Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menakar Reka Penulisan Ulang Sejarah Kasus HAM

Pemerintah, dari rekomendasi Tim PPHAM, menyiapkan pelurusan sejarah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Apa yang disiapkan?

27 Juli 2023 | 00.00 WIB

Korban pelanggaran HAM berat tragedi 1965-1966, Efendi Saleh mengikuti Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, 3 maret 2023. TEMPO/MAGANG/Muhammad Fahrur Rozi
Perbesar
Korban pelanggaran HAM berat tragedi 1965-1966, Efendi Saleh mengikuti Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, 3 maret 2023. TEMPO/MAGANG/Muhammad Fahrur Rozi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Edukasi ihwal Gerakan 30 September 1965 dan tragedi 1965-1966 hanya merujuk pada satu versi.

  • Pelurusan sejarah merupakan salah satu rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).

  • Upaya pelurusan sejarah oleh pemerintah bakal menjadi panasea bagi para korban.

JAKARTA – Nurlela Lamasituju ikut bergabung dan menyimak secara saksama forum diskusi melalui telekonferensi yang berlangsung sekitar 120 menit. Pendamping korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat tragedi 1965-1966 di Kota Palu, Sulawesi Tengah, itu menyambut baik upaya pemerintah yang hendak meluruskan sejarah kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Menurut dia, sejauh ini, edukasi ihwal Gerakan 30 September dan tragedi 1965-1966 hanya merujuk pada satu versi. "Ini upaya yang baik jika pemerintah ingin menulis ulang sejarah dari perspektif kesaksian korban," ujar Nurlela saat dihubungi Tempo pada Rabu, 26 Juli 2023.

Baca: Pelurusan Sejarah Penting Agar Kasus HAM Tidak Terulang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dalam forum diskusi tersebut, Nurlela memenuhi undangan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada pekan lalu. Undangan itu ditujukan bagi anggota Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) HAM, pegiat hak asasi, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada isu HAM. Acara itu membahas upaya pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu melalui medium kesenian dan kebudayaan.

Sekretaris Jenderal Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) di Sulawesi Tengah ini menilai upaya pelurusan sejarah oleh pemerintah melalui usulan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) bakal menjadi panasea bagi para korban dan generasinya. Menurut dia, penulisan sejarah berdasarkan perspektif kesaksian korban menjadi penting karena akan mengedukasi bangsa dan tidak terdistorsi seperti masa Orde Baru. "Ini akan membuat korban sedikit terobati karena kebenaran mereka diakui," ucap Nurlela.

Pelurusan sejarah merupakan salah satu rekomendasi Tim PPHAM. Poin kedua dari 11 rekomendasi tim ini menyebutkan, "Melakukan tindakan penyusunan ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa."

Laporan dan rekomendasi Tim PPHAM sejatinya telah diserahkan pada 11 Januari lalu kepada Presiden Joko Widodo. Jokowi mengakui telah terjadi 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu setelah membaca laporan tersebut. Adapun 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu antara lain kasus genosida pasca-G30S (1965-1966); tragedi Tanjung Priok (1984); tragedi Talangsari (1989); tragedi Rumoh Geudong Pidie (1989-1999); kerusuhan Mei (1998); serta tragedi Trisakti dan Semanggi I-II (1997-1998).

Tentara melepaskan tembakan ke arah pengunjuk rasa dalam tragedi Simpang KKA di Dewantara, Aceh Utara, 1999. Dok. Amnesty International Indonesia

Jokowi menyatakan pemerintah memastikan pemulihan terhadap hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Dia juga memastikan pemerintah bersungguh-sungguh agar kasus pelanggaran HAM berat tidak terjadi kembali di masa mendatang.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan pemerintah menyediakan dana penelitian untuk penulisan sejarah peristiwa 1965. Hal itu untuk menjawab pelurusan sejarah yang direkomendasikan Tim PPHAM. Dana penelitian disediakan Kementerian Pendidikan.

Menko Polhukam Mahfud MD (kedua kanan) memberikan keterangan pers jelang kick off penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Kemenko Polhukam, Jakarta, 23 Juni 2023. ANTARA/Hafidz Mubarak A

Menurut Mahfud, sejarah tentang peristiwa 1965 yang ditulis tidak mungkin menjadi satu-satunya kebenaran. "Hasilnya menjadi akademik, bukan sebagai dasar kebijakan. Karena tak akan pernah ketemu, sejarah itu bakal berbeda-beda," ujar Mahfud di kantornya, Ahad, 23 Juni lalu.

Mahfud menyebutkan sejarah peristiwa 1965 sudah banyak ditulis, di antaranya, oleh Ben Anderson dan Ruth McVey melalui Cornell Paper, Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; dan sejarawan Taufik Abdullah setelah reformasi. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial menitikberatkan pada korban, sementara kebenaran sejarah menjadi ranah ilmu pengetahuan.

Dalam forum diskusi upaya pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu, Nurlela menuturkan, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Hilmar Farid, menyatakan memiliki pemikiran serupa dengan KKPK HAM. Hilmar, Nurlela menceritakan, menyatakan bakal memberikan kamar khusus agar usulan-usulan yang disampaikan KKPK dapat diakomodasi dan dirancang bersama sebagai usulan untuk pemenuhan hak korban. Mendengar penjelasan itu, kata Nurlela, "Kami bersyukur. Semoga di kementerian lain dialog seperti ini juga bisa dilakukan."

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan sempat bertemu dengan Hilmar untuk membahas tindak lanjut rekomendasi Tim PPHAM, khususnya ihwal penulisan ulang sejarah, memorialisasi, dan pemulihan hak korban. Kedatangannya tidak hanya untuk membahas pemenuhan hak korban dengan melakukan penulisan ulang sejarah. "Kami juga selalu mengingatkan pentingnya proses penyelesaian secara yudisial," kata Usman.

Dia menilai rekomendasi Tim PPHAM sangat krusial karena dapat mengobati luka ketidakadilan. Rekomendasi itu dinilai sebagai upaya preventif mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat di masa mendatang. Rekomendasi itu juga dapat mengungkap alasan terjadinya peristiwa di masa lalu serta bagaimana nasib dan kejelasan mereka yang kini masih hilang. "Penyelesaian pelanggaran HAM harus memiliki tujuan menegakkan keadilan bagi korban dan mengakhiri siklus ketiadaan penghukuman atau impunitas," ujar Usman.

Tempo belum mendapat konfirmasi dari Hilmar untuk mengetahui secara mendetail acara diskusi tersebut. Hingga kemarin malam, Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan itu tidak menjawab pesan berupa pertanyaan yang dikirim Tempo melalui aplikasi WhatsApp.  

Penulisan Berdasarkan Rujukan dan Penyelidikan Komnas HAM

Menanggapi penulisan ulang sejarah perihal kasus HAM masa lalu, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, mengatakan pemenuhan hak korban harus dibarengi dengan pertimbangan matang dan berpihak pada korban. Menurut Wahyudi, upaya meluruskan sejarah ini dapat dilakukan dengan merujuk pada ringkasan eksekutif penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan Komisi Nasional HAM. "Itu sudah mengakomodasi suara korban dengan adanya berita acara pemeriksaan atau BAP para korban," kata dia.  

Opsi lain untuk meluruskan sejarah, Wahyudi melanjutkan, juga bisa merujuk pada referensi laporan-laporan yang dibuat koalisi masyarakat sipil, koalisi pendamping korban, serta para sejarawan independen. Sebab, ia menilai, selama Orde Baru telah banyak terjadi distorsi sejarah. Dengan begitu, kata dia, sangat penting untuk menulis ulang sejarah Indonesia dengan memberikan narasi baru tanpa merujuk pada versi yang ditulis Orde Baru. "Ini menjadi dokumen yang bisa menjadi rujukan sejarah baru Indonesia yang nyata."

Anggota Tim PPHAM, Beka Ulung Hapsara, mengaku tak dapat memberikan keterangan mengenai langkah pelurusan sejarah. Mantan Komisioner Komnas HAM itu meminta agar menghubungi langsung Menteri Mahfud Md. "Kami memang mendapat banyak masukan soal pelurusan sejarah. Tapi, secara formal, kami tidak berwenang menjawab pertanyaan," ucap Beka.

Wahyudi pun mempertanyakan koordinasi dalam upaya pelurusan sejarah ini. Menurut dia, meski kementerian pimpinan Mahfud merupakan kementerian koordinator, secara ideal, tugas dan fungsi mengenai persoalan sejarah seharusnya diserahkan kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan. "Di Kementerian Pendidikan ada direktorat sejarah yang khusus mengurusi soal ini."

Tempo telah mengirim daftar pertanyaan mengenai tanggung jawab atas upaya pelurusan sejarah ini kepada Menteri Mahfud Md. Hingga kemarin malam, Tempo tidak menerima konfirmasi. Pesan berupa pertanyaan yang dikirim Tempo melalui aplikasi WhatsApp tidak direspons. 

ANDI ADAM FATURAHMAN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Andi Adam Faturahman

Andi Adam Faturahman

Berkarier di Tempo sejak 2022. Alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mpu Tantular, Jakarta, ini menulis laporan-laporan isu hukum, politik dan kesejahteraan rakyat. Aktif menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus