Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan melakukan kick off peluncuran upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial pada Juni 2023 di Aceh. Salah satu isi dari kick off nanti yaitu pengakuan terhadap warga negara yang menjadi eksil usai tragedi Gerakan 30 September atau G30S 1965.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Mereka ini akan kami nyatakan sebagai warga negara yang tidak pernah mengkhianati negara," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md usai rapat bersama Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 2 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat yang melibatkan 19 menteri, Panglima TNI, Jaksa Agung, dan Kapolri ini membahas tindak lanjut atas rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Ham Berat Masa Lalu alias Tim PPHAM. Rekomendasi sudah diserahkan ke Jokowi pada 11 Januari 2023.
Akui 12 pelanggaran HAM berat
Jokowi sebagai kepala negara pun akhirnya mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu. Berikut 12 kasus pelanggaran HAM yang diakui setelah ada rekomendasi Tim PPHAM tersebut:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989
- Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999
- Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999
- Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999
- Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena, Papua 2003
- Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003
Mahfud kemudian menjelaskan, banyak sekali orang yang tidak terlibat dalam G30S, tapi menjadi korban karena tidak boleh pulang ke Indonesia saat sekolah di luar negeri. Mereka tidak diizinkan pulang ke Tanah Air setelah pecahnya tragedi G30S.
"Mereka ini bukan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), mereka ini korban karena disekolahkan lalu tidak boleh pulang," kata Mahfud.
Mahfud kemudian mencontohkan mantan Presiden Habibie yang sempat tidak bisa pulang usai menempuh studi di Jerman. Habibie akhirnya bisa pulang setelah bertemu mantan Presiden Soeharto di Jerman.
"Lalu oleh Pak Harto diajak pulang dan jadilah dia orang besar yang kemudian jadi presiden," kata dia.
39 orang eksil akan dinyatakan tidak berkhianat
Adapun dari catatan Kementerian Hukum dan HAM, kata Mahfud, saat ini ada sekitar 39 orang eksil. Sebanyak 39 orang inilah yang akan dinyatakan oleh negara bahwa mereka tidak pernah berkhianat. Mereka tersebar di Rusia, Praha (Ceko), Kroasia, Belanda, dan berbagai negara lainnya.
Mahfud menyebut puluhan eksil ini sebenarnya sudah pernah ditawari untuk pulang ke Indonesia di zaman Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden Megawati Soekarnoputri, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY.
Akan tetapi, para eksil tersebut sudah tidak punya keluarga di Indonesia. Aset pun juga sudah habis. Mereka kini sudah berkeluarga di negara tempat sekarang bermukim. Sebagian menjadi profesor di sebuah universitas di Rusia.
"Mereka ini hanya ingin dinyatakan mereka bukan pengkhianat, mereka belajar, disekolahkan secara sah oleh negara, itu yang disebut orang-orang eksil karena peristiwa tahun 65," kata Mahfud.
Beri tiga opsi kewarganegaraan
Kementerian Hukum dan HAM juga akan memberikan 3 opsi terhadap kewarganegaraan para eksil peristiwa 1965. Pertama, tetap menjadi warga negara asing. Kedua, kembali menjadi warga negara Indonesia. Ketiga, diberikan kemudahan untuk berkunjung ke Indonesia.
Iya (diberikan 3 opsi),” kata Direktur Jenderal HAM Kemenkumham, Dhahana Putra lewat pesan teks, Kamis, 4 Mei 2023.
Dhahana berkata pemerintah masih memetakan dan memverifikasi keinginan para eksil politik tersebut. Menurut dia, untuk memastikan keakuratan identitas dan keinginan para eksil, Kemenkumham telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri. Menurut Dhahana, upaya pemulihan terhadap para eksil masih akan berlanjut.
Kaji pemulihan hak para eksil
Selain hak kewarganegaraan, kata dia, pemerintah masih mengkaji pemulihan hak-hak lain para eksil. “Kami perlu segera memperoleh data dan informasi peta penyebaran keberadaan para eksil politik, serta menetapkan bentuk layanan yang akan diterima para eksil,” ujar dia.
Tawaran yang diberikan Kemenkumham ini merupakan kelanjutan dari rencana pemerintah untuk memulihkan hak para korban eksil peristiwa 1965. Para eksil tersebut mulanya adalah mahasiswa atau WNI yang sedang berada di luar negeri ketika Gerakan 30 September 1965 meletus. Akibat tragedi tersebut mereka tak bisa pulang tanah air karena dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia.
Dhahana berujar telah memetakan jumlah eksil peristiwa 1965 yang akan dipulihkan haknya. Menurut dia sudah ada 30 eksil yang terdata.
“Kami optimistis terhadap pemulihan hak korban atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, utamanya kepada 30 korban eksil politik eks WNI,” katanya.
Dhahana menuturkan, berdasarkan data yang dikumpulkan Kementerian Luar Negeri, para eksil tersebut tersebar di sejumlah negara Eropa. Lima belas orang, kata dia, saat ini tinggal di Republik Ceko, sementara 3 orang lainnya tinggal Rusia dan 9 orang tinggal di Swedia. Tiga eksil lainnya berada di Bulgaria, Albania dan Kroasia.
FAJAR PEBRIANTO | M ROSSENO AJI