MEMASUKI bulan Puasa, IAIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung
ditandai dengan meledaknya sebuah kericuhan. Koran Pikiran
Rakyat melaporkan, kericuhan itu telah menyebabkan terjadinya
saling keroyok, saling serbu dan saling aniaya di antara para
mahasiswa yang saling bertentangan. Kemelut yang terjadi pada
bulan suci itu tentu saja telah mengundang cela tokoh masyarakat
Islam di sana. "Yang saya tidak mengerti mengapa peristiwa
semacam ini terjadi di IAIN. Padahal seharusnya mereka mengerti
bulan puasa adalah bulan ibadah", ujar H. A. Latief Mokhtar MA
Ketua Lembaga Bahasa Arab IAIN SGD. Menurut Mokhtar, para
mahasiswa yang bertentangan itu nampaknya tidak berfikiran
sehat, tidak dewasa dan masih banyak terhanyut oleh emosi.
Belum jelas betul penyebab peristiwa itu. Tapi kabarnya kejadian
yang memalukan ini dimulai oleh rasa tidak puas mahasiswa
terhadap Dewan Mahasiswanya yang sudah berlangsung lama.
Perasaan itu semakin muncul ketika Porseni (pesta olahraga dan
seni) antar IAIN di Yogyakarta, Bandung tidak mengirimkan
wakilnya karena tidak punya biaya. Waktu itu di IAIN SGD memang
sedang berlangsung latihan Da'wah. "Biaya hampir seluruhnya
untuk kegiatan itu", ujar drs. Asep Saefullah, Ketua DM. Namun
33 mahasiswa IAIN SGD berangkat juga ke Yogyakarta. Walaupun,
baik Rektor maupun DM sudah mengirim nota ke Yogyakarta yang
menyatakan IAIN SGD tidak bisa hadir pada acara tersebut.
Sepulang dari acara di Yogyakarta itu, mahasiswa IAIN SGD yang
dipimpin Achmad Kurdi minta penggantian biaya kepada DM dan
Rektor. Permintaan itu ditolak. "Inilah pokok masalah aksi
corat-coret itu", ujar Asep lagi.
Skorsing
Tapi tentu saja itu versi Asep. Yang jelas beberapa hari
kemudian di halaman kampus IAIN Bandung itu, berkibar bendera
hitam yang dipancangkan pada sebilah bambu. Sekitar 60 orang
mahasiswa sempat berkumpul, mengadakan apel bersama. Mereka
menilai, kehidupan kampus sudah semakin jauh dari tujuan
luhurnya. "Kampus tertutup bagi kami, kehidupan kemahasiswaan
berjalan tidak sehat. Karena itulah kami berkabung dengan
bendera hitam", ujar Achmad Kurdi, Ketua I DM IAIN SGD, yang
bertindak sebagai pimpinan mahasiswa pada apel tersebut.
Permintaan kelompok mahasiswa ini untuk berdialog dengan Rektor,
drs. Sholahuddin Sanusi tidak berhasil. Bahkan yang diterima
kelompok mahasiswa itu adalah keputusan skorsing bagi 7 orang
mahasiswa. Keputusan Rektor yang diambil berdasarkan hasil rapat
Senat Al-Jamiah pada 2 September 1976 itu menilai mahasiswa yang
terkena sanksi akademis itu bertindak tidak disiplin, merongrong
kebijaksanaan Rektor, mengganggu ketenteraman kampus dan
melanggar peraturan yang berlaku di kampus IAIN. "Bahkan
mahasiswa-mahasiswa itu telah bertindak mengarah kepada
usaha-usaha destruktif provokatif dengan mencemarkan narna baik
pimpinan institut sebagai pejabat pemerintah yang resmi", ujar
drs. Abuy Shodikin, Humas IAIN. Dikatakan Abuy, selama sanksi
akademis itu para mahasiswa yang terkena dicabut haknya sebagai
mahasiswa. "Akan diperpanjang lagi bila perlu", katanya lagi.
Memang belum pasti tindakan skorsing bakal menghentikan kemelut
itu.
Tapi menurut Rektor, peristiwa itu kini sudah ada di tangan
pemerintah. "Meskipun demikian saya kurang tahu apa yang
sebenarnya diinginkan mahasiswa. Padahal saya sudah memberikan
apa yang dapat saya berikan, seluruhnya untuk IAIN", ujar drs.
Shalahuddin Sanusi. Mulai 10 September kemarin Shalahuddin juga
menghentikan perkuliahan. Tidak dijelaskan karena alasan apa.
Tapi yang pasti, Pikiran Rakyat Bandung menyebutkan tentang
kemungkinan adanya pergantian Rektor. Kalau betul, aksi
corat-coret mahasiswa yang mengawali kericuhan di IAIN itu,
barangkali cukup memiliki alasan. Corat-coret itu antara lain:
Yang dipertuan agung Rektor mundur, Rektor boros, Gantung Asep
Saefullah, Turun Dewan Mahasiswa.
Agak menyolok juga nampaknya pertentangan di antara dua kelompok
tersebut. Sementara pertengahan bulan puasa kemarin, muncul
kelompok "Cinta Study" pimpinan H. Gaossul Adham, mahasiswa
Fakultas Syariah. Tidak mau ketinggalan mereka pun mengeluarkan
pernyataan: "Penyesalan yang sedalam-dalamnya atas kejadian yang
baru-baru ini terjadi". Mereka berpendapat, pokok soalnya adalah
karena kurangnya komunikasi antara pimpinan Institut, Dewan
Mahasiswa dan Mahasiswa. Gaossul Adham yang menganggap
keputusan menutup kuliah itu sebagai merugikan mahasiswa,
katanya sudah menghubungi kedua kelompok mahasiswa yang
bertentangan itu begitu juga rektor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini