KONSEP negara kesatuan ala Mohamad Yamin sedang dalam ujian berat. Tuntutan memisahkan diri kian santer saja, apa pun bentuk dan statusnya. Suara paling nyaring belakangan ini terdengar dari mahasiswa Aceh Serantau. Dalam kongresnya di Banda Aceh, pekan lalu, mereka menuntut referendum. Rakyat Negeri Serambi Mekah yang kenyang dengan praktek kekerasan militer ini, di mata peserta kongres itu, berhak menentukan nasib sendiri: bergabung ataukah berpisah dengan republik.
Boleh jadi, seruan ini diilhami sikap pemerintah yang baru saja menawarkan opsi merdeka bagi rakyat Timor Timur, jika otonomi luas ditolak. Yang jelas, sebelumnya sempat terlontar ide Gubernur Syamsuddin Machmud tentang perlunya membentuk federasi bagi Aceh. "Agar rakyat bisa menentukan dirinya sendiri, meski masih dalam wilayah negara RI," katanya, belum lama ini. Namun, setelah sowan ke Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, Syamsuddin mencabut pernyataannya yang kontroversial itu. Tak jelas, apakah perubahan sikap Pak Gub lantaran bisikan halus Menteri Syarwan Hamid yang baru saja meluncurkan konsep penting ihwal "pemerintahan daerah" di DPR.
Apa pun argumentasinya, aspirasi daerah memang perlu segera ditanggapi. Jika tidak, separatisme mengancam dari segala sudut. Risikonya tentu makin besar. Itulah sebabnya, pemerintah berupaya meredam pergolakan dengan ngebut mengajukan RUU Otonomi Daerah yang tengah dibahas di Senayan, pekan-pekan ini. Paket RUU ini terdiri atas RUU Pemerintahan Daerah (Pemda) dan RUU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Palu pengesahan ditargetkan sudah bisa diketok sebelum pemilu awal Juni nanti. Toh payung politiknya sudah jelas diamanatkan dalam Tap MPR No. XV/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Lalu, bagaimana bentuk otonomi daerah yang bakal terwujud? Persoalan itulah yang kini dinanti dengan dag-dig-dug, terutama oleh pejabat daerah yang selama ini bergaya tak ubahnya raja-raja kecil. Tapi, belum juga pertanyaan penting itu terjawab, serentetan masalah mulai mencuat. Coba tengok kejadian di Jawa Timur. Di sana, ada lima bupati yang sudah habis masa jabatannya antara Mei dan Juli nanti. Nah, berdasar peraturan, agar dewan bisa menyiapkan pemilihan pejabat baru, enam bulan sebelum usai menjabat, para bupati harus mengajukan pengunduran diri. Artinya, proses pemilihan calon kepala kabupaten itu harus segera digelar.
Masalah muncul ketika pada 23 Desember lalu, Menteri Syarwan Hamid mengirimkan radiogram kepada semua gubernur. Inti pesan, agar mereka menunda proses pemilihan bupati atau wali kota. Tapi radiogram ini sempat diprotes para wakil rakyat setempat. Menteri Syarwan dianggap melecehkan anggota DPRD hasil Pemilu 1997. Toh saat itu sempat muncul pertanyaan serius: bisakah para wakil rakyat di daerah itu mengusulkan nama-nama calon bupati atau wali kota? Lalu, bagaimana jika usulan mereka itu ditolak para anggota dewan hasil Pemilu 1999? "Semuanya serba belum ada jaminannya yang jelas," kata Mentik Budiwiyono, anggota DPRD dari PDI.
Repot, memang. Barangkali lantaran dikritik tadi, Menteri Syarwan lalu menerbitkan edaran pada 11 Januari lalu. Isinya, membolehkan dewan setempat melakukan penjaringan, penyaringan, dan penetapan nama-nama calon bupati dan wali kota. Ini agaknya untuk mengatasi problem vakumnya pemerintahan daerah. Selain itu, Syarwan juga memperpanjang masa jabatan Wali Kota Surabaya Sunarto Sumoprawiro sampai 20 Juli nanti. Apa pun sikap Syarwan, dewan tetap dengan terobosannya. "Lebih baik kita siapkan calon wali kotanya, perkara dianulir atau tidak, itu urusan DPRD yang baru," kata Mentik.
Soal pelik ini mungkin bisa diatasi dengan aturan main pemerintahan daerah yang tengah digodok. Apalagi, semangat RUU Otonomi Daerah, menurut Ryaas Rasyid, Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD), adalah pemberdayaan DPRD. Selama ini, DPRD praktis hanya jadi dekor hiasan yang loyo, tak sanggup berbuat apa-apa. Hanya dengan alasan "tidak direstui pusat", pencalonan pejabat dan segala program daerah bisa dibabat. "Itulah yang membuat frustrasi berkepanjangan dan menjelma dalam berbagai gejolak," kata Ryaas kepada TEMPO.
Guna memulihkan luka itu, suara rakyat yang disalurkan melalui DPRD akan diberi nilai tinggi. Lembaga legislatif daerah?menurut RUU Pemda?berhak memilih kepala daerah, meminta pertanggungjawaban atau memecat kepala daerah, dan mengajukan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Bersama kepala daerah, DPRD juga leluasa merancang program pembangunan yang pas untuk semua bidang, kecuali pertahanan keamanan, sistem peradilan, kebijakan luar negeri dan moneter. Pendekatan yang serba dari pusat, termasuk kebijakan kepegawaian, akan dipangkas. Seperti halnya DPR, DPRD juga punya hak subpoena: memanggil dan menyidik pejabat atau warga masyarakat yang terbelit perkara KKN. Dan, jangan coba-coba menolak karena bisa terkena sanksi hukum.
Ketimbang di provinsi, otonomi lebih luas berlaku pada tingkat kabupaten atau kota madya. Di wilayah ini, DPRD II bisa memilih bupati atau wali kota tanpa persetujuan pemerintah pusat. Menurut Ryaas, keistimewaan ini tak bisa diterapkan untuk DPRD I dalam pemilihan gubernur. DPRD I memang berhak memilih gubernur, tapi harus dengan persetujuan pusat. Sebab, selain eksekutif, gubenur juga berfungsi sebagai wakil pemerintah pusat. "Tapi, hanya sebagai wakil administratif. Tidak ada hubungan hierarkis," kata Ryaas.
Jika gambaran otonomi di atas bisa terwujud, inilah senja hari bagi kinclongnya kekuasaan para raja kecil. Gubernur, bupati, camat, sampai lurah, yang menggenggam kuasa penuh di wilayah masing-masing, harus rela berbagi kekuasaan. Para gubernur juga tak boleh semena-mena mencoret nama calon bupati hanya dengan alasan tidak "direstui" pusat. Mereka tak bisa lagi, misalnya, dengan santai mengguyur prasarana umum dengan cat kuning menjelang kampanye pemilu, untuk kepentingan Golkar. Pendek kata, pejabat daerah yang sok kuasa nantinya harus ekstrahati-hati menghadapi DPRD yang tidak loyo lagi.
Nah, agar otonomi berjalan mulus, sudah pasti dana yang dibutuhkan daerah juga melonjak. Perimbangan keuangan juga harus mengikuti jiwa desentralisasi. Sayangnya, di titik inilah terjadi kejanggalan. Menurut sumber TEMPO, ada semangat yang tidak seimbang antara kedua draft RUU itu. "Bila yang pertama bersifat progresif, RUU Keuangan justru masih berjiwa Orde Baru yang sentralistis," kata sumber tadi. Konon, kepincangan semangat ini bermula dari keberatan IMF bila daerah mendapat porsi duit lebih banyak. IMF beralasan, kemampuan pemerintah pusat membayar utang luar negeri bisa terancam bila sumber uang dari daerah menyusut (Lihat tulisan Ekonomi dan Bisnis). Ibaratnya, kepala dilepas tapi kaki dipegangi.
Untuk soal pengawasan, RUU Pemda memang sudah menyiapkan resep penangkal. Pemerintah pusat tetap bisa memecat pejabat daerah tanpa persetujuan DPRD, bila si pejabat terbukti korup atau terlibat tindak pidana. Tapi, sikap meragukan kemampuan putra daerah mengelola wilayahnya (seperti disorot dalam satu butir draft RUU), tentu harus dikaji ulang. Sebab, asumsi bahwa rakyat belum mampu dan masih perlu dibimbing pusat adalah khas Orde Baru. Dan, sudah 32 tahun cara pandang seperti itu tidak mendatangkan kesejahteraan. Jadi, kenapa mesti ragu?
Mardiyah Chamim, Ardi Bramantyo, Wens Manggut, dan Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini