Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Celah DPR Menyiasati Putusan MK Soal Presidential Threshold

MK merekomendasikan rekayasa konstitusi atas putusan presidential threshold. Pakar mewanti-wanti siasat DPR.

6 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Surat suara Pemilu 2024 di gudang logistik Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan, Sumatera Utara, 16 Januari 2024. ANTARA/Fransisco Carolio

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Badan Legislasi DPR mendorong pemerintah dan DPR segera membahas paket undang-undang politik.

  • Isu membahas penggabungan undang-undang pemilu muncuk kembali setelah MK menghapus presidential threshold.

  • Masih ada celah DPR mengakali penghapusan ambang batas suara partai bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden.

BADAN Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat menyerukan pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik. Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia meminta pemerintah dan DPR mengkonkretkan pembahasan paket undang-undang politik dalam omnibus law politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembahasan gabungan undang-undang itu muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus syarat ambang batas suara partai bisa mencalonkan kandidat presiden dan wakil atau presidential threshold. “Bola sekarang ada di tangan Presiden Prabowo Subianto dan para ketua umum partai politik,” ujar Doli melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 4 Januari 2025. “Kita harus memaknai putusan MK itu bukanlah jawaban yang menyelesaikan seluruh problematika pemilu.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisi II DPR RI menggelar rapat kerja evaluasi pelaksanaan pilkada serentak 2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta,19 Januari 2021. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Menurut Doli, presidential threshold hanya salah satu isu yang menjadi bagian pembahasan penyempurnaan sistem pemilu. Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini mengatakan putusan MK mengenai syarat ambang batas pencalonan presiden secara tegas dan spesifik harus diikuti dengan upaya rekayasa konstitusional.

Mahkamah Konstitusi, dalam putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, menghapus presidential threshold 20 persen. Putusan ini mengubah Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Penghapusan syarat ini membuat setiap partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon sendiri, tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. MK juga membuat lima poin pertimbangan soal partai politik yang mengajukan kandidat presiden dan wakil presiden.

Dua poin penting tersebut tercantum dalam poin keempat dan kelima. Dalam poin keempat, MK menyatakan partai politik yang tidak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden akan mendapatkan sanksi, yakni larangan mengikuti pemilu pada periode berikutnya. Adapun pada poin kelima, rumusan rekayasa konstitusional perubahan Undang-Undang Pemilu juga melibatkan berbagai kalangan, seperti partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPR, dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini angin segar bagi demokrasi. Sudah 27 kali uji masyarakat sipil menggugat ambang batas pencalonan presiden itu ke MK. Uji materi presidential threshold tersebut sebagian dimentahkan hakim konstitusi dengan menyatakan perkara tidak bisa diterima, perkara ditarik kembali, atau perkara ditolak.

Sidang putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 Januari 2025. ANTARA/Fauzan

Zulfikar Arse Sadikin, anggota Komisi II DPR, mengatakan putusan MK menjadi bahan baru membentuk omnibus law politik. Politikus Partai Golkar ini mengatakan akan meninjau ulang persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu. DPR akan membahas undang-undang tersebut setelah reses. Saat ini para anggota DPR tengah reses hingga 20 Januari 2025.

Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti berharap tidak ada upaya DPR mengubah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Pengamat politik ini menyerukan agar masyarakat sipil berperan mengawasi manuver anggota Dewan.

DPR pernah mencoba merevisi Undang-Undang Pilkada, satu hari setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon kepala daerah. Publik merespons manuver DPR itu dengan menggelar aksi demonstrasi di sejumlah titik di berbagai daerah.

Ray menduga DPR masih bisa menyiasati putusan MK tentang presidential threshold itu. Misalnya, DPR mengatur partai mensyaratkan calon presiden yang diusung mesti ketua umum yang eksis selama dua kali pemilu. “Sebaiknya jangan lagi ada rekayasa yang bisa memancing kegusaran publik. Partai politik harus menerima bahwa pandangan mereka perihal presidential threshold itu bertentangan dengan konstitusi,” ujar Ray pada Ahad, 5 Januari 2025.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menambahkan DPR dan pemerintah tidak akan sulit mengakali putusan MK itu. Sebab, secara politik antara DPR dan pemerintah saat ini cenderung akur. Dia juga menyoroti banyak kasus pembuatan undang-undang kontroversial yang tidak melibatkan partisipasi publik seperti revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan omnibus law Cipta Kerja.

Adi menilai masih ada celah bagi DPR membuat aturan baru setelah Mahkamah Konstitusi menghapus syarat ambang batas calon presiden. Misalnya, kewajiban partai berkoalisi atau memperketat syarat partai politik ikut pemilu. Adi merujuk putusan MK hanya menyatakan kandidat presiden hanya bisa diajukan oleh partai peserta pemilu. “Apa sih yang tidak (bisa) oleh DPR? Kalau mereka berkehendak, besok pun mereka bikin aturan, walau kontroversial dan ditolak oleh rakyat,” ucap Adi.

Dosen hukum tata negara dari Universitas Gajah Mada, Zainal Arifin Mochtar, juga menilai DPR dan pemerintah bisa mengakali putusan MK itu dengan cara membatasi partisipasi partai politik dalam pemilu legislatif. Dengan begitu, kata Zainal, calon presiden hanya diikuti oleh kandidat dari partai yang mengikuti pemilu saja. Walhasil, putusan MK tak menghasilkan demokrasi yang substansial, yakni setiap warga negara bisa menjadi calon presiden.

Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar. TEMPO/Imam Sukamto

Zainal mengatakan parliamentary threshold bisa kembali dihidupkan dengan persentase tertentu dalam skenario tersebut. Ia merujuk ambang batas parlemen 4 persen suara partai yang sudah dihapus oleh MK pada Maret 2024. Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi tidak menemukan dasar penetapan angka atau persentase paling sedikit 4 persen dalam pasal tersebut. “Tidak mungkin partai mengusung calonnya menjadi presiden tapi tidak punya orang di parlemen,” ujarnya.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan akan ada mekanisme baru soal syarat pencalonan presiden dan wakil presiden melalui undang-undang sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Ketua Harian Partai Gerindra itu mengatakan akan membahas hal ini bersama koleganya di DPR setelah reses.

Ervana Trikarinaputri dan Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Daniel Ahmad Fajri

Daniel Ahmad Fajri

Lulus dari Universitas Gunadarma jurusan Sastra Inggris pada 2019. Bergabung dengan Tempo pada 2021. Kini reporter di kanal Nasional untuk meliput politik dan kebijakan pemerintah. Bertugas di Istana Kepresidenan 2023-2024. Meminati isu hubungan internasional, gaya hidup, dan musik.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus