Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiga kementerian dan lembaga belum memberikan persetujuan atas RUU Perampasan Aset.
Terjadi perdebatan saat penyusunan RUU Perampasan Aset, yaitu soal lembaga pengelola aset sitaan.
RUU Perampasan Aset disebut-sebut bakal lama disahkan.
BERSURAT kepada enam pemimpin kementerian dan lembaga pada Rabu, 15 Maret lalu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno memberitahukan bahwa Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset telah selesai disusun. Dalam surat beregistrasi B-226/M/D-1/HK.00.00/03/2023 itu, Pratikno meminta enam pejabat membubuhkan paraf persetujuan atas draf regulasi tersebut.
Persetujuan itu menjadi dasar pemerintah untuk mengirimkan surat presiden tentang pembahasan RUU Perampasan Aset ke Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun enam pemimpin lembaga itu antara lain Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Keuangan, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Jaksa Agung.
Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden, Ade Irfan Pulungan, mengatakan tiga kepala lembaga belum merespons permintaan membubuhkan paraf, yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. “Masih diharmonisasikan di lingkup internal pemerintah,” kata Ade kepada Tempo pada Sabtu, 8 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menko Polhukam Mahfud Md saat bersiap mengikuti rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 29 Maret 2023. Tempo/M Taufan Rengganis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ade, kementerian dan lembaga yang membahas regulasi itu perlu menyelaraskan sikap. Tujuannya agar tak ada perdebatan substansi di antara wakil pemerintah saat pembahasan bersama DPR. Rancangan itu merupakan inisiatif pemerintah dan belum pernah dibahas dengan DPR sejak 2008.
Desakan pengesahan RUU Perampasan Aset muncul di tengah rapat dengar pendapat Komisi Hukum DPR dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu, 29 Maret lalu. Saat itu, Mahfud yang juga Ketua Komite Tindak Pidana Pencucian Uang memaparkan asal-usul dugaan transaksi janggal sebesar Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan.
Adapun nilai transaksi itu mencuat tak lama setelah publik mempersoalkan kekayaan tak wajar yang dimiliki bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Rafael Alun Trisambodo. Pada Kamis, 30 Maret lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Alun sebagai tersangka. Empat hari kemudian atau pada 3 April lalu, Alun resmi mengenakan rompi oranye KPK.
Dalam rapat dengan Komisi Hukum, Menteri Mahfud meminta DPR mendukung RUU Perampasan Aset. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menyebutkan regulasi tersebut akan mempermudah pemberantasan korupsi. “Undang-undang ini tolong didukung,” ucapnya.
Baca: Di Balik Penolakan DPR terhadap RUU Perampasan Aset
Jangankan memulai pembahasan RUU Perampasan Aset, pemerintah bahkan belum mengirimkan surat presiden untuk membahas rancangan tersebut. Anggota Komisi Hukum DPR dari Partai NasDem, Taufik Basari, mengatakan naskah akademik dan draf aturan itu belum diterima para politikus Senayan. “Kami mendorong pemerintah segera mengirimkan berkasnya ke DPR,” ujar Taufik.
Pemerintah menyusun draf RUU Perampasan Aset pada sekitar 2011. Sejumlah kementerian dan lembaga waktu itu belum solid soal sejumlah isi rancangan. Salah satunya lembaga yang ditunjuk mengelola aset hasil tindak pidana. Polemik ini melibatkan tiga lembaga yang memiliki instansi pengelolaan aset, yaitu Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung, serta Kementerian Hukum dan HAM.
Sebenarnya pemerintah telah menggandeng Universitas Paramadina untuk mengkaji kesiapan kementerian dan lembaga negara mengelola aset hasil kejahatan. Hasilnya, Kementerian Keuangan dianggap paling siap karena memiliki struktur dan sumber daya manusia hingga ke daerah.
Namun Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum mengklaim juga mampu menjadi lembaga yang mengurus aset. Kejaksaan punya Pusat Pemulihan Aset di bawah Jaksa Agung Muda Pembinaan. Adapun Kementerian Hukum mengklaim bisa memelihara aset hasil kejahatan karena memiliki Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.
Masalah lain adalah prosedur perampasan aset yang dipertanyakan oleh kepolisian. Dalam draf awal yang dibuat sedekade lalu, polisi meminta tahapan penyitaan diatur secara ketat. Tujuannya mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh aparat ketika menyita aset.
Direktur Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Fithriadi Muslim mengklaim enam instansi pemerintah kini sudah satu suara ihwal draf RUU Perampasan Aset. Dia menyebutkan berbagai masukan soal lembaga pengelola aset dan aturan main perampasan telah dimasukkan ke draf regulasi. “Secara prinsip kami sudah sepakat dengan isi rancangan undang-undang tersebut,” kata Fithriadi.
Ia menjelaskan, draf RUU Perampasan Aset mutakhir bertanggal 30 November 2022 telah mengatur prosedur perampasan agar tak ada penyalahgunaan wewenang. Langkah itu meliputi penelusuran, pemblokiran, dan penyitaan yang harus mendapat izin dari pengadilan negeri setempat. “Aspirasi dari instansi yang terlibat sudah diserap ke dalam isi draf tersebut,” ucap Fithriadi.
Rancangan itu juga menetapkan Kejaksaan Agung sebagai instansi yang akan menyimpan dan memelihara aset. Kejaksaan diberi mandat karena ada potensi aset yang kelak dirampas masih bersengketa. Pemilik aset bisa saja mengajukan perlawanan melalui pengadilan negeri. Jika ada gugatan, Kejaksaan Agung akan berperan sebagai pengacara negara yang mewakili pemerintah.
Meski RUU Perampasan Aset belum dibahas, Kejaksaan Agung telah berancang-ancang menyiapkan lembaga pengelolaan aset. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan lembaganya telah membuat rancangan perubahan status pejabat Pusat Pemulihan Aset naik satu tingkat menjadi eselon I atau setara dengan jaksa agung muda.
Dengan begitu, kata Ketut, Pusat Pemulihan Aset lebih mudah berkoordinasi dengan lembaga lain, ikut mengawasi, serta mengeksekusi aset supaya bisa masuk ke kas negara. Ketut dan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho mengatakan lembaga mereka masih membutuhkan waktu untuk memeriksa draf akhir RUU Perampasan Aset.
Baca: Mengapa Indonesia Kerap Gagal Menyita Aset Pelaku Kejahatan?
Keduanya pun mengklaim mendukung regulasi itu segera disahkan agar aset pelaku kejahatan bisa dirampas. “Aturan itu sudah sesuai dengan harapan kami dan memperkuat kewenangan Kejaksaan Agung,” tutur Ketut.
Adapun Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan lembaganya sudah sepakat dengan isi RUU Perampasan Aset. Menurut dia, Menteri Sri Mulyani membutuhkan waktu untuk membaca konten draf regulasi secara teliti. Yustinus menyebutkan Sri Mulyani telah membubuhkan paraf pada berkas RUU Perampasan Aset. “Siap dikirimkan ke Menteri Sekretaris Negara,” ujarnya.
DIGAGAS sejak 15 tahun lalu, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dibuat karena pemerintah Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi. Pemerintah meratifikasi konvensi itu dengan membuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Salah satu isi perjanjian itu mengatur perampasan dan pengembalian aset yang diperoleh dari aktivitas ilegal.
Sedangkan RUU Perampasan Aset setidaknya dua kali terpental dari Program Legislasi Nasional Dewan Perwakilan Rakyat. Pada 2021, Badan Legislasi DPR menolak rancangan aturan itu. Dari lima RUU yang diajukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, DPR menyetujui tiga revisi undang-undang, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Pemasyarakatan, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Menteri Yasonna Laoly kembali mengajukan RUU Perampasan Aset agar masuk Prolegnas Prioritas 2022. Usulan itu kandas lagi karena pemerintah dan DPR memprioritaskan undang-undang lain, seperti RUU Ibu Kota Negara dan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Selain itu, pemerintah mengebut revisi KUHP dan Undang-Undang Pemasyarakatan.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pemerintah sempat mengeluarkan RUU Perampasan Aset dari daftar prioritas karena ingin menyelesaikan regulasi yang dinilai lebih mendesak. Contohnya revisi KUHP dan Undang-Undang Pemasyarakatan. “Kedua undang-undang itu merupakan carry over dari periode sebelumnya sehingga harus segera dituntaskan,” kata Eddy Hiariej—panggilan Edward.
Menurut Eddy, pemerintah punya kuota mengusulkan rancangan undang-undang setiap kali menyusun Prolegnas Prioritas. Pemerintah berbagi dengan DPR dan Dewan Perwakilan Daerah yang juga berhak menginisiasi pembuatan undang-undang. Eddy mengklaim pemerintah mengatur jumlah rancangan yang diusulkan agar terfokus saat pembahasan.
Presiden Joko Widodo beberapa kali menyinggung pengesahan RUU Perampasan Aset. Pada Desember 2021, saat berpidato dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jokowi berharap RUU itu bisa disahkan pada 2022.
Jokowi kembali menyebutkan pentingnya pengesahan RUU Perampasan Aset saat merespons melorotnya indeks persepsi korupsi Indonesia pada Februari lalu. “Saya mendorong RUU Perampasan Aset segera diundangkan,” ucap Presiden.
Dalam rapat paripurna yang digelar pada Kamis, 15 Desember 2022, DPR akhirnya menyetujui RUU Perampasan Aset masuk daftar Program Legislasi Nasional 2023. Namun pembahasan RUU Perampasan Aset diperkirakan tak mudah diselesaikan. Di Komisi Hukum dan Badan Legislasi DPR, rancangan itu disebut sebagai “barang panas” sehingga diperlukan persetujuan dari ketua umum partai politik.
Ketua Komisi Hukum Bambang Wuryanto meminta Presiden Jokowi berkomunikasi dengan para ketua umum partai agar rancangan itu dapat disahkan DPR. “Siap kalau diperintah juragan,” kata Bambang Pacul—panggilan Bambang Wuryanto—dalam rapat bersama Mahfud Md.
Dimintai konfirmasi pada Selasa, 4 April lalu, Bambang menilai persetujuan ketua umum partai diperlukan karena aturan itu bisa disalahgunakan untuk menghantam lawan politik. Dia pun mempertanyakan perbedaan RUU Perampasan Aset dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang disahkan pada 2010.
Bambang Pacul mengatakan aturan perampasan aset sulit dilaksanakan jika disahkan. RUU Perampasan Aset dapat menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk menyita harta yang ditengarai berasal dari tindak kejahatan. Penyitaan aset bisa dieksekusi sebelum putusan pengadilan pada perkara pidana pokok seperti korupsi, transaksi narkotik, perambahan hutan, dan pencucian uang.
Draf RUU Perampasan Aset memuat mekanisme pembuktian terbalik. Pemilik harta wajib membuktikan hartanya diperoleh bukan dari tindak pidana serta sesuai dengan penambahan kekayaan atau jumlah penghasilan. Jika sang pemilik gagal membuktikan itu, hartanya bakal disita negara.
Baca: Apa Pentingnya RUU Perampasan Aset?
Menurut Bambang Pacul, aturan perampasan aset bisa menjerat semua pihak, bukan hanya penyelenggara negara. “Ini akan mengubah sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Ketua Pemenangan Pemilu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Bambang memastikan Presiden Jokowi belum berkomunikasi dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri soal RUU Perampasan Aset.
Menkumham Yasonna Laoly saat rapat kerja evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2021 bersama Badan Legislasi DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, September 2021. Dok. Kemenkumham
Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas sepakat dengan sikap Bambang. Supratman menyebutkan pemerintah semestinya melobi ketua umum partai jika ingin mengegolkan pembahasan regulasi perampasan aset. Anggota DPR akan patuh terhadap instruksi ketua umum. “Itu akan lebih efektif karena mengajak bicara pimpinan partai,” ujar politikus Partai Gerindra tersebut.
Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Ibnu Multazam, dihubungi pimpinan partai seusai rapat antara Komisi Hukum dan Mahfud Md. Ibnu bercerita, petinggi partai tersebut menanyakan kemajuan pembahasan RUU Perampasan Aset yang disinggung Mahfud.
Kepada koleganya itu, Ibnu menjelaskan bahwa pemerintah belum pernah mengirimkan surat presiden, naskah akademik, dan draf RUU Perampasan Aset ke DPR. Dia pun menyebutkan regulasi itu pernah diusulkan masuk daftar Prolegnas Prioritas. Namun pemerintah menggantinya dengan undang-undang lain yang dinilai lebih mendesak. “Pimpinan PKB memahami situasi yang terjadi di DPR,” ucap Ibnu.
Merespons pembahasan RUU Perampasan Aset, Presiden Jokowi mendorong DPR segera menyelesaikan regulasi itu. Jokowi mengatakan rancangan regulasi itu merupakan inisiatif pemerintah. “Undang-undang itu akan memudahkan penyelesaian tindak pidana korupsi,” ujar Presiden saat berkunjung ke Pasar Johar Baru, Jakarta, pada Rabu, 5 April lalu. Hussein Abri Dongoran
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo