegawai negeri Sipil masih diperbolehkan bekerja sampai usia 50 tahun. Menurut laporan terakhir, masih ada 1.000 pegawai negeri sipil di semua departemen terdiri atas golongan C2 dan C3 itu. Maka, seperti dikatakan Pangdam III Siliwangi, Mayor Jenderal Arie Sudewo, bersih lingkungan itu berlaku terbatas untuk kalangan ABRI. "Tetapi kemudian sipil mengikutinya, termasuk instansi-instansi Pemerintah. Itu semua demi kewaspadaan," kata Arie Sudewo. Karena yang terkena ketentuan itu makin banyak, soal ini pun semakin ramai dibicarakan. Malah ada dugaan isu ini sengaja dibesar-besarkan. Maka, bukan tak mungkin seperti disinyalir Kolonel Hari Sabarno, Asisten Sospol Kodam III Siliwangi "Jangan-jangan isu bersih lingkungan itu dilontarkan oleh orang yang masih setia pada komunisme untuk meresahkan masyarakat." Kemungkinan itu bukannya tidak ada. Penduduk Amerika Serikat yang begitu maju pun pernah terjerumus dalam kekalutan karena kampanye antikomunis yang tak lagi terkendali (lihat Memburu si Tukang Sihir). Ancaman sisa PKI memang menggantung terus. Menurut Mayor Jenderal Soebijakto, Gubernur Lemhanas, sisa-sisa PKI masih tetap berusaha melakukan gerakan. "Dengan melakukan kampanye, fitnah, isu, desas-desus, pokoknya sasarannya agar Pemerintah tidak populer. Kalau banyak rakyat tidak senang pada pemerintah, bisa digalang untuk dijadikan front, simpatisan, dan semacamnya," katanya. Hal itu sebenarnya bisa dicegah bila masyarakat mengikuti apa yang digariskan Menko Polkam Sudomo. Istilah bersih diri dan bersih lingkungan itu sebetulnya tak ada. "Yang ada adalah skrining mental ideologis," kata Sudomo (lihat wawancara). Hal ini memang banyak dipertanyakan masyarakat. Malah ia menimbulkan keresahan di sementara kalangan tertentu. sehingga dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi stabilitas nasional. Paling tidak begitulah yang disebutkan Menko Polkam Sudomo ketika memberi penjelasan pada pers 8 September yang lalu. Istilah yang disebut sebagai bersih diri dan bersih lingkungan itu, menurut Sudomo, ditafsirkan masyarakat dari ketentuan Kopkamtib yang dikeluarkan 27 Juni 1982, tentang skrining mental ideologis yang harus dilakukan pada pelamar pegawai negeri sipil, karyawan instansi Pemerintah, serta perusahaan swasta yang vital. Dalam skrining itu, selain keterlibatan seseorang dengan G-30-S/PKI, diteliti pula identitas keluarganya yang menyangkut pula keadaan lingkungan, tempat tinggal, dan pergaulannya. Itu meliputi lingkungan keluarga, persaudaraan dan pergaulan yang dominan atau sangat berpengaruh pada sikap, peri laku, dan mental ideologis seseorang, apakah itu disebabkan adanya hubungan kekeluargaan, keterkaitan utang budi, keakraban, persamaan cita-cita, pandangan, dan lain-lain. Yang dikategorikan lingkungan dominan ialah orangtua terhadap anak-anaknya, mertua terhadap menantu, nenek terhadap cucu yang diasuhnya, atau paman, kakak, orang lain yang pernah membiayai kehidupan atau sekolah seseorang, pernah menanamkan budi, menolong dalam waktu yang relatif lama, dan sebagainya. Bisa juga hubungan suami terhadap istri atau sebaliknya, malah juga lingkungan pergaulan. Repotnya, menurut Sudomo, pelaksanaan ketentuan ini di daerah-daerah tak seragam. Sebab itu, Pemerintah menganggap perlu untuk secepatnya mengadakan penelitian dan peninjauan secara mendalam dan menyeluruh, dan selanjutnya mengeluarkan ketentuan yang mengatur secara jelas pelaksanaan skrining itu sehingga tafsiran yang tidak seragam bisa dihindarkan. Selanjutnya Sudomo mengatakan kebijaksanaan yang masih berlaku. Untuk ABRI, lingkungan seperti yang disebut di atas harus bersih dari G-30-S/PKI. Sedangkan untuk pegawai negeri, proses skrining terhadap lingkungan keluarga tetap berlaku, tetapi lebih dititikberatkan pada pribadinya sendiri, sampai berapa jauh kemantapan ideologisnya menegakkan Pancasila dan UUD '45, kesetiaan terhadap Pemerintah dan negara. "Kalau yang bersangkutan mantap ideologi dan setia kepada negara dan Pemerintah, dapat dipertimbangkan menjadi pegawai negeri walaupun dari lingkungan keluarganya ada yang terlibat G30-S/PKI," kata Sudomo. Skrining ideologis dikenakan terhadap mereka yang sudah menjadi anggota atau calon anggota ABRI, pegawai negeri termasuk BUMN, guru, parpol/Golkar, pers, dalang, lurah, lembaga bantuan hukum, dan pendeta. Bila masyarakat menemukan kelainan, seorang calon atau pegawai negeri sipil, misalnya, datang dari keluarga yang berindikasi G-30-S/PKI, segeralah dilaporkan secara tertulis pada yang berwajib. Hal itu akan diteliti dan akan diberi jawaban yang pasti pada si pelapor. "Jangan lakukan tindakan kontroversi yang dapat menimbulkan gejolak sosial," kata Sudomo. Memang mudah diduga kalau soal bersih lingkungan itu dibesar-besarkan akan membawa akibat pada tak sedikit anggota masyarakat kita. Ketua CC PKI D.N. Aidit pada Agustus 1965 mengumumkan bahwa anggota PKI dan pendukungnya berjumlah sekitar 20 juta. Bisa saja jumlah ini dibesar-besarkan, tapi yang jelas dalam Pemilu 1955, partai komunis itu mengumpulkan lebih dari 6 juta suara. Artinya, pendukungnya memang tak main-main. Yang jelas, menurut pendataan yang dilakukan Departemen Dalam Negeri, jumlah semua bekas anggota PKI itu 1.410.333 jiwa. Dari jumlah itu, terdapat 426 golongan A, yaitu orang-orang yang merencanakan, membantu merencanakan, atau mengetahui adanya gerakan G-30-S/PKI tapi tak melapor pada yang berwajib. Masuk kategori ini pula, orang-orang yang menjadi pelaku utama operasi dan kegiatan fisik lainnya, pelaku, atau orang yang ikut serta dalam kegiatan G-30-S itu. Mereka inilah yang kemudian diadili oleh Mahmilub, Mahmilti, atau pengadilan negeri di berbagai tempat di Indonesia. Sedang golongan B adalah orang-orang yang menyetujui gerakan itu atau menghambat usaha menumpasnya. Masuk kategori ini pula para pengurus PKI dan ormas ormasnya. Tua anggota PKI. Sebagian di antara mereka dahulu sempat tahan di Pulau Buru. Jumlah sekarang yang terdaftar di Depdagri ada 34.587. Sedang golongan C, orang yang pernah terlibat peristiwa Madiun, dan anggota bekas ormas pendukung PKI, atau para simpatisan PKI lainnya. Inilah yang jumlahnya paling banyak, 1.375.320. Maka, bila ini ditambahkan dengan saudara, orangtua, anak, kakek, dan nenek, atau saudara lainnya yang disebut tadi, tentu jumlah orang yang berkepentingan pada soal bersih lingkungan tak sedikit lagi. Memang di sinilah soalnya. Sebab, apa pun alasannya, kewaspadaan terhadap kemungkinan munculnya kembali PKI harus tetap tinggi. Dalam suatu ceramahnya di depan peserta Asean Forein Service Course di Departemen Hankam, awal Agustus yang lalu, Menhankam L.B. Moerdani mengingatkan bahwa PKI pernah memberontak pada 1926, 1948, dan 1965. Pemberontakan itu selalu gagal dan ditumpas tapi ia kemudian muncul lagi. Dari situ bisa dilihat bahwa untuk muncul kembali secara legal PKI membutuhkan waktu sekitar 20 tahun. Bila itu dihitung sejak pemberontakan 30 September 1965, jarak 20 tahun itu kini sudah terpenuhi. Mungkin strategi mereka, menurut Moerdani, akan berubah karena masyarakat semakin maju dan berpengalaman. Kegiatan legal, mlsalnya, tak lagi mungkin sekarang bagi mereka. Tapi kemudian kata Menhankam, "Jalur penyusupan dan gerakan bawah tanah akan digunakan PKI untuk pemunculannya kembali." Sebelum itu, tak kurang dari Presiden Soeharto sendiri, Juni yang lalu, memberikan instruksi kepada Menteri Penerangan Harmoko agar melakukan penertiban terhadap penerbitan yang disusupi tulisan Marxisme dan komunisme. Dalam peringatan hari ABRI, 5 Oktober yang lalu, Presiden mengatakan, "Kita semua bertekad agar tragedi nasional pemberontakan G-30-S/PKI merupakan pengalaman pahit yang terakhir. Ini tidak akan terulang lagi sepanjang zaman." Beberapa penyusupan memang sudah terbongkar. Laksusda Sumbagsel, misalnya, pertengahan Oktober yang lalu, mengumumkan bahwa Achmad Syabrun Caropeboka adalah bekas pengurus CGMI Malang dan ia dikategorikan golongan B2. Padahal, Syabrun selama ini dikenal sebagai pengusaha kayu terkemuka di Palembang, menjadi Ketua Kadin dan Majelis Perkayuan Indonesia di daerah itu. Lebih gawat lagi, ia kemudian terpilih sebagai bendahara DPD Golkar Sumatera Selatan 1983, dan sempat dipersiapkan untuk menjadi calon anggota DPR dari Golkar dalam Pemilu 1987. Saat itulah "penyakitnya" terbongkar. Kini semua jabatannya dicopot. Sebelumnya, bekas Ketua DPD Golkar Payakumbuh, Datuk Syamsir Alamsyah, sudah pula terbongkar sebagai orang yang berindikasi dengan G-30-S/PKI. Laksusda Sumatera Utara menetapkannya sebagai penyandang golongan B2. Berkat surat keterangan tidak terlibat G-30-S/PKI yang diperolehnya dari Lurah Cempaka Putih, Jakarta Pusat, 1970, sang datuk yang ternyata turut serta mempersiapkan Dewan Revolusi Daerah di Payakumbuh itu berhasil menjadi pengusaha sejak 1970 di kampungnya, Payakumbuh. Ia lalu menjadi bendahara Golkar setempat sampai akhirnya menjadi orang nomor satu Beringin di kota madya itu. Kalangan pers pun terkena. Seorang tokoh wartawan di Ja-Bar bulan lalu juga tersodok isu tidak bersih lingkungan. Di Bali, 29 Oktober yang lalu, PWI setempat melakukan pemecatan sementara terhadap seorang anggotanya yang bekerja di sebuah radio di Pulau Dewata itu. "Yang berhak memecatnya secara penuh adalah PWI Pusat. Jadi, kami sudah usulkan ke sana," kata Widminarko, Ketua PWI Bali. Hal itu disebabkan oleh keluarnya surat keputusan Laksus Pangkopkamtibda Nusra yang menyatakan oknum tadi tergolong C3. Agaknya, semua pihak sepakat membersihkan diri dari berbagai penyusupan. "Setiap kali pengurus cabang atau daerah akan didudukkan, lebih dahulu kami konsultasikan dengan Laksusda setempat," kata Nico Daryanto, Sekjen PDI. Golkar sendiri, sebagai organisasi terbesar, dalam Munas Oktober yang lalu, sengaja mewajibkan skrining bebas G-30-S/PKI terhadap semua calon anggotanya. "Bahwa Golkar pernah kecolongan, maklumlah kami organisasi besar. Untuk itu kami akan berhati-hati," ujar Rachmat Witoelar, Sekjen DPP Golkar. PPP, menurut sekjennya Mardinsyah sejak 1986 secara tertib menyeleksi calon anggotanya di daerah, termasuk untuk menghindarkan bahaya penyusupan G-30S/PKI. Tapi menjelang pemilu yang lalu memang sejumlah pengurus PPP sempat kena tuduh tak bersih diri dan lingkungan. "Dulu mertua saya diributkan tak bersih diri. Soal itu sudah saya serahkan kepada yang berwajib. Sampai saat ini nyatanya tak ada apa-apa," kata Mardinsyah. Bisik-bisik itu memang perlu diredam, agar tak keburu menjadi gelombang. Amran Nasution, Rustam F. Mandayun, Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus